MOJOK.CO – Jelang akhir tahun, sudah saatnya melihat kaleidoskop. Bukan kaleidoskop tahun 2021, tapi kaleidoskop satu abad Indonesia.
Mau satu tahun, mau seratus tahun, nama bulan tetap sama; dimulai dari Januari dipungkasi dengan Desember. Di bawah matahari dan rembulan yang sama itu, izinkan saya ikut serta merefleksikan perjalanan Indonesia.
Tapi, maaf, bukan kaleidoskop Indonesia satu tahun mutakhir, 2021; melainkan kaleidoskop Indonesia yang berjarak 100 tahun, 1921.
Mari masuki postur Indonesia dan pergulatan manusia-manusia di masa 100 tahun lewat itu lewat bantuan koran-koran semasa; dari Neratja yang ditukangi Agoes Salim dan Abdul Muis dari Surabaya, Sinar Hindia yang dinahkodai duet Semaoen dan Darsono dari Semarang, Pemimpin yang dipimpin duet Soewardi Soerjaningrat dan Soerjopranoto dari Yogya, hingga Masa Baroe besutan S. Goenawan dari Bandung.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Pertarungan terakhir Pandemi
Setelah dua tahun berhadapan dengan pandemi, mungkin kamu sudah muak membaca daftar korban pandemi yang tiap hari dikeluarkan Kementerian Kesehatan dan disiarkan tanpa henti oleh media.
Sama, tepat untuk memulai kaleidoskop seratus tahun silam, “Indonesia” (baca: Hindia) di tahun 1921 genap satu dekade berhadapan dengan pandemi pes yang dimulai dari 1911. Artinya, “Indonesia” pernah memiliki pengalaman berhadapan dengan pandemi dalam rentang satu dekade.
Kondisinya naik turun. Bulan Maret, misalnya, Pasuruan dinyatakan bebas pes, tapi Magelang dan Muntilan kembali mengamuk bersamaan dengan guyuran hujan dan badai melanda Hindia pada Oktober.
Bulan berikutnya, muncul lagi. Apalagi, di tengah jalan, pes digenapi oleh badai pandemi influenza yang dimulai 1918.
Tanpa menyajikan naratif, mungkin sudah bosan, seperti ini, misalnya, Sinar Hindia menyajikan kabar pes:
Jumlah penderita penyakit pes sedari tanggal 16–22 April 1921 mencapai 124 orang, dengan perincian: Temanggung 4, Wonosobo 31, Magelang 30, Salatiga 11, Kendal 9; Boyolali 31, Surabaya 2, Pasuruan 2, Solo 1, Lamongan 3.
Terhitung semenjak 19 November 1921 sampai 25 November 1921, sudah ada 350 orang terkena penyakit pes dengan kalkulasi: Wonosobo, 11 orang; Temanggung, 12 orang; Magelang, 16 orang; Boyolali, 74 orang; Klaten, 13 orang; Surakarta, 2 orang; Salatiga, 36 orang; Kendal, 2 orang; Surabaya, 3 orang; Pasuruan, 2 orang; dan Blitar, 7 orang.
Berita kematian pun makin ke sini makin akrab. Kalau masih dianugerahi hidup, ya, Alhamdulillah; kalau pun mati, ya, mau apa lagi?
Saking akrabnya, kematian hanya giliran dan menjadi statistik. Jika yang mati adalah kawula kecil, tinggal dikubur di pemakaman kampung. Jika raja yang terinfeksi dan meninggal, dikebumikan di makam khusus para raja, seperti kematian Sultan Hamengku Buwono VII Yogyakarta yang terserang “asma”. Tubuh tuanya yang berumur 73 tahun hanya bisa bertahan dua malam sebelum tumbang di bulan Desember.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Bencana di mana-mana
Dan, Gunung Serua di Banda, Maluku, pun meletus. Pemerintah memberangkatkan Kapal Kutai membawa beras bagi para pengungsi yang selamat dari lelehan lahar dan selimut debu beracun. Sementara di Jawa, angin ribut dan banjir menyapu.
