Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

MOJOK.COKalau ada pertanyaan, mengapa kita punya banyak orang saleh tapi payah soal olahraga? Apa kita butuh Olimpiade Agama?

Sebelum Greysia Polii/Apriyani Rahayu mempersembahkan medali emas dari sektor ganda putri usai mengalahkan wakil Cina dan fotonya menjadi bahan kampanye para politisi, seorang teman di Facebook memosting sebuah kutipan twit yang lucu.

Sebuah “analisis” yang menggelitik. Penulis twit itu adalah seseorang yang bernama Imtiaz Mahmood. Namanya disebut dalam Wikipedia dan dijelaskan sebagai seorang petinju dari Pakistan pemenang medali emas Asian Games di Bangkok tahun 1978.

Logika Pak Imtiaz ini mungkin mirip guyonan lama tentang sepak bola di Indonesia. Meski negeri ini memiliki 200 juta lebih penduduk tapi kita kesulitan mencari 11 orang saja untuk mengisi sebuah tim yang hebat. Padahal Uruguay yang penduduknya 3,5 juta saja atau Kroasia yang hanya 4 juta menjadi langganan masuk ke Piala Dunia.

Korelasi antara populasi penduduk dengan prestasi di lapangan bola ini sudah lama disanggah oleh para pengamat. Persoalannya tidak sesederhana itu. Ada banyak faktor yang saling membelit di dalamnya; manajemen, integritas, politik, anggaran, infrastruktur, kedisiplinan, dan lainnya.

Persoalan dalam Olimpiade rasanya juga tidak jauh berbeda. Jadi, kalau ada pertanyaan mengapa kita punya banyak orang saleh tapi payah dalam bidang olahraga? Saya kira jawabannya juga sama, tidak ada korelasi.

Namun menghubungkan kesalehan dalam beragama dengan rendahnya prestasi di Olimpiade mungkin tidak terlalu berlebihan, mengingat asal-usul Olimpiade yang konon merupakan perlombaan yang bersifat keagamaan. Tapi Pak Imtiaz tampaknya tidak bermaksud ke arah situ.

Diraihnya medali emas dari cabang bulu tangkis dari atlet Indonesia, salah satu negeri yang disebutnya dalam twitnya, barangkali membengkokkan sebagian sinisme Pak Imtiaz. Setidaknya, ia harus pikir-pikir lagi karena telah membawa-bawa nama Indonesia, meski untuk “analisis” lainnya bisalah dibenarkan, yaitu tentang agama sebagai olahraga kita.

Tingginya gairah beragama kita tak perlu lagi diragukan lagi. Semua orang sudah mafhum, sebagaimana gairah kita menonton sepak bola. Kulkas kita saja (((bersertikat halal))).

Kita juga punya tingkat kecemasan yang hebat terhadap kerusakan agama dan akidah umat. Sehingga segala yang dianggap bakal menodai kemurniannya dengan segera ditindak. Pihak-pihak yang dicurigai melecehkan agama akan dicoret dari daftar penghuni sorga.

Maka, jangan sekali-kali melakukan aktivitas yang menyimpang dari ajaran agama di Indonesia. Bahkan sekadar tindakan yang tampak sepele seperti ucapan selamat hari raya kepada pemeluk iman yang berbeda akan jadi masalah.

Namun demikian, saya punya keraguan tentang saran Pak Imtiaz mengenai Olimpiade Agama. Kalapun ada, entah bagaimana bentuknya, tidak ada jaminan Indonesia bisa mengumpulkan banyak medali.

Pertama, karena kita masih punya pekerjaan rumah yang banyak mengenai faktor-faktor di atas. Kedua, kita juga punya masalah yang tidak kecil dalam hubungan keberagamaan kita, yakni dalam hal kekompakan dan kerja sama.

Aliran-aliran agama di Indonesia sangat banyak. Masing-masing aliran sering kali tidak akur. Tak jarang di antara mereka saling sindir, saling hujat, saling menyesatkan, dan bahkan saling menjatuhkan.

Apa yang oleh satu kelompok dianggap sebagai kebaikan bagi kelompok lain dipandang sebagai bidah atau penyimpangan yang tidak dapat diterima.

Iklim semacam itu tentu tidak sehat untuk membentuk sebuah tim yang dapat diandalkan. Bisa-bisa sejak awal kita akan lebih disibukkan dengan perdebatan bertubi-tubi tentang siapa atau afiliasi keagamaan mana yang berhak mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Agama.

Waktu dan energi kita akan banyak tersita untuk perdebatan sengit tentang status Syiah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte lain yang dianggap telah menyempal dari jalan yang lurus. Kita lalu kelelahan sebelum bertanding.

Atau bisa juga tim kita akan mengalami kejadian seperti tim sepak bola Irak di tahun 2007 dalam sebuah kejuaraan di Asia. Katanya, karena berselisih sekte agama, antarpemain sempat saling tidak berbicara.

Entah bagaimana jadinya kalau aksi itu terus berkelanjutan. Bisa-bisa mereka juga tidak mau saling mengoper bola kepada teman satu tim yang tidak satu aliran agama. Egoisme itu untungnya kemudian berakhir. Mereka kemudian tampil sebagai juara.

Ide Pak Imtiaz tentang Olimpiade Agama kalau dipikir-pikir penting juga dipertimbangkan. Dari Olimpiade itu setidaknya kita belajar untuk tidak mengunggulkan ego pribadi atau golongan.

Kita juga bisa mungkin bisa belajar lebih bijak dari kredo Olimpiade, yang berbunyi:

“Hal terpenting dalam Olimpiade bukanlah untuk menang, tetapi untuk berpartisipasi. Seperti juga hal yang paling penting dalam hidup bukanlah kemenangan, tetapi perjuangan. Hal terpenting bukannya karena telah berhasil mengalahkan, namun karena telah berjuang dengan baik.”

BACA JUGA Agama Saya Agama Warisan dan tulisan Muhammad Zaid Sudi lainnya.

Exit mobile version