Cara Taubat Nasuha yang Suka Dilupakan Adalah Syukur, Sebab Tak Semua Hamba Dapat Privilege Itu

Cara Taubat Nasuha yang Suka Dilupakan Adalah Syukur, Sebab Tak Semua Hamba Dapat Privilege Itu

Cara Taubat Nasuha yang Suka Dilupakan Adalah Syukur, Sebab Tak Semua Hamba Dapat Privilege Itu

MOJOK.COBagaimana cara taubat nasuha yang baik? Mana syukurnya? Nggak semua orang bisa dapat privilege untuk tobat lho!

Pak Alfi merupakan salah satu warga kampung yang paling saleh. Setiap waktu salat, Pak Afli adalah orang yang selalu rajin ke masjid, setiap ada hajatan kampung Pak Alfi adalah back-up memimpin doa kalau Kiai Kholil atau Gus Mut tidak ada.

Masalahnya, Pak Alfi selalu enggan kalau diminta memimpin menjadi muazin atau memimpin salat di masjid. Khusus kegiatan di masjid, Pak Alfi selalu menolak. Ada saja alasan dari Pak Alfi.

“Saya ini masih banyak dosanya, masih selalu mencari cara taubat nasuha yang baik dan benar. Dosa saya berbuih-buih. Jangan saya, Fanshuri saja yang imam, atau kita nunggu Gus Mut datang aja. Lima menit lagi ya?” selalu Pak Alfi menolak kalau diminta jadi imam salat di masjid.

Padahal, secara ilmu agama, semua warga kampung tahu kalau Pak Alfi ini bukan kaleng-kaleng. Hanya saja, sifat pemalu, dan selalu merasa punya dosa itulah yang menghalangi Pak Alfi untuk tampil jadi pemuka agama di kampung.

“Pak, sampean itu mbokya sekali-kali ngisi khotbah Jumat, atau ngimami salat di masjid,” kata Fanshuri ketika masih leyeh-leyeh usai salat di masjid.

Pak Alfi cuma senyam-senyum saja mendengar permintaan Fanshuri itu, “Mas Fanshuri, dosa saya itu…”

“Haduuuh, dosa lagi, dosa lagi. Taubat nasuha kok berkali-kali. Lama-lama sampean malah jadi kayak nabi, Pak. Dikit-dikit kok inget dosa aja, dikit-diki cari cara taubat nasuha,” kata Fanshuri kesal juga lama-lama.

“Maaf, Mas. Maaf kalau…”

“Ya nggak usah minta maaf, Pak Alfi. Aku ini nggak marah sama sampean. Mung nggak habis pikir aja,” kata Fanshuri kali ini sambil merebahkan tubuh ke tiang serambi masjid.

Sesaat kemudian Gus Mut jalan ke luar dari masjid, melihat Pak Alfi dan Fanshuri yang masih leyeh-leyeh, Gus Mut berhenti sejenak.

“Ada apa ini kok ngomong sampai ngotot begitu, Fan,” kata Gus Mut.

“Eh, Gus,” kata Pak Alfi yang langsung salaman dan mencium tangan Gus Mut, Gus Mut langsung menarik tangannya begitu mau dicium.

“Ini lho, Gus, Pak Alfi ini bertahun-tahun kok ya nggak mau ngimami, nggak mau azan, masih banyak dosa katanya,” kata Fanshuri.

Gus Mut terkekeh.

“Dipikir aku ini juga nggak ada dosanya apa ya, kok ya aku terus yang kena harus ngimami kalau Gus Mut nggak ada,” lanjut Fanshuri.

“Ya nggak apa-apa kan, Gus? Saya ini kan masih belum jadi muslim yang baik. Ingat dosa kan bagus. Jadi kepikiran untuk taubat terus itu juga baik,” sela Pak Alfi membela diri.

Gus Mut terkekeh mendengar pledoi dari Pak Alfi.

“Pak, sampean kayak gitu itu juga kurang pas,” kata Gus Mut.

Fanshuri mendengar itu langsung bangun. Rasanya seperti mendapat bantuan pengacara kondyang untuk menghadapi sikap rendah diri Pak Alfi yang berlebihan.

“Keliru gimana, Gus? Sampean kan nggak tahu dosa-dosa apa aja yang pernah saya lakukan, Gus. Cuma saya sama Allah yang tahu. Jadi, rasanya emang mau taubat nasuha terus-terusan itu saya kayak kurang aja, Gus,” kata Pak Alfi.

“Cara pandang taubat nasuha sampean itu kurang tepat berarti, Pak Alfi,” kata Gus Mut.

Fanshuri kaget, “Hah? Emang cara taubat nasuha pun ada panduannya, Gus?” tanya Fanshuri.

Gus Mut kali ini ikut duduk di antara Fanshuri dan Pak Alfi.

“Dibilang panduan sih ya bukan, tapi ada sih yang namanya salat taubat itu. Iya kan, Pak Alfi?” Gus Mut yang tahu kalau ilmu agama Pak Alfi juga lumayan coba ngetes.

Pak Alfi cuma mengangguk pelan, benar-benar seperti menyembunyikan pengetahuannya.

“Insya Allah, cara taubat nasuha saya sudah sesuai secara fikih kok, Gus,” kata Pak Alfi.

