Kenapa sih, Tokoh Jahat dalam Film Harus Tertawa?

MOJOK.COPernah kepikiran, nggak? Kenapa para tokoh jahat di film sering tertawa dalam melancarkan aksi kejahatan mereka?

Setiap kita menonton film serius yang ada tokoh antagonisnya, hampir selalu ada adegan khas, yaitu adegan di mana tokoh jahatnya tertawa. Biasanya ketika sedang merencanakan atau mengeksekusi kejahatannya, atau bisa juga sesudahnya. Ketawanya bisa dilakukannya sendirian maupun bersama komplotannya.

Ini menyisakan sebuah misteri besar yang menggelinjang di dalam benak: emang kenapa, sih, dia harus ketawa?

Apalagi, adegan itu terkesan wajib ada dalam film. Sebagaimana wajibnya kaleng biskuit diisi rengginang seusai lebaran. Seakan-akan ada kredo, ”Ente itu patut diragukan kejahatannya jika belum tertawa.”

Tapi, ya itu, tujuannya apa, ya? Jika tujuan pembuat film memasukkan adegan itu agar muncul kesan jahatnya, apa masih kurang penjahat itu dikasih tampilan serem? Seperti bertato dan jambang lebat?

Atau, jika tujuannya untuk menunjukkan atmosfer psikis di mana dia mendominasi situasi. Kenapa cuma penjahatnya yang dapat bagian ketawa? Sementara, ketika adegan tokoh jagoannya akan mengalahkan penjahat, justru dia jarang tertawa?

Emang ada po, dalam film Avengers, para superheronya ketawa terkekeh saat berhasil menemukan rencana jitu buat ngalahin Thanos? Atau pas mencegat atau sesudah ngalahin Thanos? Nggak ada, kan? Eh, ini nggak niat buat spoiler lho, ya.

Apakah adegan tertawa itu adalah hak prerogatif para tokoh jahat? Atau emang para tokoh protagonisnya aja yang nggak punya selera humor? Jangan-jangan nantinya terbawa-bawa keluar film, muncul stigma bahwa orang yang suka tertawa adalah orang jahat? Kan, katanya menonton film bisa mempengaruhi tabiat dan perilaku seseorang. Setidaknya gitu kalau katanya orang-orang mulia yang melarang film Kucumbu Tubuh Indahku itu.

Udah gitu, ketawanya biasanya juga terkekeh gitu. Kenapa harus terkekeh, sih? Bukannya ketawa yang tersipu malu-malu, garing, ngakak-ngakak, atau kombinasi di antaranya?

Jika alasannya adalah untuk memproyeksikan realitas keseharian, itu malah lebih aneh lagi. Emang kalian pernah, dalam keseharian ngelihat para pelaku kriminal ketawa pas mau beraksi? Saya aja  beberapa kali dicegat calon pemalak, atau orang-orang yang mau ngeroyok, nggak ada tuh yang ketawa. Yang ada malah merengut, melotot-lotot biar kelihatan galak. Ye, kan?

Atau, jika alasan dimasukkannya adegan tertawa itu untuk mengisi durasi film, apa nggak bisa diganti dengan adegan yang lain? Bersin-bersin, misalnya. Atau pipis dulu. Atau kalau memang mau yang agak lama, ngopi-ngopi sambil rokokan main tebak-tebakan. Dijamin durasinya bakal lamaan!!11!1!

Lagian, kan ketawa itu harusnya muncul karena adanya stimulus berupa kelucuan, ya? Nah, dalam adegan di mana si penjahat itu tertawa, yang lucu apanya, sih, Malih? Apanyaaa?

Yang saya khawatirkan adanya adegan tertawa ini justru jadi blunder yang akhirnya mengubah bahkan merusak jalan cerita. Misalnya kayak contoh-contoh di bawah ini.

Pertama, si tokoh jahat terkekeh untuk menunjukkan dominasinya terhadap calon korbannya. Sekalian membuat si calon korban ini terintimidasi hingga merasa rendah, panik, putus asa, dan tak berdaya. Lha, kalau misalnya gara-gara diketawain terus si calon korban ini malah tersinggung, nggak terima direndahkan, terus kalap ngaploki si antagonis, gimana?

