MOJOK.CO – Gus Sholah dan Gus Dur sering berbeda sikap. Kalau pinjam istilah Kiai As’ad, Gus Sholah itu “membuat NU tidak ke mana-mana tapi berada di mana-mana.”
Artikel Gus Dur berjudul “A. Wahid Hasyim, NU dan Islam” terbit di Media Indonesia edisi 8-9 Oktober 1998. Gus Dur bercerita tentang pandangan bapaknya, KH Wahid Hasyim, tentang Pancasila. Menurutnya, bapaknya memandang Pancasila lebih tinggi derajatnya dibanding hukum Islam dalam konteks bernegara.
Lalu Gus Dur dalam artikelnya panjang lebar menjelaskan hubungan Islam dan negara dari pandangan Nahdlatul Ulama (NU). Dan diakhiri dengan dua kesimpulan. Salah satunya, masalah Pancasila adalah perkara duniawi dan tidak memiliki dimensi akhirat, maka lebih tepat diurus oleh negara dengan didampingi oleh para ulama ahlis syari’at.
Sudah jamak kiranya bagi kita pemikiran Gus Dur yang demikian. Tak jarang pemikirannya memantik kontroversi dan tanggapan pedas dari berbagai pihak. Namun, pernahkah terbayang pandangan Gus Dur akan dikritisi saudara kandungnya?
Itu lah yang terjadi. Sholahudin Wahid atau karib disapa Gus Sholah adalah adik kandung Gus Dur. Beliau menanggapi artikel Gus Dur di media yang sama beberapa hari setelahnya. Pada Media Indonesia edisi 17 Oktober 1998, Gus Sholah menulis artikel berjudul “Wahid Hasyim, Pancasila dan Islam”.
Sama-sama menyitir kisah tentang KH Wahid Hasyim, Gus Sholah menyatakan keberatannya dengan pandangan Gus Dur yang baginya terkesan sekularistik.
Dalam tulisan tersebut, Pancasila dianggap masih berkelindan dengan nilai agama Islam. Karena Pancasila memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila yang menurutnya berunsur teologis: mengakui keesaan Tuhan. Beliau juga menyatakan, argumen diterimanya Pancasila karena sila tersebut yang telah mengakomodasi konsep tauhid dalam Islam.
Bukan kali itu saja keduanya berbeda sikap. Dalam soal politik lebih kentara. Usai runtuhnya Orde Baru, keduanya berada dalam wadah politik berbeda.
Gus Dur mendirikan dan menjadi politikus PKB, partai yang mengantarkannya menjadi presiden ke-4 Indonesia. Sementara Gus Sholah memilih bersama pamannya, KH Yusuf Hasyim, di Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat.
Gus Dur tak sepakat dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang menurutnya terlalu eksklusif dan dalam taraf tertenu menjadi kepanjangan tangan Islam politik Soeharto. Namun, Gus Sholah justru masuk ICMI pada 1995. Bahkan pernah menjadi Ketua MPP ICMI periode 2000-2005.
Dari perbedaan-perbedaan pandangan itu, banyak yang menyimpulkan Gus Sholah hanya ingin bersikap berbeda dari Gus Dur. Ada pula yang menyimpulkan keduanya bagaikan air dan api, tak pernah bisa menyatu.
Kesimpulan yang sebenarnya tak mengandung masalah. Toh banyak juga dalam satu keluarga berbeda pandangan. Kan ada pepatah, pohon pisang yang sama selalu berbuah pisang dalam wujud berbeda.
Namun, saya melihat sebaliknya dari perbedaan Gus Sholah dan Gus Dur. Saya menilai sikap berbeda Gus Sholah merupakan upaya menyeimbangkan langkah dan pemikiran Gus Dur.
Gus Dur, seperti ditulis Syu’bah Asa dalam pengantar buku Melawan Melalui Lelucon, memiliki pemikiran yang melompat-lompat, kurang sabar dalam menjelaskan suatu konsep dan menganggap semua orang mengerti tentang hal itu, dan seringkali kedodoran saat berhadapan dengan detail. Hal ini menurut Syu’bah tercermin dalam tulisan-tulisannya.
Pandangan Syu’bah menurut saya akurat. Tak sekadar dalam tulisan, Gus Dur dalam langkah politiknya pun demikian: melompat-lompat, susah ditebak, dan dalam taraf tertentu keras kepala untuk hal-hal prinsipil. Yang terakhir itu kiranya salah satu penyebab Gus Dur lengser dari jabatan presiden, karena tak mau kompromi dengan kondisi politik saat itu.
Dengan pembawaan Gus Dur yang demikian lah Gus Sholah hadir menjadi penyeimbang. Sebagai teknokrat yang terbiasa berpikir matematis, Gus Sholah menghadirkan aneka detail yang sedikit luput dari pandangan Gus Dur.
Bahwa pandangan Pancasila lebih tinggi dari syariat Islam dalam konteks bernegara sangat riskan memecah belah umat dan menyudutkan seluruh keluarga Wahid, maka Gus Sholah hadir mewakili “Wahid lain” dengan pandangan lebih kalem.
