Kenang-kenangan Transmigrasi

transmigrasi-mojok.co

transmigrasi-mojok.co

[MOJOK.CO] “Yang saya dapati, transmigrasi adalah ‘privilese’ untuk orang miskin.”

Mereka dua bersaudara, Umar dan Ali, nama yang baru saya sadari belakangan diambil dari dua khalifah paling terhomat sesudah Nabi wafat. Saya adalah fangirl Umar yang khalifah, sedangkan di antara dua bersaudara itu, saya lebih akrab dengan Ali.

Pasalnya Ali masih kecil, mungkin belum lima tahun. Sementara Umar mungkin seusia saya, atau sedikit lebih muda. Di masa itu, semasa saya kelas 5 atau 6 SD di 2000-an awal, entah kenapa semua anak laki-laki seusia kami seperti malu yang cenderung tak sudi untuk bermain dengan anak perempuan. Apalagi kalau anak perempuan itu asing. Perkenalan dan jalan menuju akrab bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Tapi, Ali masih kecil. Masih bocah. Jadi ia gampang diajak main rumah-rumahan atau masak-masakan atau digelitik-gelitiki.

Saya kenal Umar dan Ali bukan di sekolah, bukan di lingkungan rumah, bukan di hutan, pokoknya bukan di tempat mana pun yang lumrah bagi anak-anak desa kami untuk ketemu kenalan baru.

Kalau saya dibawa orang tua ke rumah mereka, saya mungkin tidak akan kenal mereka. Umar tampaknya tidak sekolah, jadi kami tidak mungkin kenal di sana karena hanya ada dua SD di desa itu yang letaknya bersebelahan. Kemudian, rumahnya jauh sekali dari rumah saya, lumayan terpencil sehingga jelas tidak masuk dalam zona main saya.

Setelah kedatangan pertama ke rumah itu, menyusul kedatangan yang lebih sering. Dan setiap kedatangan itu menyusun gambar awal bagi batin saya sebagai kanak-kanak tentang apa itu miskin. Tidak ada kemiskinan yang lebih kentara ketimbang di rumah ini. Tidak di rumah lain di seluruh desa, tidak di rumah orang-orang Dataran Tortila. Dan karena rumah ini lebih miskin dari rumah lain, barulah saya insyaf “miskin” itu ada.

Rumah Umar dan Ali berdinding papan, rumah saya juga.

Rumah Umar dan Ali tidak punya WC, rumah saya juga pernah bertahun-tahun begitu.

Rumah Umar dan Ali jauh dari sumur, rumah saya juga.

Rumah Umar dan Ali tidak dicat, rumah saya juga.

Rumah Umar dan Ali tidak ada TV, rumah saya juga pernah mengalaminya.

Tapi, rumah Umar dan Ali berlantai tanah dan hanya memiliki satu ruangan. Tidak ada rumah di desa ini yang berlantai tanah dan punya satu ruangan saja. Semiskin-miskinnya seseorang, minimal ia punya rumah panggung dengan lantai papan. Ini Kalimantan, tempat kayu berlimpah ruah sehingga orang, asal punya alat, tenaga, dan niat, bisa tinggal menebang.

Di rumah Umar dan Ali tidak ada kasur, hanya dipan dilapis tikar pandan, dan tidak ada orang yang semiskin itu di desa ini. Lemari pakaiannya buatan tangan dan tidak berpintu, nyaris kosong dari tumpukan pakaian. Mereka juga tidak punya listrik dan tetangga.

Di satu-satunya ruangan, satu sudut didedikasikan untuk tungku yang menempel di tanah sementara di rumah orang lain, tungku diletakkan di atas meja kayu yang ditutupi lapisan tanah baru kemudian tiga batu dijejer segitiga. Ibu Umar dan Ali, namanya Bu Kokom karena ia orang Sunda, memasak. Setelah ia memasak, kami akan makan sama-sama dengan piring seng di atas ranjang karena tidak ada meja dan kursi.

Masakan Ibu Kokom enak, masih saya ingat. Tapi, apa yang ia masak hanya satu yang saya ingat: singkong goreng. Dari Ibu Kokom saya pertama kali mendengar dan tahu arti kata prei ‘libur’.

***

Saya tidak pernah tanya, tapi dari menguping dan melihat, agaknya keluarga Umar dan Ali adalah pengolah kebun milik bapak saya. Bapak baru membeli tanah sekian ratus meter di jalan provinsi yang menghubungkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah—saya ingat harganya, Rp7.500 per meter. Rumah Umar dan Ali tepat di seberang tanah itu. Entah bagaimana mereka berkenalan, tahu-tahu setiap akhir pekan Bapak akan mengajak saya ke rumah mereka lalu menyeberang jalan dan mencangkuli tanah itu bersama bapaknya Umar dan Ali.

