Menjadi Warga Negara Biasa Saja

kepala suku

Kebanyakan dari kita adalah warga negara yang baik. Terlalu baik bahkan. Saya akan tunjukkan kebaikan kita sebagai warga negara.

Kita keluar dari rumah, masuk ke jalan raya dengan tertib. Ada lampu merah kita berhenti. Lampu berwarna hijau, kita jalan lagi. Coba kalau pas lampu menyala berwarna hijau kita iseng saja tetap berhenti sambil membaca koran? Kekacauan kecil terjadi. Itu baru satu orang, coba kalau sepuluh, seratus, atau seribu orang dalam satu kota melakukan hal itu.

Kita juga parkir dengan baik. Membayar parkir. Ketika berbelanja, kita membayar pajak dengan tertib. Tidak mempertanyakannya. Coba kalau pas kita berbelanja, kita ngeyel mempertanyakan kenapa pajak mi instan segitu dan cukai rokok tinggi sekali? Tapi tidak kan? Kita tetap membeli dengan tenang. Membayar dengan baik.

Saat kita ngopi, kita juga membayar pajak makan dan minum tanpa bertele-tele. Kalem. Bahkan kita tak pernah mempertanyakan kalau mesti membayar biaya ‘servis’. Betapa baiknya kita.

Pajak kendaraan pun kita bayar dengan tepat waktu. Kalau molor pun pasti kita bayar plus dendanya yang tinggi banget itu. Pernahkah kita memprotesnya? Tidak. Pajak bumi dan bangunan pun sama saja. Kita semua membayarnya dengan manis. Hanya caranya saja yang beda-beda. Ada yang gak mau ribet maka minta tolong satpam perumahan, ada yang nitip ke keponakan, ada yang nitip ke tetangga kiri-kanan.

Itu baru pajak dan aturan di jalan raya. Tertib. Baik. Kita lakukan dengan tanpa protes dan mempertanyakan dengan kritis. Kita semua warga negara yang baik. Baik sekali bahkan. Telat sedikit wajar. Tapi kalau telat kan tetap ada dendanya.

Kita semua disuruh repot ganti KTP elektronik pun kita lakukan dengan patuh. Walaupun ribetnya ngaudubilah. Diminta ganti SIM 5 tahun sekali juga oke-oke saja.

Bahkan sebagai warga negara kita sering aktif dalam agenda kenegaraan. Misalnya soal keamanan kampung. Ronda kampung itu biasa. Ikut menjaga ketertiban kampung. Bayar iuran kampung. Kalau ada peringatan hari kemerdekaan, kita lebih aktif lagi. Bukan hanya siap capek menjadi panitia, tapi siap keluar uang banyak untuk berpartisipasi agar semua warga makin bergembira.

Jadi sebetulnya kurang apa kita sebagai warga negara? Kita warga negara yang baik, patuh, dan sering kali proaktif.

Maka kalau ada sesekali agenda kenegaraan kita absen, atau tidak suka, ya wajar. Biasa saja. Kita bukan warga negara yang paripurna. Sebab kalau mau paripurna, kita bakal capek. Kita bisa mengawal semua agenda pembahasan aturan yang melibatkan kita. Kita akan protes semua persoalan lingkungan karena merugikan kehidupan kita. Tapi kita ini pemilih isu yang cermat. Kita pilih yang dekat. Hotel sudah terlalu banyak ya jangan membangun lagi lah… Banjir sudah terlalu sering, ayo dong ditangani wahai pemerintah. Dll. Dll.

Bahkan wakil rakyat pun tidak kita tuntut neko-neko. Ada yang tidur ya tidak kita protes. Ada yang korup ya kita terima dengan lapang dada. Ada yang pasif ya kita maklumi. Lha mau bagaimana lagi…

Maka ketika ada satu agenda saja, kita ditolol-tololkan, digoblok-goblokkan, dikatakan sebagai warga negara yang tidak baik, kita berhak marah. Maka itu, wahai para politikus, jika sebagian dari kami tidak menggunakan hak pilih kami saat pileg dan pilpres, jangan ganggu kami. Biarkan kami menjadi warga negara biasa. Sudah terlalu banyak yang kami lakukan dan kerjakan buat negeri ini.

Kalau kalian masih juga menyalahkan kami, ijinkan kami berkata: Kontol kau!

Exit mobile version