Pentingnya Kehidupan Dunia

kepala suku

Sehabis salat Jumat, tepat ketika kaki saya hampir menapaki sandal, Dik Anggoro mencegat saya. Dia ketua remaja masjid. Anak muda itu meminta saya bergabung rapat bakda siang ini juga. Kalau punya waktu luang, katanya

Saya mengiyakan. Saya lalu balik lagi masuk ke dalam masjid dan kemudian duduk bersama beberapa orang yang sudah lebih dulu berada di sana. Masjid ini sesekali memang sering mengundang perwakilan warga. Saya sepertinya dianggap sebagai perwakilan warga perumahan.

Di kampung ini ada 3 perumahan yang setidaknya setiap salat Jumat hampir sebagian warga ketiga perumahan itu, melakukan ibadah Jumat di masjid ini.

Tidak lama kemudian, belasan orang sudah berkumpul. Hampir semua saya kenali muka mereka. Dua di antaranya sangat saya kenali karena profesor ternama di kota ini.

Pak Ramdani, ketua takmir masjid, membuka acara. Intinya, dia mengatakan bahwa forum ini diadakan sebagai sarana tabayun. Konfirmasi dan klarifikasi. Saya yang pada dasarnya suka sesuatu yang mengandung misteri, langsung njenggirat. Penasaran.

Pak Ramdani lalu menjelaskan. Di masjid ini sudah beberapa bulan ada kajian sehabis salat Isya’ di hari Senin. Kajian Senin Malam, namanya. Pengisinya bergantian. Salah satunya seorang ustad muda. Namanya: Ustad Mulyadi. Saya melihat ke arah anak muda itu. Mungkin usianya 35 tahun. Cukup muda. Dua atau tiga kali, dia pernah mengisi khotbah Jumat.

Pokok perkaranya, Ustad Mulyadi ini mulai sering mendakwahkan tema kajian: pentingnya kehidupan dunia. Hal inilah yang menjadi bahan tabayun siang ini. Para tetua dan pengurus masjid perlu mendengar langsung apa yang dimaksud dengan tema ini.

“Mas Mulyadi,” ucap Sang Profesor menyambung Pak Ramdani, “Ini kan zaman akhir. Kita semua diingatkan untuk selalu ingat pentingnya kehidupan akhirat. Setidaknya menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Kenapa Anda justru mempromosikan pentingnya kehidupan dunia.”

Saya melihat tak ada perubahan apapun di wajah Ustad Mulyadi. Dia terlihat tenang. Kalem. Wajahnya teduh. Kemudian dengan suara halus dia menyatakan terimakasih atas forum tabayun ini, dan meminta maaf jika membuat situasi tidak menyenangkan.

Dia lalu mulai angkat bicara: “Bapak-bapak, perbolehkan saya bertanya: Apakah nanti ada perbuatan kita di dunia yang tidak dihisab di akhirat?”

“Tentu tidak ada, Mas…” sahut Dik Anggoro.

“Bahkan pikiran kita pun akan dihisab. Akan ditimbang dan dihitung,” kata Pak Ramdani, “kalau pikiran baik akan dapat pahala. Pikiran buruk tidak dapat dosa selama tidak diperbuat.”

Suasana tenang. Saya bahkan bisa mendengar nafas Haji Rahmat, pemilik toko kelontong di samping masjid.

“Kalau begitu, urusan dunia sungguh sangat penting.” terdengar suara Ustad Mulyadi. Pelan tapi tegas. “Sebab yang dihisab, ditimbang, dan dihitung, itu perbuatan kita di dunia…”

“Kita seyogianya mengingatkan banyak orang bahwa akhirat itu bukan sesuatu yang terpisah dengan dunia. Hal inilah yang sering membuat orang berpikir bahwa dunia itu sekarang, akhirat itu nanti. Padahal yang dihisab perbuatan di dunia…”

Saya mulai merasa omongan ustad muda ini makin percaya diri. Tapi tetap tidak kehilangan kontrol.

“Karena pemahaman semacam ini pula yang menyebabkan ada batas-batas perbuatan. Ada perbuatan untuk akhirat, ada perbuatan untuk dunia. Salat Jumat dianggap urusan akhirat. Demikian pula dengan puasa, haji, sedekah, dll…

“Sementara main futsal, ngopi, momong anak, bercengkerama dengan keluarga, nonton film, membeli sandal, dll, dianggap urusan dunia….

“Bagaimana bisa begini?”

Semua orang tampak berpikir.

“Apakah saat kita membeli sandal di dunia, tidak dihisab di akhirat? Apakah saat kita main futsal, tidak dihisab di akhirat?”

Muka orang-orang saya perhatikan tampak berpikir keras.

“Apakah perbuatan dan aktivitas itu akan dihisab, Bapak-bapak?”

“Dihisab…” terdengar dengung jawaban lumayan serempak.

“Baiklah. Kalau begitu, adakah urusan di dunia yang tidak penting?”

“Tidak ada…” lagi, terdengar dengung jawaban.

“Apakah dunia tidak penting?”

“Penting…” lagi-lagi terdengar jawaban semua orang dengan suara yang tak lepas benar dari tenggorokan.

“Dengan begitu, semua aktivitas kita adalah ibadah. Mencari nafkah, tidur, ngopi bersama teman, main futsal, membaca buku, main Facebook, semua… Semua ibadah. Karena akan dihisab. Sehingga harus kita maknai dan niatkan sebagai ibadah.”

“Termasuk forum tabayun kita siang ini juga ibadah…” entah kenapa kalimat itu meluncur dari mulut saya.

“Alhamdulillah…” Pak Ramdani lalu bangkit. Menyalami Ustad Mulyadi. Dan orang-orang pun mengikuti…

Exit mobile version