Kalau Anak SD Tanya Soal Pilpres, Kamu Jawab Apa?

pilihan capres ibu anak

MOJOK.CO – Bagaimana menghadapi anak sendiri yang suka nanya-nanya soal pilpres sampai pilihan capres emaknya? Perlu hati-hati cara menjawabnya.

“Bunda milih siapa, Jokowi atau Prabowo?”

Saya membuka mulut, sudah akan menyebut nama salah satu, lalu urung. Maunya sih bilang golput aja, tapi kok kayak mendidik sikap skeptis pada negara, ya udah jawab yang aman aja.

“Rahasia, rahasia.”

“Lhooo, aku kan pengen tahu,” katanya polos. Dia baru kelas 2 SD.

Gara-gara keseringan ikut bapaknya lihat berita di televisi, saya jadi ketiban sampur mesti menjelaskan perkara Pilpres yang menguras jiwa raga, menghabiskan materi, dan mengancam kelanggengan silaturahmi ini.

“Pemilu jaman dulu itu LUBER. Langsung, umum, bebas, dan rahasia,” jelas saya sok netral.

Meski pada praktiknya pada jaman itu ya langsung memilih partai berwarna kuning supaya aman. Bebas memilih dengan gaya apa saja, asalkan yang dicoblos tetap partai berwarna kuning. Rahasia semua pencoblos itu sama, mereka memilih partai berwarna kuning.

“Sekarang aku mau milih Prabowo aja,” katanya lagi.

“Udah ganti lagi? Katanya kemarin milih Jokowi?”

“Eh, nggak jadi ding, aku pilih Abdillah Nasih aja,” katanya mantap.

“Siapa itu?” tanya saya sambil garuk-garuk kepala.

Sungguh saya tidak suka kalau urusan pilpres, pileg, capres, caleg, ikut menodai perjalanan anak-anak saya menjadi manusia Indonesia yang berjiwa polos namun berasaskan Pancasila dan UUD 1945.

Yah, meski emaknya ini juga tak terlalu paham apa gunanya Penataran P4 sih, tapi paling tidak, ada waktunya dia paham urusan politik dan kapan harus ribut memilih. Pastinya saya ingin dia berpikiran jernih sebelum memutuskan sesuatu atau menunjukkan keberpihakan dengan bertanggung jawab.

“Pokoknya Abdillah Nasih, yang gambarnya ada dekat sekolah itu lho.”

Saya jadi ingat betapa banyaknya baliho caleg yang mengotori pemandangan daerah tempat tinggal saya. Coblos nomor ini itu, program begini begitu. Dipajang dengan foto diri super besar.

Banyak yang dekat lokasi sekolah. Sudah pasti dilewati orang tua yang antar jemput anaknya. Doktrinasi perlahan, meski buat saya nggak ngefek. Kebanyakan caleg, bingung. Apa milih sambil merem aja ya?

“Dia dari partai mana?” saya tes.

“Apa itu partai?”

Duh, saya kelewatan. Bocah baru aja hafal pertambahan dan pengurangan tanpa pakai jari tangan, sudah ditanya urusan beginian.

Eh, tapi harus ya? Jangan asal ngomong apa-apa di depan anak, apalagi yang belum sampai pemahamannya. Menanyai anak merupakan salah satu cara mengetahuinya.

Jangan sampai emaknya mencak-mencak gara-gara harga jasa ekspedisi naik, lalu menyalahkan presiden, lalu meracuni pikiran polos anaknya supaya benci presiden lalu mendoakan yang jelek-jelek.

Inget lho ya, doa buruk bisa kembali pada diri sendiri. Mendidik anak untuk membenci seseorang tanpa bukti yang akurat sudah masuk fitnah lho ya.

Sebenarnya sih saya juga sedang galau, mau melepas karier sebagai golput atau mulai antusias sebagai warga negara untuk ikut memilih dalam Pemilu. Tapi ya, saya tahu diri lah, demi pilihan apapun, saya emoh mengorbankan keindahan masa kecil anak saya. Apalagi kepikiran mengajak anak saya ikut deklarasi dukungan ke salah satu capres.

