Ketika Thomas Jefferson, Sang Presiden Amerika, Membaca Al-Quran

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Thomas Jefferson bukan seorang muslim, dan pandangannya tentang agama Islam sebagian besarnya negatif, namun hatinya selalu bergejolak soal agama ini.

Titimangsa 1765, sebelas tahun menjelang Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (AS), Thomas Jefferson (1743-1826) membeli sebuah Al-Quran. Rupanya, hal ihwal ini hanya menandai awal dari minatnya yang panjang terhadap Islam. Memang, setelah itu dia terus mencari sejumlah buku tentang bahasa, sejarah, dan perkembangan Timur Tengah.

Jefferson pun intensif meneroka Islam meskipun hal itu dinilai menghina keimanannya, sebuah sentimen umum yang berlaku di kalangan Protestan kala itu di Inggris dan Amerika. Syahdan, sejak 1776, Jefferson telah membayangkan kaum muslim sebagai warga negara masa depan bagi negeri barunya, AS.

Bagi banyak lawan politiknya, Thomas Jefferson mungkin saja presiden muslim pertama AS. Bahwa seorang muslim secara hukum mungkin saja meraih jabatan pemerintahan pada abad ke-18 tidak perlu dipertanyakan, selama konstitusi AS menegaskan kemungkinan itu dalam teori.

Jefferson bukan penganut Islam, dan pandangannya tentang agama itu, meskipun sebagian besar negatif, tetap bercampur aduk, berdasarkan pada apresiasi positifnya terhadap ajaran inti agama Islam tentang monoteisme mutlak. Namun demikian, dia telah difitnah dan direndahkan sebagai seorang muslim sejak 1791—terutama selama kampanye presiden yang kejam tahun 1800—sebagai seorang kafir dan ateis.

Tuduhan bahwa Jefferson seorang muslim menempatkannya, tanpa disadari, dalam kategori yang sama seperti pahlawan intelektualnya John Loke (1632-1704), yang dituduh menganut “agama orang Turki,” dan bahkan George Sale (1697-1736), penerjemah Inggris dari Al-Quran miliknya, yang dicemooh sebagai orang “setengah muslim”.

Ketiga orang ini (dan orang-orang lain sebelum mereka) menjadi korban dari tradisi lama fitnah anti-Islam yang dilakukan atas nama Kristen. Provokasinya bermacam-macam. Sale pernah menolak untuk mendukung kekerasan terhadap umat muslim dan tidak memfitnah Nabi Muhammad saw. sepenuhnya seperti yang pastinya diinginkan sesama penganut Protestan Anglikan.

Lawan-lawan politik mengecam baik Locke dan Jefferson karena mendukung toleransi beragama, termasuk hak-hak sipil bagi umat muslim, serta menganut Deisme dan Unitarianisme.

Menurut Denise A. Spellberg dalam bukunya, Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013: 342-345), tuduhan serupa yang dilakukan terhadap Jefferson dalam kampanye pada 1800 akan digunakan pada abad ke-21 terhadap warga negara Amerika—beberapa orang benar-benar muslim, beberapa orang bukan—yang ingin menduduki jabatan politik nasional.

Dalam kedua kasus, taktik tersebut merupakan bagian dari suatu strategi yang berusaha mendiskeditkan kandidat yang sah, baik untuk jabatan Kongres maupun kepresidenan, dengan mengecap mereka sebagai non-Amerika dan bahkan anti-Amerika.

Sebagaimana dalam kasus Jefferson, masing-masing kandidat yang dicap sebagai seorang muslim, entah akurat atau tidak, akan menang ketika perhitungan suara dilakukan.

Akan tetapi, penghinaan semacam itu telah bertahan sebagai senjata politik. Bahkan, mereka telah berevolusi menjadi kampanye yang lebih luas lagi oleh beberapa orang yang didanai dengan baik untuk mencabut hak-hak warga muslim Amerika, dengan meniadakan hak-hak sipil mereka yang diberikan oleh para Pendiri Bangsa AS.

Dalam pidato perdana pelantikannya pada 1801, Jefferson berusaha menyatukan negara pasca kampanye kepresidenan yang menimbulkan polarisasi. Secara khas, dia mendukung hak-hak minoritas dalam sebuah sistem demokrasi, dengan mengingatkan sesama warga Amerika bahwa “meskipun kehendak mayoritas dalam hal apa pun akan menang, agar hak itu sah haruslah masuk akal, bahwa minoritas memiliki hak mereka yang sama, yang harus dilindungi hukum yang sama, dan melanggarnya berarti penindasan.”

