Indonesia Bahagia bersama Dangdut Academy

dangdut academy

Jika Badan Pusat Statistik (BPS) atau barangkali ada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengadakan survei kebahagiaan, saya yakin, pada poin kuesioner tentang alasan mengapa masyarakat Indonesia dapat bertahan hidup, jawabannya sama sekali bukan Mars Perindo ciptaan Ibu Lilyana Tanoesoedibjo, melainkan Dangdut Academy Indosiar.

Ya, Dangdut Academy memang datang pada saat yang tepat. Ketika masyarakat menengah ke bawah sudah jenuh dengan jalinan skenario kehidupan Tukang Bubur Naik Haji (Kemudian Mati dan Nggak Balik-Balik Lagi), Indosiar datang menawarkan konsep acara musik yang menarik. Takdir rating tayangan pun berubah. Berdasarkan data ALL, sinetron “Anak Jalanan” yang selama dua bulan terakhir menempati posisi puncak harus rela bergeser ke posisi dua dengan TVR 7,9 poin dan Share 29,8% ketika Grand Final DA 2 ditayangkan. Sedangkan result show grand final “D’Academy Asia” berhasil menduduki posisi pertama dengan TVR 8,1 poin dan Share 40,3%.

Entah sihir apa yang menyebabkan kaum mbokdhe-mbokdhe ini akhirnya ikhlas mengalihkan pilihan dari kisah cinta sarat hikmah antara Bang Robi dan Dek Rumana ke tayangan dangdut campur reality show antara host dan juri-jurinya itu.

Beberapa malam lalu, tayangan Dangdut Academy dibuka dengan Trio Macan yang menyanyikan lagu andalan, “Iwak Peyek”. Dengan hentakan ketipung dan gendang yang melodius, penampilan mereka dapat membuat Anda berjingkrak ditingkahi lirik lagu “Pokoke Njoged”. Tiga perempuan itu tampil cemlorot dengan terusan model palazzo berwarna merah menyala dan variasi kain berjuntai yang berfungsi sebagai ilusi rok ketat untuk menutupi bagian pangkal paha. Bagian dada, Alhamdulillah, aman di dalam sangkar, walaupun masih sedikit menyembul.

Sepertinya, penampilan mereka belum sempat disensor karena tayangan live. Syukurlah, nasib mereka lebih baik daripada Sandy, tupai berbikini pada kartun Spongebob. Satu-satunya kartun tupai yang dalam sejarah dicurigai bisa bikin ngaceng hingga kena blur. Dara, Lia, dan Chacha, dengan pekik “Asolole Joss” itu membuka malam dengan semarak. Melihat atraksi mereka, saya tanpa sadar sudah menaikkan kaki ke atas kursi, sambil ikut mengobarkan lirik yang mengandung candu ngibing dari para biduan kontroversial itu:

“Iwak peyek, Iwak peyek, Iwak Peyek Sego Jagung. Sampek tuwek, Sampek tuwek, Trio Macan tetap disanjung…”

Sudah tiga tahun ini Dangdut Academy tayang di Indosiar. Ia hadir tepat pada jam prime time, pukul 7 malam, dengan durasi rata-rata sepanjang lima jam hingga tengah malam. Bayangkan, lima jam, sodara-sodara! Jelas, hanya kaum-kaum pengangguran selo dan bahagia saja yang dapat meluangkan waktu selama itu hanya untuk berbahagia di depan kotak televisi. Anda-anda yang jam segitu masih terjebak macet di lingkar Sudirman-Thamrin-Rasuna Said-Tendean, ya tetaplah sabar dan berdoa agar mendapat pemimpin yang budiman.

Awalnya, saya mengira tayangan ini hanyalah teman setia untuk budhe-bulik-pakdhe-paklik di kampung saya saja. Tapi, ternyata bukan. Keluarga bahagia di sekitar kos-kosan saya di Solo, sebagaimana yang saya amati, juga pemirsa setia Dangdut Academy. Bahkan suara trio MC Ramzi, Irfan Hakim, dan Rina Nose itu tak hanya bergema di rumah para tetangga kosan, tapi juga di Rumah Makan Padang Murah, di persekutuan warung penyetan, di angkringan tempat kaum-kaum proletar bersemayam, juga tak ketinggalan kerajaan bisnis aa’-aa’ burjo.

Bahkan, menurut telik sandi di Kota Depok–ya, Depok, kota pinggiran Jakarta yang terkenal dengan kemunculan perumahan syariah itu–ibu-ibu di sana pun menonton Dangdut Academy dengan gembira dan kerap ajojing bersama.