Kali ini Gus Mut benar-benar terkekeh.

“Saya nggak bicara fikih, saya bicara soal cara pandang taubat nasuha sampean,” kata Gus Mut.

“Sebentar, emang kelirunya di mana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Bukan keliru, tapi kurang tepat,” kata Gus Mut.

Pak Alfi yang dibicarakan pun penasaran, “Kalau boleh tahu apanya yang salah dari cara taubat nasuha saya?”

“Sebelum ke sana, saya pengen tanya dulu. Pak Alfi, apa sampean pikir saya ini nggak punya dosa juga?” tanya Gus Mut.

“Ya, pasti. Setiap hamba pasti punya dosa,” kata Pak Alfi.

“Terus kira-kira kenapa kok saya masih berani ngimami salat, mimpin pengajian, ngajar ngaji di kampung ini… padahal saya juga masih punya banyak dosa?” tanya Gus Mut.

“Ya mungkin, karena dosa Gus Mut paling sedikit di antara orang-orang kampung sini,” kata Pak Alfi.

“Lah dari mana sampean tahu? Kan sampean sendiri yang bilang kalau dosa seorang hamba secara keseluruhan itu cuma Allah yang tahu,” kata Gus Mut.

“Ya kira-kira aja sih, Gus,” kata Pak Alfi.

“Lah emang kenapa, Gus?” tiba-tiba Fanshuri nyeletuk dari belakang.

“Ya karena mengingat dosa terus itu nggak baik,” kata Gus Mut.

“Loh, kok nggak baik? Kan mengingat dosa itu bisa jadi benteng kita supaya nggak melakukan maksiat lagi?” kata Fanshuri.

“Iya, tapi nggak terus-terusan, karena itu namanya menafikan nikmatnya Allah,” kata Gus Mut.

“Ma, maksudnya, Gus?” tanya Pak Alfi.

“Ya sampean itu melupakan kenikmatan-kenikmatan Allah yang sudah ada. Sampean diberi waktu untuk bisa terus ibadah, bisa terus salat, bisa terus cari nafkah, itu semua kan nikmat, tapi yang sampean ingat malah murkanya Allah terus,” kata Gus Mut.

Pak Alfi dan Fanshuri terdiam.

“Ta, tapi cara taubat nasuha yang benar kan emang mengingat dosa dalam upaya meninggalkannya, Gus,” kata Pak Alfi.

“Memang betul, tapi taubat nasuha itu juga jangan melupakan nikmat bahwa Allah itu Maha Pengampun. Setan itu tipu muslihatnya macam-macam, Pak Alfi. Untuk Fanshuri godaannya beda sama sampean,” katsa Gus Mut.

“Emang setan yang goda Pak Alfi yang gimana, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya bisa jadi yang membuat Pak Alfi mengingat dosanya terus,” kata Gus Mut.

“Lah, kok malah setannya baik?” tanya Fanshuri lagi.

“Baik apanya. Itu malah bikin Pak Alfi enggan untuk memimpin salat, bikin Pak Alfi merasa malu untuk mengajar ngaji, bikin Pak Alfi enggan tampil kalau ada selisih soal hukum agama di kampung ini. Itu justru cara untuk menutup potensi Pak Alfi,” kata Gus Mut.

Pak Alfi yang dibilang begitu tersentak, “Ta, tapi, Gus… saya memang belum pantas…”

“Tak ada ulama atau kiai yang merasa dirinya lebih pantas, Pak Alfi. Saya ini melakukan ini semua karena saya tahu, kalau saya seperti Pak Alfi yang menutup diri begitu, mudharat-nya jadi jauh lebih besar. Bisa saja Pak Alfi harusnya menegur orang karena Pak Alfi punya ilmunya, tapi karena Pak Alfi merasa kurang pantas, akhirnya orang itu malah terjerumus. Bisa aja malah banyak muncul kemungkaran yang terjadi justru karena Pak Alfi diam selama ini, padahal sampean tahu ilmunya,” kata Gus Mut.

Pak Alfi terdiam, Fanshuri juga.

“Kalau mau tahu cara taubat nasuha yang baik, usai melakukan taubat… usahakan untuk bersyukur. Syukuri kalau kita masih dikasih kesempatan untuk taubat. Tidak banyak hamba yang bisa dapat keistimewaan kayak gitu lho, Pak Alfi. Ada juga yang niat taubat esok pagi, eh malamnya udah mati duluan. Banyak yang kayak gitu,” kata Gus Mut.

“Dan salah satu cara menjawab rasa bersyukur itu… mau jadi imam salat di masjid kan, Gus?” tanya Fanshuri tiba-tiba di belakang Gus Mut, kalimat yang sebenarnya sedang menodong Pak Alfi.

Pak Alfi kali ini cuma senyam-senyum. Berpikir dan merenung agak lama.

“Hm, azan aja dulu kali ya, Fan? Gus?” kata Pak Alfi takut-takut.

“Okeeeeh,” teriak Fanshuri langsung menuju white board di ruangan takmir masjid untuk menulis nama muazin baru: PAK ALFI.


*) Direfleksikan dari pengajian Gus Baha.

BACA JUGA Benarkah Anak Perempuan Pakai Jilbab itu Selalu karena Paksaan Orang tuanya? atau kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version