Ketika Para Petani Dituduh Melanggar HAM

petani HAM

Beberapa hari terakhir, di Facebook beredar kencang video bikinan Human Rights Watch (HRW), sebuah lembaga internasional yang berwibawa. Ada dua versi, tapi isinya lebih-kurang sama, yaitu adegan anak-anak yang bekerja di kebun tembakau. Mereka bercerita tentang batuk, mual, gatal-gatal, juga entah apa lagi yang mereka dapatkan akibat terpapar nikotin dan pestisida di ladang tembakau. Maka, kesimpulan ultimate dari video itu adalah bahwa pertanian tembakau dihidupi oleh child labour alias pekerja anak, yang harus bekerja dengan kondisi yang berat dan kejam! “Your cigarette could be supporting child labour,begitu poinnya.

Gampang ditebak, opini penonton mau digiring ke mana. Maka tanpa tuma’ninah dulu, semua pun kemropok. “Kurang ajar sekali industri rokok! Mereka mempekerjakan anak-anak dengan kezammm! Here’s more reason to stop smoking!” Jeng jeng jeeeng!

Oke, oke. Tahan emosi dulu Mas, Mbak. Stop merokok sih ya silakan stop aja, urusan-urusan sampeyan. Tapi, betulkah alasannya karena child labour di pertanian tembakau? Makhluk apaan sih child labour itu?

Menurut ILO, istilah child labour dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang merampas anak dari masa kecil mereka, dari potensi dan martabat mereka, yang berbahaya bagi kehidupan sosial serta pertumbuhan fisik dan mental mereka, serta merampas kesempatan mereka untuk bersekolah, atau membuat mereka putus sekolah, atau membuat mereka terpaksa mengombinasikan antara sekolah dengan kerja-kerja yang berat, berlebihan, dan dalam waktu yang panjang.

Sekarang silaken tonton lagi, dan simak baik-baik setiap adegan di video pendek itu, lalu sambungkan dengan definisi di atas. Ada beberapa hal yang mestinya akan membuat kita mecucu.

Pertama, di situ dengan jelas diinformasikan bahwa anak-anak tersebut tetap bisa bersekolah. “Sekarang telah musim tembakau. Anak-anak kerja semua sepulang sekolah,” kata ibu berbaju merah kotak-kotak di video itu dengan jelas. Artinya, tidak ada perampasan atas hak bersekolah. Klir.

Kedua, kalau toh memang ada kombinasi antara sekolah dan kerja berat, jelas tidak dalam waktu lama. Orang-orang yang langsung beriman kepada video itu pasti tidak paham bahwa pertanian tembakau tuh tidak berjalan sepanjang tahun, melainkan cuma di musim kemarau. Ya, hanya saat kemarau saja tembakau bisa ditanam, itu pun sekali datang hujan lebat salah mongso, bisa ambyar habis busuk semua.

Maka, di Indonesia, musim tanam tembakau cuma berlangsung di bulan Mei hingga Agustus. Kalau toh anak-anak ikut membantu bekerja, mereka cuma akan melakukannya ketika mulai menanam dan di saat panen, karena di antara dua tahap itu, bahkan ortu mereka pun tak perlu terlalu sibuk.

Di saat awal tanam, pekerjaan juga tidak terlalu banyak. Hanya butuh sekitar sepekan di awal, itu pun dibutuhkan skill-skill khusus sehingga agak sulit membayangkan anak-anak jadi pelaksana. Beda dengan di waktu panen, yang memang sibuk sesibuk-sibuknya.

Untuk jenis tembakau yang diolah dengan oven seperti di Nusa Tenggara Barat, kesibukan masa panen mereka bisa sampai 1,5 hingga dua bulan. Tapi untuk tembakau rajangan seperti di Jawa Tengah, cuma butuh waktu yang lebih pendek dari itu. Pemetikan pun pakai aturan khusus, karena petikan daun ranting lapis bawah dengan atasnya harus diberi jeda enam hingga tujuh hari untuk menanti kematangan, sementara ada rerata lima lapis daun dalam tiap pohon. Saat jeda, anak-anak tak bisa membantu karena tahapnya adalah memasukkan ikat-ikat tembakau ke oven yang membutuhkan keterampilan tinggi dan tenaga orang dewasa. Sampeyan sendiri juga pasti baru tahu soal ini, kan?

Jadi, dalam setahun taruh kata maksimal hanya 20 hari anak-anak ikut membantu bekerja. Itu pun sepulang sekolah. Lalu apa kabar child labour?