Topan yang menyapu Semarang membikin Pasar Djohar dan Pasar Djatingaleh berantakan. Kawat telepon dan listrik putus. Kedai-kedai tukang cukur terangkat, sementara pohon asam yang tumbang melintang di tepi jalan besar Kampung Wanadri Peterongan menimpa gerobak sapi.
Si sapi, duh, kasihan sekali, ya, Allah, patah kaki. Walau gerobaknya hancur, bajingannya selamat.
Angin ribut ini juga menghantam Cepu, Solo, Surabaya, Tegal, Bogor, bahkan Riau. Sudah dipastikan banjir di mana-mana. Sungai-sungai besar meluap. Dari Kali Brantas hingga Cimanuk di Cirebon.
Di Banyuwangi, akibat luapan Kali Bajulmati, dam atau bendungan jebol.
Di Madura, jalur perjalanan darat Sampang, Pamekasan, Sumenep terputus. Sementara, karena rel kereta yang menghubungkan ketiga wilayah itu, moda kereta api pun berhenti beroperasi selama tiga hari.
Savage. Ya, pandemi, ya bencana alam.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Di sini kongres di sana kongres
Di tengah pandemi yang makin akrab itu, di tengah bencana alam yang menghantam kiri kanan, aktivitas kembali menjadi sangat “normal”. Pejabat bekerja seperti biasanya di kantor-kantor pemerintahan. Sementara, para penggerak organisasi masyarakat menyelenggarakan kongres.
Di Kota Yogya, ada tiga organisasi yang berkongres. Yakni Personeel Fabriek Bond atau PFB (Januari), Java Instituut (Juni), dan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera atau PPPB (2 Juli 1921).
Bandung lebih banyak lagi. Selain kelompok Theosofi yang menyelenggarakan kongres ke-XIV, ada pula kongres Perserikatan Guru-guru Hindia Belanda (PGHB) dan Jong Java pada Juni maupun Bond van Politie Opzieners sebulan setelahnya.
Revolutionare Vakcentrale berkongres di Surabaya pada Oktober yang dihadiri utusan-utusan SI (Sarekat Islam), PGHB (Perserikatan Goeroe Hindia Belanda), PGB (Perserikatan Goeroe Bantoe), PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera), VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel), Typogravenbond (Perhimpunan Pegawai Percetakan), VIPBOW (Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijke Openbare Werken), Kaum Tani, Vakgroep SI, BO (Boedi Oetomo), NIP (National Indische Partij), PKI (Partai Komunist Indie), anggota Volksraad (Dewan Rakyat), juga dari pihak kepolisian.
Bendera yang dipasang di muka pertemuan ialah bendera lorek merah dan hitam, dan di atas bendera ada tergambar senjata Saroetomo, Poelanggeni, dan Pasopati.
Kongres terbesar di Batavia adalah kongres internasional lebih kurang 70 dokter yang bertempat di STOVIA. Kongres yang diselenggarakan selama tiga hari pada Agustus ini dihadiri para pembesar seperti Gubernur Jenderal, anggota Raad van Indie, algemeene secretaris, para direktur departemen, admiraal, residen, anggota Volksraad, maupun Gemeente Raad.
Yang dibahas para pembicara di mimbar seminar, antara lain “Pest hewan di Indo China dan cara bagaimana mengatasinya (M.H. Schein), “Kelemasan urat-urat pada kuda” (Dr. I. De Moulin), “Budi pekerti pada anak-anak negeri Hindia sejati” (Dr. Kits van Heyningen), “Tambahan untuk ilmu budi pekerti anak Hindia” (W.F. Theunissen), “Vitaminen” (B.C.P. Jansen), dan “Bengkak-bengkak karena sakit pada perempuan” (A.C. Cnopuis).
Tentu saja, kongres terbesar diselenggarakan Central Sarekat Islam (CSI). Tidak tanggung-tanggung, dua kali dalam setahun: Yogya (Maret) Surabaya (Oktober). Artinya, ada yang darurat. Apalagi kalau bukan disiplin partai.
Sarekat Islam (SI) lewat Agoes Salim berkali-kali mengungkapkan, jika tidak didisiplinkan, bisa dikunyah-kunyah Boedi Oetomo atau bahkan PKI yang terbentuk setahun sebelumnya dari pentolan Sarekat Islam cabang Semarang.