Tiba-tiba saya jadi ingat ketika masih mahasiswa dulu, nyari buku Memahami Ilmu Politik karya Ramlan Surbakti susahnya minta ampun. Nyari ke Pasar Blauran, nggak jadi beli karena bukunya jelek dan mahal. Tapi bukan karena itu juga sih sebabnya, penjualnya aja yang galak.

“Nggak usah muter nyari bandingan sama kios lain, Mbak. Nanti kalau Mbak ke sini lagi bukunya udah laku. Buku ini langka lho. Nggak bakal ketemu di tempat lain,” kata si penjual meyakinkan soal langkanya barang dagangannya. Mana sambil lirikan galak mengancam lagi.

Oke, memang bener sih, sebagai anak kos dengan duit yang mesti diirit, wajar dong kalau saya cari perbandingan harga. Bukunya juga udah jelek, nggak bisa ditawar pula.

Akhirnya saya bodo amat nggak dapat buku. Jualan itu mbok ya yang manis, sama mahasiswa yang sedang berjuang pula. Jangan ngasih ancaman yang belum tentu benar gitu lah. Atas nama idealisme bernama dongkol yang membara, saya nggak jadi beli.

Iseng mampir ke Uranus, ealah dapat buku yang sama. Masih segelan, banyak jumlahnya, dengan harga sama. Nggak ditawar nggak apa-apa deh. Langkah tepat karena tak memilih yang suka ancam-mengancam dan akhirnya terbukti bohong akhirnya.

Kembali ke urusan anak saya yang lagi kepo dengan berita politik berseliweran.

Sebagai warganet kontemporer, saya akan selalu berusaha memperbaiki dan menambah pengetahuan dengan membaca banyak berita dan—kadang—baca banyak hoax.

Yah, hoax itu kalau dipikir-pikir perlu kamu baca juga lho. Paling tidak supaya kamu punya bahan tertawa yang agak berkualitas. Hoax perlu kamu baca juga supaya kamu tahu aja. Agar bisa dicari bener atau nggaknya. Bukan malah disebarin.

Tapi itu kalau kamu nggak terlalu fanatik pada salah satu paslon lho ya. Kalau kamu fanatik, ya susah. Semua hoax soal capres yang tidak kamu sukai, bisa aja kamu telan mentah-mentah. Karena dianggap mendukung pendapatmu.

“Tadi temanku di kelas mainan kata-kata, katanya akan ada debat antara Jokowi Ma’ruf dengaaan….”

“Jadi teman-temanmu udah nonton debat capres? Emang mereka tahu urusan gontok-gontokan politik kayak gitu?” tanya saya.

“Nggak sih,” jawab anak saya.

“Lalu?”

“Karena semua diam nggak tahu, akhirnya aku jawab, dengaaaan Prabowo Subianto. Cuma aku, Bun, yang tahu, teman-temanku nggak tau,” katanya semangat.

Dari dulu, anak saya satu ini udah hafal sama Prabowo. Mungkin karena nama Prabowo jauh lebih terkenal di kalangan guru-gurunya karena dua periode pilpres ke belakang kan selalu ada namanya. Meski demikian, anak saya cuma tahu namanya aja, tak lebih.

“Emang kalau kamu bisa milih, menurut kamu, siapa yang lebih baik?” tanya saya merespons semangatnya yang selalu tanya-tanya ke emaknya soal Pilpres.

“Jokowi itu baik.”

“Oh ya?”

“Prabowo juga baik.”

“Oh ya?”

“Eh, aku nggak tahu ding.”

Berhenti di sana, segera saya ajak membahas yang lain.

Saya bahagia, dia melihat dari kacamatanya sendiri sebagai anak-anak. Saya dan suami tentu sudah menentukan pilihan diam-diam, tapi kami tak pernah membahasnya secara serius di depan atau dengan anak-anak.

Biar aja anak saya menangis untuk urusan kapan dia punya banyak squishy seperti Ria Ricis. Yang penting jangan sampai dia menangis untuk urusan beda pandangan politik atau untuk urusan silaturahmi yang terancam punah karena semua terlalu fanatik dengan jagoannya masing-masing.

Kalau pun dia kukuh mengidolakan Abdillah Nasih ya nggak apa-apa, toh dia belum punya hak pilih ya kan?

Exit mobile version