Kaum (yang merasa lebih) terpelajar cum menengah ngehek barangkali gatal ingin mengajukan kritik habis-habisan untuk acara semacam ini. Tapi, boleh lho sekali-kali mikir, jangan-jangan, mereka para penikmati acara ini adalah mereka yang jenuh dengan berita dan janji para politisi yang kerapkali tampil mengobral harapan kosong atas kemakmuran. Ketika realita yang mereka hadapi sehari-hari adalah harga kebutuhan beras yang mahal, harga tabung gas 3kilogram yang tidak stabil, plus harga daging yang tidak pernah turun, maka “balas dendam” pun dilakukan selepas maghrib hingga tengah malam dengan menyetel acara “kampungan” tersebut.

Murah dan menyenangkan. Barangkali itulah alternatif dari sebentuk rekreasi mahal yang selama ini tak pernah mampu mereka jangkau. Toh, media televisi bekerja atas prinsip supply driven. Industri pertelevisian berwenang untuk memasok acara apapun, tanpa masyarakat bisa mengadakan demand sebelumnya. Lha wong adanya itu, ya disyukuri, dinikmati. Beras sekilo aja mahal, mosok kalian suruh langganan tivi kabel apalagi ikut ribut-ribut langganan Netflix demi menambah kualitas hidup.

Ndhasmu berkualitas!

Di kampung saya, Dangdut Academy adalah spektrum penghilang penat, tumpuan tawa canda, pengendur saraf tegang masyarakat kelas bawah yang seluruh elemen hidupnya habis untuk bekerja tiap hari demi menyumpal perut keluarga yang lapar.

Lek Surti, yang pada siang hari memarahi anaknya yang pengangguran dan misuh-misuhi suaminya karena enggak sanggup bayar tagihan listrik, pada malam hari akan tertawa-tawa bersama menyaksikan sahut-sahutan tanpa alur antara Nassar, Ivan Gunawan dan Soimah. Kantor Urusan Agama (KUA) harusnya berterima kasih kepada Indosiar karena turut berperan aktif dalam menciptakan kerukunan rumah tangga dan menunda angka perceraian.

Apakah jika acara keagamaan–yang dikonversi menjadi tayangan ceramah dan pengajian itu–menggantikan acara hiburan renyah televisi akan memiliki efek yang sama dalam mempengaruhi tingkat ketentraman masyarakat?

Selama tiga tahun ini, masyarakat semacam Bulik Surti lebih membutuhkan Lesti Cianjur, Aty Slayar, Danang Banyuwangi, dan Evi Masamba dibanding para pengumpul KTP Teman Ahok yang katanya ingin memperjuangkan demokrasi. Ia bahkan betul-betul menangis ketika Evi, juara Dangdut Academy Season 2 itu mengungkapkan alasan berkompetisi karena ingin mencari ibunya. Barangkali itulah sebentuk hiperrealitas solidaritas bawah sadar sesama kaum marjinal.

Bahkan, ketika Februari lalu Indosiar resmi memecat Saipul Jamil dari program D’ Academy 3, tetap tidak berdampak sama sekali pada rating tayangan. Bulik Surti justru dengan entengnya merespon momen tersebut dengan bilang: “Wah, Saipul ditangkap polisi, nanti siapa yang dijodoh-jodohkan sama Rina…”

Sesederhana itu, tanpa ia bermaksud untuk tidak peduli kasus yang menimpa Saipul berkaitan dengan isu kekerasan seksual, pedofilia, atau LGBT.

Mari kita terima dengan legowo bahwa dangdut memang merupakan skena musik pop paling mutakhir di negeri ini. Band-band besar seperti Dewa 19, Gigi, Slank, Ungu dan Peterpan pun telah sengaja mengaransemen beberapa single dengan campuran irama Melayu. Panggung-panggung kampanye politik bukanlah barisan massa militan yang menyimak orasi Soekarno di Lapangan Banteng pada tahun 30-an, melainkan rakyat dangdut yang datang untuk bergoyang.

Adalah salah kaprah jika Ryamizard Ryacudu menyeru Bela Negara untuk meningkatkan rasa cinta tanah air. Adalah kesia-siaan jika Dede Mulyadi menyeru pembakaran buku-buku kiri. Cukuplah Lagu Indonesia Raya dinyanyikan oleh Ayu Ting-Ting atau Garuda Pancasila dibawakan oleh Zaskia Gotik sambil bergoyang itik, lalu dibikinkan album kompilasi. Saya haqqul yaqin, dosis Nasionalis dan Pancasilais serta Anti-Komunis masyarakat negeri ini akan terus bertambah.

Barangkali para Jenderal yang belum juga sadar umur itu perlu mencoba ide saya tersebut.

Exit mobile version