Atau, si calon korban malah tersentuh ghirah keberagamaannya terus menceramahi si antagonis ihwal dosa merendahkan dan menertawakan kemalangan orang, sambil nyentil-nyentil nanyain agama, gimana?

Kedua, kalau misalnya pas adegan tertawa geje itu terus si calon korban jadi bingung, situasinya malah jadi awkward. Kebayang nggak, pas si penjahat terkekeh gitu, si korban terus nanya heran, ”Ngetawain apa, sih, Mz?” Terus si penjahat jadi harus menjelaskan hal lucu apa yang dia tertawakan ke calon korbannya itu.

Iya kalau itu si calon korban juga menganggapnya lucu, lha kalau nggak? Bisa-bisa yang ada si calon korban malah ngebully, ”Ya Allah, Mz, receh banget sih selera humor sampeyan. Keseringan liat meme dan Tebakan Mojok, ya?” Kan kasihan.

Ketiga, akan jauh lebih awkward lagi jika ketika adegan si penjahatnya lagi tertawa geje, si calon korban juga ikutan tertawa. Entah karena selera humornya juga sama-sama absurd, atau sekadar berbasa-basi menghargai perasaan si antagonis.

Apalagi kalau si tokoh jahat cuma terkekeh, sementara si calon korbannya malah ngakak-ngakak untuk menunjukkan bahwa dia lebih dominan daripada si penjahat. Apa nggak malah kebalik si tokoh jahatnya yang terintimidasi, kalau kayak gitu?

Selain itu, kenapa juga si penjahat itu harus nanya hal-hal absurd ke calon korbannya, khususnya pertanyaan macam ”Mau lari ke mana, Manis?” Asli deh, itu pertanyaan paling nggak guna yang diucapkan oleh seorang penjahat di antara milyaran pertanyaan lain di muka bumi. Memangnya, dengan menanyakan itu, jawaban apa sih yang dia harapkan?

“Anu, Mas. Saya mau ke depan, terus belok kiri ke jalan besar. Rencananya nanti habis itu mau pulang ke rumah.Tapi sebelumnya mampir ke rumah teman dulu, tadi diajak nyicip resep jus baru racikan mamanya, lalu bla bla bla..” Gitu, kah?

Atau, gimana kalau misalnya si calon korban ini malah ngegodain, ”Masnya mau tau aja apa mau tau banget? Ih, kepo, deh!” Apa nggak runtuh harga diri si mas penjahat? Hadeh, makanya kalau ngomong itu hati-hati, Mz! Dipikirin dulu!

Jika nawaitu-nya bertanya itu sekadar buat retorika basa-basi, maka sungguh itu beneran basi. Please deh, sampeyan itu sebenarnya niatnya jadi penjahat apa politisi, sih? Meskipun, ya, dalam banyak hal, politisi dan penjahat itu bisa jadi saling berparalel, sih.

Saran saya, daripada melakukan hal-hal unfaedah semacam itu, akan lebih baik jika si tokoh jahat ini sebelum beraksi menyiapkan dulu daftar pertanyaan yang lebih mutu untuk ditanyakan ke calon korbannya. Misalnya, mana sih yang punya prioritas lebih penting untuk digrebek? Anarko sindikalis atau para provokator SARA dan politisi kapitas perusak lingkungan hidup? Lantas, dasarnya apa?

Atau, ”Apakah mungkin cebong dan kampret bisa kembali waras dan rukun seperti sebelum 2014? Bagaimana caranya?” Gitu. Kan jadi lebih bermanfaat dan berpeluang membuka ruang diskusi.

Siapa tahu jika diskusinya asyik dan berbobot, akhirnya si tokoh jahat jadi mengurungkan niat jahatnya. Terus dia dan si calon korban tadi sahabatan, bahkan mungkin jadian dan hidup bahagia selamanya. Kalau bisa kaya gitu, kan  jadi indah banget. Para tokohnya senang, penonton juga mendapatkan tontonan yang bermutu dan mendidik, KPI juga senang. Intinya, semua senang semua menang. Yeay!

Yang nggak senang paling yang bikin film dan yang ngemodalin. Nah, kalau yang ini kan sama kaya kehidupan nyata kita, yang nggak senang melihat kita rukun dan bahagia adalah mereka yang sudah keluar modal dan upaya banyak buat memecah belah dan menguasai kita.

Eh ini ngomongin apaan, sih?

Exit mobile version