Bahwa berlawanan dengan ICMI bisa berakibat ketegangan horizontal antara nahdliyin pro Gus Dur dan masyarakat yang simpati dengan organisasi itu, maka Gus Sholah bergabung ke dalamnya untuk memberi kesan orang NU juga ada kok di situ.
Lalu soal pilihan partai. Saya pikir dalam hal ini adalah wujud kecermatan pandangan politik Gus Sholah. Menurut saya beliau melihat, riskan bila semua tokoh NU berada di PKB. Kalau PKB habis, habislah semua.
Riskan pula bertentangan dengan hasil Muktamar NU 1984 di Situbondo yang mengembalikan NU ke khittah 1926 sebagai organisasi masyarakat keagamaan dengan konskuensi logis membebaskan nahdliyin memilih partai politiknya sendiri.
Atau, dalam bahasa KH As’ad Syamsul Arifin: “membuat NU tidak ke mana-mana tapi berada di mana-mana.”
Melalui ketelibatannya yang singkat di PKU, Gus Sholah memberikan keyakinan kepada nahdliyin lain supaya tak ragu memilih rumah politiknya, asal rumah keagamaannya tetap NU dan siap berjuang demi kepentingan NU.
Lagi pula, justifikasi bahwa partai orang NU hanya PKB dapat menjadi beban bagi NU. Karena NU berpeluang sekadar menjadi alat peraup suara bagi politikus yang bernaung di PKB.
Belakangan, dalam artikelnya berjudul “Refleksi 94 Tahun NU” yang terbit di Kompas pada 27 Januari 2020, Gus Sholah menyatakan secara gamblang kondisi NU saat ini yang menjadi PKB sentris.
“Dalam kenyataan, organisasi NU pergi ke (ikut) satu partai (PKB). Bahkan, sedikit atau banyak ada campur tangan partai terhadap struktur NU,” tulisnya.
Keterlibatan Gus Sholah di ICMI, menurut saya, punya andil besar dalam keterpilihan Gus Dur sebagai presiden. Beliau menjadi dekat dengan orang-orang politik di lingkungan ICMI, seperti BJ Habibie. Juga orang politik yang bersimpati pada ICMI, seperti Amien Rais.
Kita tahu bahwa terpilihnya Gus Dur menjadi presiden, salah satunya adalah akibat manuver politik poros tengah Amien Rais yang mengumpulkan kelompok Islam. Maka, besar kemungkinan jalinan jembatan antara kelompok Amien dan Gus Dur semakin dikokohkan dengan keberadaan Gus Sholah di dalam ICMI.
Kritik Gus Sholah kepada Megawati sebelum Sidang Umum MPR 1999 lewat artikel berjudul “Mbak Mega, Bicaralah!” yang terbit di Kompas pada 14 Juli 1999, menunjukkan dukungan besarnya kepada Gus Dur untuk menjadi presiden.
Di situ Gus Sholah menyatakan menunggu gagasan dari Megawati untuk bangsa ini. Baik secara lisan, lebih-lebih dalam tulisan. Karena menurutnya, pemimpin Indonesia haruslah memiliki gagasan terkait kepentingan masyarakat.
Saat itu calon kuat presiden adalah Megawati, BJ Habibie, dan Gus Dur. Sementara BJ Habibie dipandang antek Orde Baru, maka tersisa Megawati dan Gus Dur yang mungkin terpilih. Dari keduanya, jelas lah yang akrab dengan dunia gagasan adalah Gus Dur.
Pada akhirnya, Gus Sholah memang tak pernah menduduki posisi sepenting Gus Dur dalam politik nasional, maupun di NU. Beliau gagal menjadi wapres setelah kalah dalam pilpres 2004 bersama Wiranto. Beliau juga gagal menjadi Ketua PBNU setelah kalah di Muktamar ke-30 dan ke-33 NU.
Akan tetapi, jasanya sama besarnya dengan Gus Dur. Gus Sholah adalah pembela minoritas dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang konsisten (pernah menjadi Wakil Ketua Komnas HAM pada 2002). Mencintai agama dan negaranya dengan sepenuh hati. Pengemban tugas penting untuk mengurus Pesantren Tebuireng yang legendaris.
Dan tentu saja—masih menjadi—sosok penyeimbang langkah dan pikiran Gus Dur.
Minggu malam, 2 Februari 2020, Gus Sholah mangkat ke hadirat Allah SWT. Duka menyelimuti hati seluruh warga nahdliyin—termasuk saya sebagai pengagumnya. Namun, seperti halnya kehidupannya yang selalu jadi penyeimbang, almarhum pun diistirahatkan di samping makam sang kakak untuk sebuah keseimbangan.
Mautul alim, mautul alam.
BACA JUGA Kegagalan demi Kegagalan Gus Dur atau tulisan Ahsan Ridhoi lainnya.