Sementara menegaskan bahwa orang Amerika telah “mengusir intoleransi agama dari negeri kita,” sang presiden tahu bahwa hukum dan realitas sosial tetap jauh dari cita-cita konstitusi.

Pada 1802, Jefferson diingatkan oleh sekutunya, pemimpin Baptis John Leland, dan para pengikutnya perihal intoleransi agama yang sangat nyata dan ketimpangan politik yang terus dialami oleh mereka dan semua Protestan non-Kongregasional lainnya di New England.

Merenungkan “intoleransi politik yang sama-sama despotik, durjana, dan mampu dengan penganiayaan nan pahit dan berdarah-darah,” Jefferson punya alasan untuk khawatir bahwa fanatisme yang telah dia berusaha basmi sepanjang hidupnya mungkin tidak pernah hilang dari negaranya. Sebab jika Protestan masih menghadapi intoleransi dari Protestan liyan, harapan apa lagi bagi non-Protestan di Amerika?

Dustin Gish dan Daniel Klinghard dalam Thomas Jefferson and the Science of Republican Government: A Political Biography of Notes on the State of Virginia (2017), mendedahkan bahwa tiga tahun setelah terpilih, kekhawatiran akan kekafiran dan keislaman Jefferson terus saja bertahan.

Pada Januari 1803, seorang editor surat kabar di Walpole, New Hampshire, menyatakan bahwa “semua rekan beragama Jefferson yang jujur pasti … teryakinkan dari tulisan-tulisan Jefferson sendiri bahwa dia seorang kafir.” Ini ketiga kalinya keyakinan agama Jefferson didakwa dengan tuduhan semacam itu.

Akan tetapi, dia bersikeras pada keyakinannya, dengan menulis secara pribadi kepada seorang teman pada tahun yang sama, “Saya tidak pernah, dengan perkataan atau tindakan apa pun, tunduk pada intoleransi, atau mengakui hak penyelidikan terhadap pendapat agama orang lain.” Hukum itu akan dia pertahankan hingga akhir hayatnya.

Pada 1834, delapan tahun setelah meninggalnya Jefferson, pendukungnya dari Baptis, John Leland, mengingatkan tentang ramalan menakutkan yang dibuatnya pasca terpilihnya Jefferson pada 1800 tetapi yang tidak pernah terwujud:

Sewaktu Mr. Jefferson terpilih menjadi presiden, mimbar-mimbar dipenuhi peringatan-peringatan, dan semua media massa mengeluhkan pelbagai ramalan, bahwa Alkitab semuanya akan dibakar, rumah-rumah pertemuan akan dihancurkan, ikatan pernikahan terurai, dan anarki, kekafiran, dan ketidaksenonohan akan merajalela di seluruh negeri. Peringatan gerejawi dan ramalan surat kabar ini semuanya tak terbukti.

Pada saat ini, Leland, yang juga pembela hak-hak muslim dan semua orang beriman lainnya, mengungkapkan bahwa dia juga telah “dinyatakan di surat-surat kabar, di seluruh negara bagian, sebagai seorang kafir dan orang buangan.”

Sebagai tanggapan karena dikecam dengan julukan serupa yang diterapkan kepada Locke maupun Jefferson, Leland menjawab dengan rendah hati, “Semoga Tuhan meninggikan keimanan saya dan membuat saya lebih suci, itu akan menjadi sanggahan terbaik terhadap fitnah tersebut.”

Meskipun cita-cita bahwa kewarganegaraan suatu hari nanti akan mencakup muslim Amerika terdapat dalam wacana para pendiri bangsa, abad ke-18 tetap sebuah masa ketika ketidaktahuan dan ketakutan tentang Islam mendominasi di kalangan Protestan.

Disebabkan oleh rasisme dan perbudakan, muslim Amerika yang dikenal paling awal tidak pernah mendapatkan hak yang setara. Baru satu abad kemudian, pasca Perang Sipil, Amandemen Keempat Belas, yang diratifikasi pada 1868, memberikan status kewarganegaraan kepada para mantan budak keturunan Afrika yang lahir di Amerika, suatu populasi yang mencakup penganut muslim.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version