Icip-Icip Masalah Dunia Pertama melalui Tragedi Paris

Icip-Icip Masalah Dunia Pertama melalui Tragedi Paris

Icip-Icip Masalah Dunia Pertama melalui Tragedi Paris

Jadi, ceritanya, Facebook lagi coba-coba fitur baru: Safety Check. Setelah beberapa kali percobaan, Safety Check diaktivasi lagi Jumat lalu ketika Paris, kota yang well-connected, kebetulan diserang ISIS. Facebook belum mencoba di tempat-tempat lain yang sinyal internet saja masih susah. Lalu seperti wacana LGBT beberapa bulan kemarin, dibuatlah filter bendera Perancis untuk profile pictureSafety check terbukti efektif—saya bersyukur kawan-kawan saya di Paris mengabarkan mereka aman. Itu fitur bagus dan perlu dilanjutkan. Tapi soal bendera Perancis, nanti dulu.

Bicara filter bendera Perancis dan protes-protes terhadapnya adalah sebuah kemewahan. Itu membuktikan bahwa masyarakat dunia ketiga seperti Indonesia bisa juga berantem dengan persoalan dunia pertama. Apa itu persoalan dunia pertama? Masalah-masalah sepele macam protes karena gelas starbucks edisi natal warnanya merah, atau nangis ketika Coca-cola kita muncrat dan kita kehilangan sebagian Coca-cola, atau meraung ketika jempol kaki tak sengaja menabrak furniture. Atau curhat mau bunuh diri karena nggak paham apa itu Fallout 4. Semua masalah-masalah nggak penting itulah—yang biasanya nggak kita anggap masalah.

Netizen senewen beraksi kembali dan seperti biasanya mulai galau fokus. Peran Safety Check dilupakan, lalu mereka mulai membandingkan masalah Paris dengan Palestina, Suriah, dan Beirut. Sambil banding-bandingin, mereka lupa masalah banjir, perusahaan penyebab asap, Rumah Suku Anak Dalam, Pelanggaran HAM Papua, konvoi petani di Kendeng, dan International People’s Tribunal 1965 yang seharusnya masih hangat. Siapa yang paling pusing? Ya para propagandis dan agitator wacana-wacana itu yang akhirnya harus kalah dengan trending topic.

Sementara netizen senewen, seperti biasa, sangat tegang dan merasa sedikit jadi pahlawan dengan mengumbar simpati. Baik simpati kepada Prancis, Beirut, Palestina, atau yang lain-lain. Mereka bicara soal pelanggaran HAM seperti bicara politik warung kopi, yang ujung-ujungnya menguntungkan Mamang yang jual kopi dan indomie alias yang punya lapak.

Tapi toh tak perlu dianggap terlalu serius semua perdebatan lapak Indomie telor kornet ini. Tak perlu dianggap serius, kecuali kalau ada yang kasih uang dan persenjataan. Karena ISIS pun memulai dakwah dan rekrutmen melalui media sosial, memproduksi banyak bigot, dan semua itu tak masalah selama tidak dikasih senapan dan bom. Simpati netizen kepada siapapun tak ada pengaruhnya terhadap event yang terjadi di dunia nyata, sampai ada orang dengan duit dan sumber daya yang mau gerak atau menggerakan modal.

Semua akan tetap bekerja. ISIS tetap merekrut bule-bule galau untuk bunuh diri. Kritik terhadap negara barat yang menciptakan Israel dan ISIS melalui perang-perangnya tetap akan didengungkan, setidaknya untuk meminimalisir jumlah bigot yang akan datang. Ini serius. Bigotry selalu dimulai dari drama eksploitasi dan permainan informasi.

Dan selama fokus wacana masih ke filter bendera, atau drama-drama sedih orang mati karena perang, orang akan tetap lupa pakai otaknya buat fokus ke sesuatu yang lebih penting: bahwa semua masalah ini ujung-ujungnya duit. Duit minyak atau duit pembiayaan pasukan. Ketiadaan niat politik untuk menyelesaikan masalah Timur Tengah adalah sebuah pola lama seperti pembantaian di Rwanda: siapa yang mau bayarin pasukan untuk turun di sana dan apa untungnya?

Sampai tulisan ini dibuat, Perancis belum menyatakan perang kepada ISIS. Amerika belum mau menurunkan pasukan—hanya serangan Drone saja. Dalam permainan politik, mereka sadar benar bahwa apa yang terjadi di Paris dan Beirut adalah pancingan, agar pasukan koalisi turun kembali ke tanah Timur Tengah dan ISIS jadi martir. Terorisme selamanya adalah sebuah pertunjukkan; yang dibunuh tidak dianggap manusia, tapi hanya simbol-simbol. Paris adalah simbol Barat yang terjangkau, itu saja alasannya. Yang bahaya adalah ketika pertunjukkan ini membawa kita jauh dari masalah sebenarnya.

Di media sosial, saya ikut mengambil jalan Neil de-Grass Tyson sebagai ilmuwan: berusaha memberikan informasi yang akurat dan komprehensif. Dan berdasarkan pengamatan saya, kesalahan utama adalah ketika kita fokus ke masalah dunia pertama, termakan sentimen dan emosi yang keras tapi cepat ejakulasi. Perkara serangan Prancis, simpati adalah kewajiban sebagai manusia. Tapi lebih penting lagi adalah kewajiban menyampaikan rantai informasi yang holistik dan menjadi orang yang terinformasi dengan baik.

Saya merasa miris ketika orang membanding-bandingkan jumlah korban atau bawa-bawa agama. Lebih miris lagi ketika orang-orang pada gagal membuat hubungan antara tragedi-tragedi itu, dan melihatnya jadi sesederhana “kita vs mereka”.

Mengerikan bagaimana orang bisa menafikan akar masalah tradisi okupasi dan pembebasan sejak berdirinya negara Israel. Ini bukan teori konspirasi, ini nyata terjadi dalam setiap intervensi yang dilakukan Barat di Timur Tengah. Edward Said sampai stres koar-koar soal ini sampai akhir hayatnya.

Ini juga bukan clash of civilization, tapi permasalahan politik tanah dan kuasa yang menjelma jadi perang simbolik. Paris adalah bagian dari rantai besar konflik Iraq-Suriah. Konflik Iraq-Suriah adalah sekuel dari krisis despotisme, intervensi Barat, dan eksploitasi berkepanjangan pasca Perang Dunia II.

Ketika kita memasang filter bendera Perancis untuk menunjukkan simpati, ketika itu juga kita merasakan sentimen negara dunia pertama yang banal dan ahistoris. Itu menyedihkan, kawan. Tapi selamat ya, sudah icip-icip, semoga bisa dipakai untuk mencicipi masalah dunia ketiga, misalnya IPT 65, atau eksploitasi di Papua dan Kendeng.

Ah, saya bicara telalu banyak. Untuk menutup tulisan ini, baiknya saya kutip Angelina Jolie saja: “Saya bersyukur atas dana yang disediakan banyak negara, walaupun itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan (para pengungsi). Tapi saya mau bilang begini: tugas Anda bukan memberi uang kepada yang kehilangan tempat tinggal. Tugas Anda adalah mencegah orang kehilangan tempat tinggal. Mengakhiri semua (eksploitasi) ini.”

 

*sumber gambar: Mathilde Adorno

Exit mobile version