Ketiga, betulkah terjadi perampasan atas indahnya masa kecil, sesuai definisi ILO? Hahaha. Itu mirip imajinasi orang kota atas orang desa. Begini. Anak-anak itu bekerja bersama teman-teman sebaya mereka juga, sebagaimana tradisi guyub masyarakat petani. Di musim panen semua-mua bekerja, tua-muda laki-perempuan. Anak-anak membantu ortu mereka, meski ada juga yang memang bekerja di pemilik lahan lain yang kewalahan karena minimnya tenaga kerja.

Di dinding Facebook-nya yang suci, selebtwit Arman Dhani juga menceritakan keriangan masa kecil di Bondowoso tiap kali masa panen tembakau. Teman-teman dari daerah tembakau yang pada komen di Facebook saya pun bercerita bahwa musim panen tembakau adalah kesempatan sekali dalam setahun bagi anak-anak untuk mendapat tambahan uang jajan. Lah, kenapa tidak menggunakan tenaga dewasa? Nehi, nehi, semua orang sibuk. Tak ada lagi orang menganggur di musim panen tembakau.

Terkait soal ini, saya berkali-kali agak bingung. Kalau membantu orangtua dalam menjalankan pekerjaan mereka disebut sebagai child labour, lantas ada berapa juta kasus demikian di Indonesia?

Orang yang bikin video itu tampak sengaja mengabaikan karakter khas dalam sosiologi masyarakat agraris. Di desa-desa yang berbasis pertanian padi sebagaimana di lingkungan saya sendiri, ada anak-anak membantu orangtua mereka tuh ya soal biasa to yaaa… Enggak cuma waktu panen, malahan. Sehari-hari, banyak anak petani yang membantu ortu dalam aspek-aspek pendukung aktivitas bertani. Menggembalakan ternak, menyabit rumput, dan semacamnya. Dan ingat, tanam padi tuh sepanjang tahun, dalam setahun bisa tiga kali panen, bukan cuma satu kali seperti tembakau.

Tak heran, dalam laporan resminya, HRW mengambil dasar, “The ILO estimates that more than 1,5 million children, ages 10 to 17, work in agriculture in Indonesia. Human Rights Watch could not find any official estimates of the number of children working in tobacco farming.” Ya jelaslah sampai 1,5 juta lebih anak-anak yang “bekerja” di sektor pertanian, bahkan saya yakin berlipat lebih besar lagi kalau cara pandangnya mirip turis begitu.

Maka saya punya saran konkret, sebaiknya Human Rights Watch segera memunculkan tagline agar lebih banyak lagi anak-anak Indonesia yang terselamatkan dari pelanggaran HAM: “Your rice could be supporting child labour. Here’s more reason to stop eating rice.” Hohoho.

Oh, ya. Bagaimana dengan gangguan kesehatan pada anak-anak? Teman-teman dari daerah tembakau mengaku heran dengan cerita-cerita itu. Tapi anggaplah itu benar terjadi, maka jelas saja saya sepakat kalau HRW ingin mengampanyekan alat-alat pengamanlah, pakai maskerlah, menetapkan ISO-lah. Bukan memakai solusi ala wisatawan yang serta-merta ingin merusak kultur paguyuban, Mas.

Poinnya, saya melihat riset dan video HRW ini ibaratnya turis bule yang panik ketakutan melihat loreng-loreng orang kerokan, lantas membuat laporan:

“Telah ditemukan bukti-bukti penyiksaan dan KDRT dalam rumah tangga di Indonesia! Secara umum KDRT meningkat pada musim penghujan.”

“Hoiiiii! Ini penulis Mojok kok nulis beginian, sama industri dibayar berapaaaa??” Saya bantu dubbing komen standar laskar antirokok, ya. Jangan capek-capek teriak, kurang baik buat kesehatan mental.

Oke, hehehe. Coba sekarang tolong sebutkan, bagian mana dari video itu yang menghujat industri. Nyaris tidak ada, kecuali poin kecil bahwa industri tidak menanyakan tentang siapa yang menanam tembakau. Selebihnya, yang disasar video itu adalah petani, berikut kultur masyarakat pertanian pada umumnya. Lahan-lahan pertanian tembakau di Indonesia adalah lahan pertanian rakyat, bukan lahan milik industri sebagaimana sawah padinya Jokowi di Merauke itu. Artinya, manajemen ketenagakerjaan di ladang-ladang tembakau itu ya dijalankan oleh petani.

Maka sudah jelas, video itu adalah serangan telanjang kepada para petani. Ya, petani. Bukan industri. Sampai di sini saya sempat curiga, bisa jadi video hebat itu sebenarnya bikinan Ki*lan Z**n, yang takut akan empowerment masyarakat petani.

Akhir kata, hari ini, Selasa 31 Mei 2016. Dik Iqbal mengucapkan selamat Hari Tanpa Tembakau bagi yang merayakan.

Exit mobile version