PKI yang tidak pernah akur dengan Oemar Said Tjokroaminoto itu setuju jika disiplin partai ditegakkan. PKI dikecualikan. SI Semarang yang notabene PKI mengirimkan perwakilan, antara lain Semaoen, Darsono, Boedi, Soeradi, Boesro, Karto, dan Tasimin.
Misi para propagandis itu adalah selain kapal pengangkut haji jangan terlalu penuh, juga supaya Sarekat Islam ditanami ilmu komunisme dengan memakai batin kebangsaan dan keagamaan. SI tanpa komunis, kata Darsono menggenapi Semaoen, terlalu lembek dan tidak progresif.
Kubu Tjokroaminoto, Agoes Salim, dan Abdul Moeis menolak mentah-mentah masuknya komunis. Setelah rapat umum dibuka dengan terlebih dahulu mendengarkan doa yang dibacakan Kiai Achmad Dahlan dari Moehammadijah, diputuskan asas untuk kaum SI adalah keislaman dan menolak semua haluan yang tidak mendasarkan diri pada Alquran.
Kongres SI di Surabaya pada Oktober menjadi penentuan. Ada 36 utusan lokal SI (Sarekat Islam) yang. Juga, utusan perhimpunan lain, antara lain BO (Boedi Oetomo), Kaoem Tani, SPBO, PKI, RV atau Revolutionare Vakcentrale, VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel), maupun Moehammadijah.
Lagi-lagi, Agoes Salim menegaskan bahwa begitu masuk SI, orang mestilah membaca syahadat. Tidak boleh tidak. Silakan memilih: SI atau tidak. SI Yogyakarta, SI Kebumen, SI Kediri, antara lain, menyepakati disiplin partai, sementara SI Salatiga dan Selo berkiblat ke SI Semarang yang tetap mempertahankan PKI satu saf dengan CSI.
Keputusan: PKI tidak diperbolehkan masuk SI. Sementara, SI lokal lain-lain yang masih ragu yang selama ini di bawah pengaruh PKI seperti SI Kaliwungu, SI Kendal, SI Ambarawa, maupun SI Purwodadi dipersilahkan oleh kongres bermusyawarah terlebih dahulu dengan anggotanya.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Mogok di mana-mana
Kongres di mana-mana itu punya konsekuensi lanjutan sosial di lapangan pergerakan. Kongres adalah cara merapikan barisan, sementara pemogokan menjadi bahasa saat para anggota berhadapan dengan “orang atas”.
Bagi pada buruh, mogok bagian dari negosiasi perbaikan upah. Bagi murid SD, mogok adalah penyampaian aspirasi. Tidak saja terjadi di kota besar, tetapi juga merembet ke kota-kota kabupaten. Bahkan hingga menjalar ke desa. Tidak saja kuli di pabrik, tukang di bengkel, pegawai di perkantoran, tapi juga merembet hingga ke mahasiswa dan siswa setingkat SD.
Saat mewakili VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel) berbicara di Uitepark, Mr. Cornelis, Batavia, Semaoen berkata lantang, “Kita mesti minta pertolongan pemerintah untuk mendapat penghidupan yang sederhana. Tetapi kalau pemerintah tidak mengabulkan permintaan kita apa yang perlu kita buat?”
Serentak dua ribu orang yang memenuhi aula menjawab, “Mogok!”
Mogok, sekali lagi, menjadi bahasa sehari-hari yang lahir dari kongres ke kongres. Karena itu, dari Januari hingga Desember, berita pemogokan sama rutinnya hadir dengan statistik korban pandemi dan berita kongres. Berdampingan secara harmonis. Dari kota ke kota mengikuti panjang rel kereta api.
Di Jawa, misalnya, pemogokan merentang dari Malang, Surabaya, Bromo (Pasuruan), Pare (Kediri), Pajaran (Madiun), Cepu (Blora), Semarang, Yogyakarta, Sragi (Pekalongan), Juwana dan Lasem (Rembang), Sumpiuh (Banyumas), Purwokerto, Kadipaten (Majalengka), Bandung, hingga Mr. Cornelis (Jatinegara/Jakarta).
