Kenapa Om Jonru Tidak Ikut Demo Menjatuhkan Jokowi?

Membela Logika Silogisme Jonru Ginting

Membela Logika Silogisme Jonru Ginting

Demo 20 Mei memperingati “Hari Kebangkitan Nasional” tidak memberikan hasil sesuai rencana. Begitu pula keesokan harinya, peringatan 17 tahun Reformasi. Sebanyak—lebih dari—20 juta mahasiswa dari seluruh penjuru kota di Indonesia yang datang ke Jakarta ternyata belum cukup membuat stabilitas negara terganggu layaknya gerakan reformasi 1998. Demo melengserkan Jokowi dari kursi kepresidenan itu akhirnya gagal.

Banyak kekecewaan yang muncul di media sosial, terutama kekecewaan terhadap Om Jonru—salah satu inisiator gerakan “Lengserkan Jokowi di 20 Mei”. Banyak netizen yang mengritik, mengeluh, bahkan tidak sedikit yang menyayangkan ketidakhadiran beliau di tengah-tengah lautan  para demonstran.

Tampaknya, orang-orang yang mengeluhkan ketidakhadiran Om Jonru ini lupa, bahwa ada pepatah klasik Kepulauan Faroe yang berbunyi begini; “Pertempuran dimenangkan oleh para prajurit di garis depan, tapi perang dimenangkan oleh para jenderal di warung kopi sambil update status.”

Paling tidak, sejarah mencatat, Bung Karno saja sebagai presiden pertama tidak pernah sekalipun secara langsung mengangkat atau menembakkan senjatanya di medan pertempuran melawan penjajah. Jadi, kenapa Om Jonru juga harus turun tangan?

Bung Karno jauh lebih berguna bagi bangsa ini sebagai simbol pemimpin bangsa yang merdeka. Kalau Bung Karno harus terjun langsung ke medan pertempuran, itu berisiko membuat bangsa ini kehilangan pemimpinannya. Maka hal itu juga berlaku untuk Om Jonru, yang lebih memiliki manfaat sebagai seorang inisiator daripada seorang eksekutor. Beliau lebih bermanfaat bagi penggemarnya sebagai tokoh inspiratif daripada sekadar turun ke jalan yang berisiko membuat jamaahnya kehilangan pemimpin.

Selain itu, Bung Karno dan Om Jonru juga memiliki kesamaan dalam membangkitkan gairah perlawanan rakyat. Bedanya, Bung Karno membakar semangat rakyat untuk terus berjuang melalui mikrofon, sedangkan Om Jonru berorasi melalui fanpage Facebook atau akun Twitter yang juga bisa membakar begitu hebat.

Itulah mengapa Om Jonru tidak perlu ikut demo bersama para mahasiswa. Tidak perlu orasi di depan Istana Negara atau bahkan sampai langsung ikut jamuan makan malam Pak Jokowi.

Sebagai seorang penulis bestseller dan motivator kepenulisan terkemuka di Indonesia, Om Jonru perlu menjaga diri. Coba, apa yang terjadi dengan jadwal seminar selama setahun dan launching-launching buku beliau jika sampai ditangkap hanya karena dianggap provokator atau korlap demontrasi?

Keselamatan, kesehatan, dan kebersihan fisik maupun jiwa Om Jonru juga perlu dijaga, terutama setelah ada isu bahwa polisi bekerja sama dengan perusahaan sedot wc untuk menyiapkan water canon penghalau demonstran.

Selain itu, dari pertimbangan ekonomi, untuk apa menghabiskan banyak energi untuk tindakan yang kemungkinan berhasilnya begitu kecil? Sebagai seorang ahli marketing di media sosial, yang memiliki ribuan likers dan followers, tentu hal semacam ini sudah Om Jonru perhitungkan dengan matang nan mantap.

Turun langsung ke jalan bukanlah solusi yang menjanjikan. Akan lebih bijak berada di balik layar dengan hanya menginisiasi, menginspirasi, dan kalau perlu sedikit menyulut api. Dengan begitu, Om Jonru bisa menggerakkan banyak orang melalui ide-ide inspiratifnya tanpa perlu beranjak dari hadapan laptop. Seperti pepatah kuno Kepulauan Fiji: “Lempar kentut, sembunyi pantat.”

Toh, sekalipun Om Jonru ikut serta di barisan terdepan para demonstran, tidak ada jaminan juga bahwa kritik, cacian, dan fitnah untuk Om Jonru akan berhenti begitu saja. Sebab apapun yang dilakukan Om Jonru akan terlihat salah di mata para haters. Lha piye? namanya juga haters.

Jika tidak ikut demo, beliau akan disalahkan karena dianggap cuma omong doang. Sekalipun ikut, beliau akan semakin ditertawakan karena cuma memimpin segelintir orang. Atau jika ikut dan demonstrasi ternyata cukup berhasil—bahkan sampai benar-benar membuat Jokowi lengser, beliau tetap saja akan dikritik, “Ah, Jonru ini pasti cuma pencitraan.” Maju kena, mundur kena.

Jadi untuk para haters, kalian harus cukup cerdas dalam mengritik dan menghujat Om Jonru. Kalian perlu berpikir dewasa, memberi kritik yang membangun, positif, dan solutif kepada Om Jonru. Beri kesempatan Om Jonru agar bekerja dalam menyuarakan pendapat kritisnya untuk pemerintahan Jokowi selama sisa masa jabatan ini. Baru juga seumur jagung, sudah main kritik saja kalian ini.

Jangan buru-buru mencap Om Jonru gagal hanya dari periode singkat ini saja, masih ada empat tahun ke depan. Artinya, masih ada empat kesempatan di tanggal 20 atau 21 Mei di tahun-tahun mendatang. Yang tentu akan ada terobosan-terobosan hebat lagi ke depannya. Jadi mari kita tunggu, kita awasi, dan kita dukung Om Jonru dalam melaksakan tugas-tugasnya sebagai Kritikus Presiden Republik Indonesia masa bakti 2014-2019.

Exit mobile version