Suatu kali, sembari memasak sementara bapak-bapak mencangkul, Bu Kokom mengobrol dengan ibu saya tentang asal-usul mereka berada di Kalimantan. Saya di sana menguping dan ceritanya kira-kira begini:

Ibu Kokom tinggal di Jawa Barat, lalu kawin dengan suaminya sekarang, lalu mereka ikut transmigrasi ke Papua agar bisa hidup lebih baik. Suami Bu Kokom bekerja, Bu Kokom menunggu di rumah. Kemudian, ada tetangga lelaki yang suka menggoda Bu Kokom. Karena tidak tahan, keluarga itu mengumpulkan uang yang ada lalu naik kapal dan entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu tersesat di desa kami yang jaraknya sehari semalam dari dari pelabuhan ini.

Keluarga Bu Kokom bukan satu-satunya transmigran di desa kami. Keluar dari desa, di sela-sela perkebunan sawit yang orang desa sebut “PT”, ada perkampungan “orang trans”. Itu juga sebutan dari orang desa. Orang-orang trans ini dari Jawa. Mereka hanya kadang-kadang datang ke desa untuk menjual sayur.

Kacang kedelai rebus pertama yang saya makan dibeli dari orang trans yang berjualan dengan sepeda. Harganya 100 rupiah per ikat. Di masa itu, selain beli kacang kedelai, uang 100 rupiah cuma laku untuk beli permen.

***

Di desa kami, sejauh yang saya tahu sebagai anak-anak, tidak ada pengemis, pengamen, dan orang miskin. Orang mungkin tidak selalu punya uang, tapi dia bisa mencari makan di hutan dan sungai. Memungut buah-buah hutan dan menjualnya ke pasar sudah cukup untuk beli makan.

Bahkan seorang bapak tua tuna wicara yang orang panggil “Si Bisu” punya pekerjaan: jadi tukang panggul air. Sumur-sumur biasanya letaknya jauh dari rumah dan Si Bisu itu membantu mengangkuti air-air dalam jerigen dari sumur ke rumah. Bajunya memang sobek sedikit, agak kumuh, dan tidak pakai sandal, tapi ia tidak miskin. Rata-rata orang memang berpenampilan begitu di sini. Dengan menjadi tukang pikul air, Si Bisu tidak perlu sampai harus transmigrasi.

Di awal usia belasan saya, keluarga kami pindah ke Jawa dan di pulau inilah saya melihat kemiskinan begitu telanjang, setelanjang di mata orang baru pertama kali ke Jakarta. Pertama kali ke Jawa, saya selalu memberi recehan setiap bertemu pengemis saking trenyuhnya melihat orang menepis harga diri sedemikian rupa demi uang. Pertama kali ke Jawa, saya menangis melihat kuda delman yang bibirnya berbuih di tengah panas siang. Di desa kami, hewan tidak bekerja, hewan takdirnya untuk peliharaan atau dimakan.

Tak terbayangkan, kemiskinan seperti apa yang membuat Bu Kokom dan keluarganya saat itu begitu jauh dari rumah. Lebih hebatnya lagi, bahkan setelah transmigrasi pun mereka masih miskin. Orang-orang Batak dan Minang dan Jawa yang berjualan di pasar desa juga merantau, tapi mereka tidak “transmigrasi”. Dan mereka ini kadang masih pulang kampung, masih punya kampung.

Ingatan lidah saya memberi nostalgia pada singkong goreng dan kacang kedelai rebus, ingatan kosakata saya memberi penera bahwa transmigrasi dan merantau bukan sinonim, buku-buku memberi saya pengetahuan, penduduk 37 desa di Jawa Tengah pernah transmigrasi karena desanya ditenggelamkan untuk dijadikan waduk.

Hari ini diperingati sebagai hari transmigrasi. Entahlah, ini hari senang atau sedih bagi orang-orang Jawa di Kalimantan dan Sumatra atau orang-orang Bali di Lampung. Atau bagi semua perantau di Indonesia. Semua entah, sedangkan yang pasti sejauh ini hanya satu: yang ikut transmigrasi biasanya cuma orang miskin.

“Nyari duit kok segininya ya, Ndre,” celetuk Sule kepada Andre suatu kali di show televisi mereka.

Exit mobile version