Umumnya, otak dari pemogokan ini dikreasi oleh empat kelompok besar yang cabangnya merambah sampai ke tingkat kecamatan: VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel), PFB (Personeel Fabriek Bond), VIPBOW (Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijke Openbare Worken), dan RV (Revolutionnaire Vakcentrale). Siapa saja pegiatnya? Sarekat Islam penyumbang aktivis terbesarnya, disusul “anak bengal”-nya bernama PKI.
Terkadang, isu yang menjadi musabab mogok itu tidak terlalu besar dan wah. Pemogokan di bengkel Lindeteves, Kebon Laut, Semarang, pada 7 Desember ini, misalnya. Bermula dari pemecatan Mas Mardjan, tukang besi yang tidak masuk kerja karena sakit selama 2 hari tapi lupa mengabarkan kepada bosnya.
Akibat pemecatan ini, 30 tukang besi dan 50 kuli bersolider memutuskan mogok kerja menuntut kembalinya Mardjan yang tidak bersalah.
Atau, mogok tidak melulu domain para buruh dan pekerja di mana ekonomi menjadi faktor pemicunya. Saking merakyatnya wacana mogok, siapa pun bisa mempraktikannya. Termasuk, astaga, murid SD. Saya ambilkan dua peristiwa mogok yang diinisiasi siswa-siswa ini. Satunya terjadi di Sukabumi, satunya lagi di Bukittinggi.
Alkisah, berkunjunglah pada 3 Agustus bupati baru Sukabumi di sekolah Kaoetamaan Isteri. Lalu, ia masuk ke ruangan murid kelas 4 yang tengah giat belajar. Di kelas ini si Regent lantas membagi uang kepada masing-masing anak. Murid-murid kelas 5 yang merasa dianaktirikan (tidak dapat sangu) memutuskan mogok sekolah.
Dari semua siswa, tersisa 1 murid yang berangkat sekolah. Polisi atau opas turun tangan menjemput satu-satu ke-17 siswa yang mogok dan menyuruh mereka menghadap kawedanan.
Di Bukittinggi kejadian pemogokan berlangsung di kelas II Kweekschool. Perkaranya karena salah satu murid naik kelas lebih belum pada waktunya alias sebelum habis tahun. Komisi sekolah mengultimatum dengan keras dan memberi batas waktu 2 hari bagi siswa yang mogok untuk menyelesaikan perkara. Empat siswa yang dituding sebagai otak penganjur aksi mogok dikeluarkan dan beberapa yang lain dipaksa meminta ampun.
Lantaran ditengarai mogok ini sudah menjadi wabah baru dalam kebangkitan perlawanan bumiputera, direktur (baca: rektor) sekolah kedokteran yang berkedudukan di Batavia, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), mengeluarkan edaran kepada instansi-instansi pemerintah agar menolak lulusan sekolah kedokteran itu jika tidak bisa surat keterangan berkelakuan baik yang ditandatangani rektor.
Atas keputusan itu, Jong Java yang berkedudukan di Surabaya membikin rapat umum guna memprotes keputusan gila direktur Stovia itu.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Dari penjara ke penjara
Konsekuensi dari mogok adalah penjara. Terkadang, pemerintah tidak menciduk pimpinan pergerakan dengan tuduhan otak pemogokan lantaran hanya menyiram bensin. Kesalahan mereka dicari sedemikian rupa. Dengan kata lain, kriminalisasi.
Di permulaan bulan, misalnya, pemerintah meminjam tangan Residen Surakarta, Harloff, untuk mengusir Tjipto Mangoenkoesoemo dari kota itu karena kritiknya yang keras atas feodalisme kasunanan dan pejabat pemerintah.
Bayangkan, dokter pes itu keluar dari Surakarta atas tuduhan menghina pejabat setempat. Pengurus besar National Indische Partij (NIP) tidak terima. Mereka mengadu pokrol generaal (pengacara umum) dan officier van justitie (jaksa) di Semarang. Aduannya ditolak.
Soewardi Soerjaningrat atau kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara belum lama pulang dari pembuangan di Belanda. Tak butuh lama, ia langsung ngegas dan menjadi propagandis aktif penyeru pemogokan buruh.
