Bertoleransi dengan Kelompok Pemegang Kunci Surga

Berdiri di tengah itu emang nggak enak. Dari sana dibilang sesat, dari sini dibilang sok suci.

Bertoleransi dengan Kelompok Pemegang Kunci Surga

Bertoleransi dengan Kelompok Pemegang Kunci Surga

MOJOK.COHanya karena beda pendapat, kadang-kadang mudah saja ngatain kelompok lain sebagai kelompok pemegang kunci surga.

“Dasar pemegang kunci surga! Sok-sokan ngerasa suci padahal kelakuan kayak setan! Terima suap manfaatin jabatan, kok sok-sokan ngewakili Tuhan,” Fanshuri ngomel-ngomel setelah tahu ada kabar bahwa seorang koruptor kelas kakap menganiaya seseorang yang diduga melakukan penistaan agama di penjara.

Mas Is yang penasaran dengan omelannya Fanshuri langsung nimbrung.

“Itu penista agama yang kemarin jelek-jelekin Nabi Muhammad itu ya? Mampus! Biar tahu rasa itu orang! Dihajar di penjara kan itu orang,” kata Mas Is.

“Marah sih marah Mas Is, tapi kan ini yang ngehajar koruptor juga. Kejahatannya bejat juga,” kata Fanshuri.

“Aaah, bodo amat. Yang penting kemarahanku bisa diwakili lah,” kata Mas Is.

“Ya nggak bisa gitu Mas Is, semua itu harus dipikir juga caranya, nggak yang sembarangan,” kata Fanshuri.

“Iya, iya. Tahu deh, pemegang kunci surga ya kamu, Fan? Dikit-dikit nggak boleh,” kata Mas Is meledek.

“Lho kok malah Mas Is ngatain saya pemegang kunci surga? Kan saya cuma bilang kalau kelakuan yang ngehajar ini juga nggak lebih baik. Udah pejabat, penegak hukum, kerja di bawah sumpah Al-Quran, tapi malah terima suap. Gitu kok ya ngerasa pantes ngebela agama. Malu nggak sih sebagai umat Islam lihat yang begitu-begitu,” kata Fanshuri.

“Fan, Fan, kalau nunggu orang suci dulu baru boleh melampiaskan kemarahannya ya nggak bakal ada lah. Jadi yang boleh ngamuk-ngamuk sama si penista agama ini cuma ulama alim soleh yang nggak pernah berbuat dosa sama sekali sepanjang hidupnya? Kan ya nggak mungkin ada,” kata Mas Is.

Fanshuri agak sedikit tersinggung dikatain begitu, tapi tetap mencoba mengontrol diri.

“Ya kalau ada orang kayak gitu ya berarti orang itu ngerasa sebagai sosok pemegang kunci surga. Ngerasa dirinya berhak buat menganiaya pihak lain pakai agama, padahal dirinya lebih parah juga mainin agama. Ngelanggar sumpah jabatan itu misalnya,” kata Fanshuri.

“Lah emangnya situ nggak marah apa kalau Nabi sama Tuhan situ dihina begitu? Kan ya wajar sih kalau marah. Malah aneh kalau ada orang Islam nggak tersinggung sama sekali. Nggak usah soksokan sabar deh, Fan. Marah itu kan juga manusiawi,” kata Mas Is.

“Ya marah sih marah Mas Is. Tapi kan marah itu tergantung output-nya gimana. Perasaan marah, sedih, gembira itu nggak ada hukumnya. Tapi efek-efek selanjutnya lah yang dihukumi. Misal marah, terus ngebom sampai bikin orang lain menderita, lah itu ada hukumnya. Sedih terus larinya ke narkoba, lah itu baru ada hukumnya. Sepanjang masih jadi rasa di dalam diri masing-masing manusia mah ya nggak bisa dihukumi juga,” kata Fanshuri jelasin.

“Ya intinya, Fan. Orang paling berdosa sekalipun di dunia ini, mereka juga berhak ngebela keimanan mereka. Nggak boleh dilarang lah. Mau dia pelacur, koruptor, penjahat, begal, ya itu hak asasi mereka untuk ngebela keimaman mereka dong,” kata Mas Is.

“Ngebela keimanan sih boleh-boleh aja, tapi ini bukan ngebela keimanan namanya Mas Is, ini namanya ngebela ego keimanan. Yang lagi diperjuangin itu kepemilikannya. Ngerasa Tuhan jadi miliknya, Nabi jadi miliknya, agama jadi miliknya, ngerasa surga dia yang pegang kuncinya. Jadi ngerasa orang lain yang nyentil itu lagi ngerusuhin apa yang dia miliki. Dia itu lagi ngebela agama-NYA, bukan ngebela agama,” kata Fanshuri.

“Kamu itu ngata-ngatain orang lain sebagai pemegang kunci surga, kamu sendiri nggak sadar Fan, kalau kamu lagi berlagak kayak orang yang pegang kunci surga,” kata Mas Is nyindir.

