Kenapa Kebaikan Selalu Kalah Melawan Kejahatan?

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COTernyata itu karena orang baik selalu punya alasan untuk terpecah belah, sedangkan orang jahat selalu punya alasan untuk bekerja sama.

Seorang intelektual sudah lama gundah. Sudah beberapa tahun ini dia menyuntuki tumpukan data tentang bagaimana orang-orang baik mencoba memperjuangkan berbagai agenda kemanusiaan dan lingkungan, untuk dunia yang lebih baik. Tapi dari data itu, dia terhenyak. Ternyata, hampir semua data menunjukkan bahwa perjuangan untuk kebaikan ternyata selalu kalah.

Saking pusing memikirkan hal itu, dia mencoba untuk mencari lewat jalan yang agak aneh. Dia berkonsultasi dengan seorang begawan yang sudah meninggal dunia beberapa puluh tahun lalu. Lewat medium mimpi.

Sang Begawan yang ditemuinya lewat mimpi, sedang duduk santai di bawah pohon yang rindang. Rambut putihnya yang panjang tergerai, sesekali beberapa helai rambut itu diterpa angin sore yang sejuk. Di bawah sana, tampak bebukitan menghijau. Parasnya yang lembut memancarkan pesona tersendiri. Semacam magnet alami yang mudah menyedot perhatian banyak orang, seandainya dia hadir di depan publik. Sayang, dia sendiri di sana. Tak ada siapa-siapa. Hingga si Cendekiawan mendekatinya.

Setelah memberikan salam, si Cendekiawan duduk persis di depan sang Begawan. Ia sejenak berbasa-basi, baru kemudian Cendekiawan yang suntuk itu mulai menceritakan kegundahannya. Sang Begawan mendengarkan sembari sesekali membelai jenggot putihnya. Sepasang mata teduhnya memandang penuh perhatian pada si Cendekiawan yang sedang mengisahkan rasa resahnya.

Setelah tuntas menggelar kisah, si Cendekiawan menunggu sabda dari sang Begawan. Tapi sang Begawan tidak langsung merespons. Suasana hening. Angin bertiup pelan. Sore mengambang.

“Sesama orang jahat selalu mudah bertemu dan kompak. Mereka mungkin pernah bermusuhan. Tapi di antara mereka mudah berdamai jika menemukan kepentingan masing-masing. Makanya jangan heran, jika ada sejarah di antara mereka pernah berselisih, lalu di kemudian tahun, mereka seperti sekutu. Kepentingan. Ya, kepentingan menyatukan mereka. Lalu dengan cepat mereka melupakan konflik masa lalu mereka.

“Sementara orang-orang baik, jika mereka berselisih pendapat di antara mereka, tidak mudah berdamai. Mereka orang baik, tapi pada dasarnya pendendam satu sama lain. Kebenaran yang mereka perjuangkan, kadang menutup hati mereka tentang pentingnya islah. Pentingnya untuk saling memaafkan dan kembali membicarakan apa yang perlu mereka lakukan. Dengan begitu, barisan mereka akan mudah tercerai-berai. Sementara kamu tahu, kejahatan yang terorganisir dengan baik, selalu bisa mengalahkan agenda kebaikan yang sempoyongan menyangga dendam dan kesendirian masing-masing.”

Si Cendekiawan tersentak. Diam-diam dia membetulkan pernyataan itu. Sekalipun sambil tersipu.

“Orang-orang jahat tahu bahwa di satu sisi tertentu mereka akan berselisih paham dengan yang lain, tapi ketika mereka punya kepentingan, mereka akan kompak. Sementara orang-orang baik, menuntut semua yang di dekatnya harus sempurna. Padahal tidak mungkin semua manusia sempurna dalam semua agenda kebaikan. Orang-orang baik menuntut kesempurnaan dari A sampai Z. Mereka tidak mau bekerja sama dengan orang-orang yang tidak satu suara penuh untuk seluruh pandangan hidup mereka. Kalau mereka sedang memperjuangkan agenda D, lalu salah satu di antara mereka pada agenda C ternyata berbeda pendapat, maka agenda D yang mestinya masih bisa diperjuangkan bersama, mendadak bisa cabar. Cabar hanya karena mereka berselisih pendapat di agenda C. Itu tidak akan terjadi pada orang-orang jahat.

“Orang-orang jahat tidak menuntut kesempurnaan di antara mereka. Mereka tahu kalau mereka jahat, maka lebih mudah untuk tidak merasa benar di antara mereka sendiri. Jika mereka sedang mengurus dan punya kepentingan di agenda Y, sekalipun berbeda dalam memandang agenda X, tetap saja agenda Y terus mereka kerjakan.”

Pelan, si Cendekiawan mencoba memahami apa yang diucapkan oleh Sang Begawan. Dia pun mengangguk, membenarkan.

“Orang-orang baik mudah sekali bertengkar karena waham ‘kesucian’ perjuangan mereka. Sehingga apa yang dianggap orang tidak suci, yang punya dosa masa lalu, tidak mudah bergabung. Padahal dalam hukum membela kebenaran, sesungguhnya orang-orang yang khilaf atas kekeliruan mereka, menjadi potensi besar. Lihat saja kisah Nabi Muhammad. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang dulu memusuhinya. Dan orang-orang yang dulu memusuhinya, bahkan pernah berlaku sangat keji, ketika kemudian berbalik menjadi orang baik, memberikan kontribusi yang besar pada perjuangan Kanjeng Nabi. Kata maaf dan sadar dari khilaf, seolah tidak penting dan tidak ada dalam rumus orang-orang yang berbuat baik di zaman kalian. Kalau ada yang salah, akan dianggap salah terus. Padahal kehidupan manusia itu rumit dan dinamis. Memfasilitasi orang yang pernah bersalah, memaafkan mereka, seolah tidak dianggap sebagai modal penting dalam perjuangan. Apalagi jika ditinjau dari substansi kemanusiaan, ini jelas langkah yang tidak masuk akal. Orang yang jahat dan sadar akan kejahatannya, berarti sedang menemukan kembali kemanusiaannya. Bagi orang baik di zamanmu, sekali pendosa, selamanya pendosa. Seakan mereka kumpulan orang suci yang tidak mau disentuh oleh dosa masa lalu manusia lain.”

Si Cendekiawan mulai menundukkan kepalanya. Meresapi betul kata demi kata yang meluncur dari mulut sang Begawan. Ketika dia menengadahkan mukanya, sang Begawan sudah tidak ada lagi di depannya.

Ketika dia mulai bingung, terdengar suara Sang Begawan tanpa raga. “Semasa hal seperti itu terus terjadi, maka tidak akan ada cerita orang baik akan menang melawan orang jahat. Itu hanya akan menjadi cerita masa lalu saja, dan dongeng yang akan diedarkan untuk anak-anak kecil, tapi pada kenyataannya tak pernah benar-benar ada.”

Si Cendekiawan tercekat. Wajahnya memucat. Lalu terdengar lagi suara, “Agenda kebaikan tak akan pernah bisa dimenangkan oleh orang-orang yang egois dan merasa diri mereka suci. Begitu mereka merasa suci, kebaikan telah pecah berantakan di muka bumi.”

“Tapi apakah kebaikan lantas tidak perlu lagi diperjuangkan?” tanya si Cendekiawan, penasaran. Kali itu, dia tak mendengar jawaban.

BACA JUGA Kebenaran yang Membinasakan dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version