Ketika Orang Asing Mengencingi Masjid Kampung

MOJOK.CO – Apa yang kamu lakukan ketika tahu ada orang yang dengan sadar mengencingi masjid? Marah-marah sih bakalan lumrah saja, lha wong tempat ibadah dihina begitu kok.

Fanshuri tergopoh-gopoh mendatangi kediaman Gus Mut. Raut mukanya penuh dengan kegelisahan dan kemarahan luar biasa. Gus Mut yang sedang bersantai di teras rumahnya sedikit terkejut menyaksikan Fanshuri berlari menghampirinya.

“Gus, Gus Mut, ada orang kencingi masjid,” kata Fanshuri.

Gus Mut hampir tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. Fanshuri tahu Gus Mut tidak percaya dengan ucapannya barusan.

“Benar, Gus. Ini benar. Orangnya sudah ditahan di serambi sama orang kampung. Mau dipukulin,” kata Fanshuri.

“Hah? Kencingi masjid?” tanya Gus Mut masih tak percaya.

“Iya, Gus. Ayo ikut ke masjid. Lagi ramai itu di masjid,” ajak Fanshuri.

Masih mengenakan kaos singlet dan sarung, Gus Mut langsung bergegas mengikut Fanshuri. Sedikit berlari keduanya tak berselang lama sudah sampai di masjid yang cuma beberapa meter saja dari kediaman Gus Mut.

Di depan masjid sudah ramai orang. Beberapa wajah dikenali Gus Mut, tapi hanya satu orang yang sangat dikenal. Sosok yang mencengkeram kerah baju seseorang. Sosok itu adalah Mas Is, tetangga Gus Mut yang memang paling nggentho di antara orang-orang kampung.

“Kamu ngaku nggak, hah? Ngaku aja kalau kamu habis kencingin masjid kami?” bentak Mas Is sambil bersiap-siap memberi bogem mentah ke muka orang yang diduga mengencingi masjid itu.

Gus Mut terkejut dengan situasi demikian. Tidak begitu mengerti, Gus Mut merasa harus melerai potensi keributan itu sebelum keadaan semakin buruk.

“Sebentar, sebentar, Is. Jangan main pukul dulu, ada apa ini?” tanya Gus Mut mencoba menenangkan Mas Is.

“Lah ini, ketua takmirnya datang. Ini, Gus. Orang ini sembarangan saja kencingi tempat ibadah orang,” kata Mas Is begitu emosi.

“Sebentar, kita tanya dulu baik-baik orangnya,” kata Gus Mut.

“Bukan, Mas, saya bukan mau kenci…”

“Nggak usah bicara kamu! Awas ya? Sekali lagi kamu ngomong aku kasih bogem ya kamu?” ancam Mas Is.

“Is, sabar, Is. Aku belum tahu kejadiannya. Kamu jangan main pukul orang begitu. Lepaskan dulu tanganmu,” kata Gus Mut kali ini agak memaksa melepas cengkeraman tangan Mas Is di kerah baju si tersangka.

Mas Is yang sebenarnya masih emosi melepaskan cengkeraman tangannya. Meski begitu mata Mas Is masih menatap tajam si tersangka. Sosok yang terlihat begitu ketakutan.

Penampilan orang yang sedang dikerumuni itu begitu berbeda. Busana yang dikenakan lusuh. Tidak compang-camping seperti pengemis atau gelandangan memang, tapi tidak bisa dikatakan juga rapi seperti orang-orang kota yang biasa mampir.

“Mas, maaf, saya salah satu pengurus takmir di sini. Apa benar sampeyan mengencingi masjid?” tanya Gus Mut pelan-pelan.

“Bukan, Mas. Saya tidak bermak….”

“Halah, jangan bohong. Tadi ada yang lihat dengan mata kepala sendiri kamu kencing. Udah ngaku aja,” teriak salah satu orang di kerumunan. Teriakan yang kemudian ditimpali oleh serangkaian sumpah serapah. Kondisi jadi riuh.

Gus Mut pun berpikir, sepertinya kondisi tidak kondusif jika interogasi dilanjutkan di serambi masjid. Gus Mut pun berinisiatif mengajak orang tersebut ke kediamannya. Orang-orang yang berkerumun tidak berani membantah inisiatif Gus Mut. Apalagi, Gus Mut berpesan, “Tidak perlu ada yang ikut. Biar ini aku selesaikan dulu sendiri.”

Fanshuri dan Mas Is sebenarnya mau ikutan, tapi dilarang oleh Gus Mut. Akhirnya orang tersebut diajak ke kediaman Gus Mut tanpa diikuti oleh orang kampung. Tentu banyak yang penasaran, mau diapain itu orang sama Gus Mut?

Usai urusan dengan orang itu selesai, Fanshuri dan Mas Is penasaran apa yang terjadi di kediaman Gus Mut. Sebab setahu mereka berdua, orang yang mengencingi masjid itu tidak diapa-apain oleh Gus Mut. Merasa ada yang aneh, Fanshuri dan Mas Is segera mendatangi kediaman Gus Mut meminta penjelasan.

