MOJOK – Nuntut perempuan pakai jilbab tapi sama kewajibannya sendiri pura-pura amnesia. Maunya apa?
Di Indonesia, pertanyaan personal yang tak etis untuk ditanyakan, dan paling malesin untuk dijawab, ternyata sudah bertambah. Tak cuma kapan kawin dan kapan punya anak, sekarang tambah lagi; kapan pakai jilbab? Bahkan kalau sudah pakai jilbab, pertanyaannya masih ada lagi; kapan pakai (jilbab) yang syar’i?
Tentu kalian tak boleh marah dan harus bersyukur jika ada yang bertanya demikian, karena pertanyaan semacam ini adalah bagian dari dakwah. Sebagai objek dakwah, kalian harus bangga dan senang bahwa masih ada yang mengingatkan. Artinya, kalian adalah bagian dari komunitas yang saling peduli.
Persoalannya, di mana batas dakwah dan ikut campur kan sudah jelas terlihat?
Misalnya, dalam sebuah edisi mudik lebaran, salah seorang kerabat bertanya, dengan tegas dan jelas, di hadapan banyak kerabat lain, “Pacarnya sudah disunat atau belum? Kalau di agama kita, laki-laki kan harus disunat.”
Betul juga, sih. Tapi, apa faedahnya mengetahui kondisi titit seseorang? Kecuali sedang menawarkan jasa sunat, tolong pertanyaan jebakan semacam ini jangan ditiru dalam setiap kumpul keluarga. Soalnya, kalaupun saya bisa menjawab, pasti langsung dituduh sudah pernah na-na-ni-na dan melanggar norma ketimuran yang adiluhung itu.
Akan tetapi, sebelum tersinggung, bagus juga kalau kalian mencoba memahami isi kepala si penanya. Supaya kalian tahu apakah mereka betulan peduli, kepo, atau sekadar enggak punya kemampuan basa-basi yang canggih.
Pertama, mereka bisa jadi memang peduli. Apalagi katanya pakai jilbab adalah kewajiban perempuan. Perempuan yang tidak berjilbab tidak hanya menyebabkan dirinya berdosa, tetapi juga dapat menyeret ayahnya hingga ke api neraka. Mereka yang masuk golongan pertama ini adalah para ahli surga yang sudah punya kapling masing-masing di tujuh kompleks tingkat surga. Mereka mungkin sekadar ingin berkumpul kembali di surga dengan kita. Bersama-sama menikmati sungai air susu dan bidadari. Oleh sebab itu, jangan terlalu curiga pada niat baik mereka.
Kedua, mereka emang kepo dan rese aja. Berbeda dengan jenis penanya pertama, mereka ini belum tentu bisa mengapling surga. Mereka enggak peduli kalian masuk surga atau neraka, mereka enggak peduli bakal ketemu kalian di surga atau enggak. Lah, mereka aja belum yakin punya hak untuk mencium bau surga atau tidak. Mereka sekadar seneng aja gitu nanya-nanya hal yang enggak enak, demi merasa superior sesaat. Mungkin dalam batin orang-orang seperti ini; kapan lagi kan bisa merasa lebih baik dari orang lain?
Ketiga. Nah, seperti penanya tipe pertama, penanya ketiga sebetulnya enggak berniat buruk. Mereka semata enggak paham norma standar dalam kehidupan sosial. Mereka sebetulnya cuma ingin ngobrol dan membahas hal-hal ringan. Namun, saking buruk kemampuan sosialnya, akhirnya yang keluar adalah pertanyaan-pertanyaan canggung macam; kapan mau pakai jilbab? Sekarang gajinya berapa? Kok calon suaminya enggak diajak, kapan dong dihalalin? Ya dimaklumin aja, mungkin bacanya kurang banyak, nongkrongnya kurang jauh, komunitasnya itu-itu aja, atau piknik terjauhnya cuma di sofa depan tipi.
Sekarang sudah paham ya tiga tipe penanya tersebut dan mengapa kita tidak perlu terganggu, tersinggung, apalagi marah kepada para penanya.
Sementara untuk para penanya, ada satu pertanyaan penting lain yang hampir tak pernah terdengar, yang mungkin harus mulai ditanyakan. Pertanyaan ini sebaiknya ditujukan kepada laki-laki, yaitu: kapan kamu akan mulai menjaga pandangan dari perempuan agar tidak berdosa?
Saat perempuan diminta menjaga tubuhnya, laki-laki diminta menjaga pandangannya. Ada kisah yang sering diulang-ulang dalam ceramah agama. Ketika Nabi Muhammad mendapati Al Fadl bin Abbas menatap seorang perempuan tanpa henti, Nabi Muhammad tidak memerintahkan perempuan tersebut untuk mengubah cara berpakaiannya, tapi Nabi Muhammad meminta si lelaki untuk menjaga pandangannya.
Hal ini yang jarang kita dengar. Ratusan tahun lalu, Nabi Muhammad sudah menolak budaya perkosaan dengan menegur si pihak lelaki yang mengobjektifikasi perempuan, alih-alih menegur hak si perempuan dalam berpakaian. Ratusan tahun lalu, Nabi Muhammad sudah menegaskan melalui ucapannya kepada Al Fadl bin Abbas bahwa tubuh perempuan bukanlah otoritas laki-laki. Kalau laki-laki memang takut berdosa dan merasa terganggu, mereka harusnya juga menahan diri dan menahan pandangan.
Nah, kapan kita menanyakan hal semacam ini kepada laki-laki di tengah acara keluarga?
Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa perempuan tidak harus berjilbab. Saya mendukung hak perempuan untuk berjilbab. Saya juga mendukung kebebasan berdakwah dan menjalankan perintah agama masing-masing.
Yang tidak saya dukung adalah tekanan sosial bagi perempuan dan tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah otoritas perempuan. Biar perempuan yang memilih, kalaupun berdosa, biar dia tanggung sendiri. Sementara lelaki, mulailah belajar menjaga pandangan jika takut berdosa. Bukan cuma menuntut perempuan menjalankan kewajibannya tapi sama kewajibannya sendiri pura-pura anemia, eh, amnesia.