Di rapat umum Vereeniging Inlandsch Personeel Burgerlijke Openbare Werken (VIPBOW) cabang Banyuwangi, misalnya, Soewardi berpidato agar jangan keluar barisan organisasi karena senjata penghabisan kaum buruh untuk melawan kapitalis tak lain adalah RV (Revolutionnaire Vakcentrale) melalui pemogokan. Apabila semua meninggalkan RV, yang senang adalah para kapitalis.
Karena dianggap subversif, hakim Eropa memutuskan Soewardi Soeryaningrat dipenjara 3 bulan karena melanggar aturan “tetap berbuat baik selepas dari pembuangan”. Ia dipenjara di Mlaten, Semarang, dalam kondisi didera influenza.
Lebih sial lagi adalah kakak Soewardi, yakni Soerjopranoto. Mula-mula ia dikriminalisasi dengan dituduh sebagai otak dalam penganiayaan seorang pengawas pabrik Ardjawinangoen bernama
Davidson. Pengawas ini terluka parah diserang 20 kuli. Batu besar melukai bagian belakang telinga sebelah kanan plus ia mendapat luka 5 lubang pada punggung dan kaki.
Itu terjadi ketika Pak Davidson ini sedang berdiri di stasiun dan tiba-tiba kuli-kuli itu menyerang, melempari batu, bahkan di antara mereka ada yang membawa arit. Soerjopranoto dituduh berada tak jauh dari TKP. Sarekat Islam berusaha mencari fakta-fakta baru yang ternyata adalah fitnah belaka.
Lolos dari kejadian itu, Soerjopranoto akhirnya tidak berkutik. Lagi-lagi ia terkubur di Surakarta. Pada akhir Desember, Landraad menjatuhkan hukuman setahun penjara kepadanya dengan dakwaan, sama seperti Tjipto, menghina asisten residen Surakarta.
Terakhir, H.O.S. Tjokroaminoto pada Agustus atau dua bulan sebelum kongres lanjutan CSI di Surabaya ditangkap karena dituduh terlibat dalam peristiwa “Afdeeling B”. Banyak organisasi melakukan solidaritas mendukung protes kepada pemerintah dengan melakukan rapat-rapat terbuka. Rapat terbuka itu berlangsung dari Madura, Cirebon, hingga Bandung.
Selain itu, pemimpin-pemimpin redaksi yang dinilai anti terhadap pemerintah digiring satu-satu ke penjara. Pemimpin redaksi koran Teradju, Oetoesan Hindia, Djowo Dipo, maupun Makassar Courant harus mendekam dalam penjara karena artikel-artikel yang mereka muat.
Kaleidoskop Satu Abad “Indonesia”: Sukarno, Hatta, Soeharto
Di tengah babak akhir pandemi, bencana di mana-mana, pemogokan, Sukarno menerima rapor dan ijazah kelulusan dari Hogere Burger School (HBS) di Surabaya pada 10 Juni 1921.
Saat Sukarno bersiap-siap mengurus pendaftaran masuk ke Technische Hoge School di Bandung untuk meraih gelar insinyur di Jurusan teknik Sipil, di Dusun Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta, lahir seorang anak yang kemudian kedua orang tuanya memberi nama SOEHARTO.
Sementara itu, di Batavia, seorang remaja cerdas bernama Mohammad Hatta baru saja menamatkan pelajarannya di HIS (Hollandsche Inlandsche Scholen) di Batavia pada Juli. Kali ini, ia tidak sedang sibuk ikut tes masuk UI, melainkan memilih ke bersekolah perniagaan di Rotterdam, Belanda.
Tepat 3 Agustus, ia bye bye kepada semua keluarganya di Teluk Bayur, Padang, menuju Rotterdam dengan menumpang Kapal Tambora milik Rotterdamsche Lloyd.
Kelak, dua remaja dan satu bayi merah itu memberi warna bagi Indonesia di babak kedua dan ketiga sejarah Indonesia.
BACA JUGA Politik Kliping Tidak Bisa Menyelamatkan Sukarno dari Kejatuhan dan tulisan Muhidin M. Dahlan lainnya.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Ahmad Khadafi