Fanshuri sudah mau marah-marah sebenarnya, tapi melihat Gus Mut baru keluar dari masjid dan menuju ke dirinya, kemarahannya jadi redam seketika. Usai salat asar berjamaah, Gus Mut sempat heran dengan ribut-ribut di teras masjid antara Fanshuri dan Mas Is. Secara sekilas, Gus Mut juga sudah mendengar sekilas apa yang diperdebatkan keduanya.

“Lah ini ada Gus Mut, gimana Gus? Kelakuan orang kayak gini itu luar biasa konyol kan?” kata Fanshuri.

Gus Mut cuma menggeleng.

“Gimana, Gus?” tanya Mas Is, kali ini gantian.

“Kalian ini lho, bisa-bisanya kunci surga jadi bahan sindiran,” kata Gus Mut.

“Bukan, gitu Gus, lah ini kan kurang ajar kalau ada koruptor terus ngerasa kepedean paling suci. Ya kalau dia ngerasa kayak gitu ya pasti dia ngerasa sebagai pemegang kunci surga dong,” kata Fanshuri.

“Nah, justru kelakuan kayak Fanshuri ini, Gus, yang sok-sokan harus nunggu suci dulu orang agar mau cinta sama agamanya, kan ya nggak mungkin bisa ada orang sesuci itu. Fanshuri ini lah yang malah jadi kaum pemegang kunci surga, Gus. Apa-apa kok nggak boleh,” kata Mas Is.

“Memang enak ya berdiri di satu sisi itu… nggak perlu banyak mikir dan pertimbangan, yang penting banyak aksinya,” kata Gus Mut menyindir keduanya.

“Ma-maksudnya, Gus?” tanya Fanshuri.

“Ya kayak kalian berdua ini sekarang, masing-masing ngatain orang lain sebagai kelompok pemegang kunci surga,” kata Gus Mut.

“Lah kelakuan mereka emang kadang parah gitu, Gus. Munafik yang semunafik-munafiknya,” kata Fanshuri.

“Halaaaah, kayak kamu udah bener aja, Fan. Kamu ngatain dia munafik, emang kamunya udah suci apa sampai ngerasa berhak ngelabeli orang lain munafik?” kata Mas Is.

Gus Mut terkekeh mendengarnya.

“Kalian ini emang lucu. Dulu itu, Nabi Muhammad mencoba menampung orang sebanyak-banyak agar mau masuk Islam, kalaupun tidak masuk Islam masih dirangkul agar tetap jadi saudara kemanusiaan, tapi sekarang umatnya malah saling mengotak-kotakan diri. Menuduh yang sana kafir atau nuduh yang sana paling suci. Suka sekali bikin-bikin garis batas,” kata Gus Mut.

“Bu-bukan begitu, Gus, maksudnya…,” kata Mas Is.

“Berdiri di tengah itu memang paling sulit. Tahu banyak hal itu memang rumit, yang sana ada benernya, yang sini ada benernya. Yang sana ada salahnya juga, yang sini ada salahnya juga. Makanya nggak banyak orang yang mau berada di posisi itu. Dari sisi sana dilabeli sesat, dari sisi sini dilabeli pemegang kunci surga. Sama-sama salah, tapi jarang dianggap bener. Bahkan kadang juga dianggap sebagai orang yang tidak punya pendirian,” kata Gus Mut.

“Kenapa kalian tidak bertoleransi saja sama kelompok yang kalian tuduh pemegang kunci surga itu? Kan bisa aja cara mereka mencari jalur kesalehan beda sama kamu. Jalan menuju kesalehan itu kan bukan cuma lewat satu spektrum. Ada banyak. Ada yang dari kiai di pesantren, ada yang dari ustaz di masjid, ada yang dari pengajian di langgar, macam-macam. Tidak usah lah saling ngatain orang yang berbeda sebagai kelompok pemegang kunci surga. Daripada ngatain, kenapa nggak diajak berteman aja. Cari bagian yang sama-sama aja kan lebih asyik?”

“Berarti Gus Mut ngedukung tindak aniaya kayak begini ya?” tanya Fanshuri.

Gus Mut tersenyum kali ini.

“Ya tidak dong,” kata Gus Mut.

“Nah, apa kubilang,” kata Fanshuri ke Mas Is.

“Berarti Gus Mut rela aja kalau ada orang yang ngejek-ngejek Nabi Muhammad begini?” tanya Mas Is.

“Ya tidak juga dong,” kata Gus Mut.

“Lho, kok plin-plan kayak nggak punya pendirian begitu, Gus?” tanya Mas Is.

Gus Mut tersenyum, dan mengedipkan satu matanya ke Fanshuri, “Nah, kan. Apa kubilang?”

Fanshuri tertawa, sedangkan Mas Is masih tak mengerti.

“Bukannya dua jawabanku tadi itu menunjukkan kalau kalian berdua itu sebenarnya punya kesamaan?”

Mas Is termenung, lalu tiba-tiba tersenyum karena menyadari sesuatu.

BACA JUGA Kamu Bukan Takut saat Mereka Bilang Musik Haram, Kamu Takut sama Ketidaktahuanmu atau kisah-kisah Gus Mut lainnya.

Exit mobile version