“Kok bisa sih Gus, orang kayak begitu dilepasin begitu aja?” tanya Mas Is, masih tampak emosi.

“Kalian salah paham,” kata Gus Mut singkat.

“Salah paham gimana, ada saksi langsung yang melihat orang itu mengencingi masjid,” kata Mas Is lagi.

“Nah, itu yang aku bilang. Saksi yang melihat itu yang salah paham,” kata Gus Mut.

“Memang orang itu ngakunya gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Orang itu tidak bermaksud mengencingi masjid, Fan. Dia itu kencing di tempat kobokan cuci kaki di depan tempat wudu itu lho,” jelas Gus Mut.

“Lah, kan jelas, malah lebih parah. Dia malah mau bikin najis seluruh isi masjid kan jadinya? Kalau ada orang nggak tahu dan cuci kaki di tempat itu lalu masuk masjid, itu kan bikin satu masjid najis semua Gus?” tanya Fanshuri.

“Tunggu dulu, jangan pakai emosi dulu,” kata Gus Mut.

“Orang itu kencing di kobokan kaki, karena dia berasal dari daerah yang sangat terpencil. Orang-orang di daerahnya kalau mau kencing ya di empang, di kali, di got. Kebiasaannya begitu. Melihat ada kobokan di masjid ya dikiranya itu empang yang emang buat kencing. Dia nggak tahu kalau ada kamar mandi,” jelas Gus Mut.

“Ah, nggak percaya saya, Gus. Masa ada orang sebodoh itu nggak bisa bedain empang sama kobokan air di masjid?” tanya Mas Is tidak percaya.

“Kamu boleh saja nggak percaya. Tapi jangan anggap dia orang bodoh. Di zaman Rasulullah, hal kayak begini juga pernah kejadian. Dan persis seperti ini, setiap kebiasaan orang itu ditentukan sama kebiasaan di daerahnya dilahirkan. Kita nggak boleh mengklaim kebiasaan orang lain lebih rendah dari kita hanya karena kita punya kebiasaan yang berbeda darinya,” kata Gus Mut.

Fanshuri agak terkejut mendengar penjelasan Gus Mut.

“Di zaman Rasulullah, Gus?” tanya Fanshuri.

“Iya,” jawab Gus Mut singkat.

“Masa sih, ada sahabat Nabi sebodoh itu? Sampai kencingi kobokan air segala?” tanya Mas Is.

Gus Mut terkekeh mendengar pertanyaan itu.

“Tentu bukan kencingi kobokan air lah, zaman Rasulullah mana ada masjid yang ada kobokan airnya? Malah lebih parah sebenarnya, karena orang itu kencing di dalam masjid saat Rasulullah bersama para sahabat sedang di situ,” terang Gus Mut.

“Wah, bisa dibakar ramai-ramai dong orang itu,” kata Mas Is.

“Justru itu. Rasulullah menunjukan perbedaan kebiasaan dan kebudayaan jangan dijadikan alasan utama untuk saling gontok-gontokan. Umar bin Khattab sampai mau ambil pedang saat menyaksikan ada orang yang mengencingi masjid. Oleh Rasulullah, Umar ditahan agar jangan mengedepankan emosi meski secara kasat mata melihat ada orang yang telah melecehkan tempat ibadah,” kata Gus Mut.

“Lalu yang dilakukan Rasulullah apa, Gus?” tanya Fansuri.

“Beliau memberi tahu Umar, bahwa orang yang kencing itu berasal dari Arab Badui. Suku nomaden di Jazirah Arab. Bagi suku ini konsep bangunan itu tidak ada karena mereka berpindah-pindah di gurun. Jadi ketika mendapati tempat yang sedikit tertutup, ya mereka kencing di situ.”

Gus Mut pun melanjutkan, “Umar pun akhirnya mengerti, ternyata dalam agama, kita juga harus tahu dulu latar belakang seseorang melakukan sesuatu. Bisa jadi tidak ada maksud menghina dari orang lain tapi karena kita sensitif sama simbol-simbol, kita jadi gampang terhina. Lalu urusan yang tadinya bisa dibicarakan baik-baik lebih dulu malah jadi perkara besar sampai bikin perang antar suku, perang antar agama. Nah, itu yang harus dihindari.”

Fanshuri dan Mas Is terdiam mendengar itu.

“Terus yang bertanggung jawab untuk nguras kobokan air itu siapa, Gus?” mendadak Fanshuri bertanya.

“Tadinya, orang itu mau tanggung jawab. Aku bilang nggak usah,” kata Gus Mut.

“Lho kok nggak boleh gimana sih, Gus?”

“Ya kalau orang itu ke masjid lagi buat nguras, kalian emosi lagi, orang itu kalian pukuli lagi,” kata Gus Mut.

“Terus yang mau nguras siapa dong?” tanya Fanshuri.

“Ya aku mau nguras ini, makanya aku mau siap-siap. Nah, mumpung kalian lagi di sini dan kayaknya selo, ayo dah bantuin aku nguras,” kata Gus Mut terkekeh.

Fanshuri dan Mas Is cuma tersenyum kecut mendengarnya.

Exit mobile version