Hal-hal Jahat dalam Sastra ‘Queer’ Indonesia

Hal-hal Jahat dalam Sastra ‘Queer’ Indonesia

Hal-hal Jahat dalam Sastra ‘Queer’ Indonesia

MOJOK.CO Penulis sastra beridentitas LGBT atau queer di Indonesia sering ngalamin hal-hal jahat. Termasuk ketika dikomen, “Ah, curcol doang ini mah.”

Penghujung tahun 2020, penulis dan penyair Norman Erikson Pasaribu hijrah kembali pada format antologi cerita pendek Cerita-Cerita Bahagia, Hampir Seutuhnya, setelah kumpulan puisi Sergius Mencari Bacchus sukses pelesir di kancah internasional.

Dalam ucapan terima kasihnya, Norman menyebut buku terbarunya ini sebagai “proyek pulih” setelah terpaksa mengalami “hal-hal jahat” (hal. 201) seusai antologi puisi pertamanya didakwa menjadi juara pertama dalam Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015.

Saya tidak tahu persis, seperti apa bentuk konkret “hal-hal jahat” tersebut, dan apakah “hal-hal” tersebut berkaitan dengan karier kepenulisannya atau tidak. Saya sungguh tidak tahu pasti.

Meski begitu, saya tergelitik dengan kode “hal-hal jahat” itu. Idiom ini sukses membikin saya melihat kembali peta kepenulisan queer di Indonesia, di mana penulis-penulis beridentitas LGBT pun sempat mengalami hal-hal jahat.

Identitas mereka dihujat, dan karyanya dipandang sebelah mata. Tanpa backing-an yang kuat dari geng-geng sastra yang menyumbang blurb berbunyi seperti “daya magnetisnya kuat” atau “integritas penulisnya kokoh”, karya penulis beridentitas LGBT berisiko dihakimi sebagai “tak serius” atau hanya sekedar “curcol coming out” si penulis.

Namun, pada saat bersamaan, saya pun menakar-nakar bahwa sesungguhnya perkara jahat-menjahati dalam dunia perbukuan bukanlah sesuatu yang murni baru. Norman beruntung, karyanya sukses bahkan dilirik penerbit luar negeri—dia kini menjelma Uma Thurman yang siap menggasak Bill dan kroni-kroninya.

Tetapi, berapa banyak penulis lain yang juga mengangkat isu LGBT—sebutan edgy-nya sekarang: queer—berhasil ditahbiskan sebagai pionir—atau minimal, pion-pion—sastra Indonesia?

Apakah sastra queer ini sesuatu yang seratus persen baru? Lantas, bagaimana penulis seperti Andy Lotex dan Antok Serean yang mengangkat tema gay secara terbuka (dan diterbitkan secara independen) akan diposisikan dalam ranah “sastra queer”, kalau memang ranah tersebut sungguhan ada? Apakah karya mereka sastrawi?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini dapat membantu melihat peta dunia perbukuan kita, terutama di tengah mencuatnya isu queer sebagai bagian politik identitas global, yang tentu saja berpengaruh pada bagaimana industri perbukuan dalam menempatkan tema-tema dan penulis queer itu sendiri.

Dengan segala keterbatasan saya, di bawah ini merupakan poin-poin yang bisa dijadikan pertimbangan diskusi. Sebagai catatan penyuntingan, saya menggunakan istilah LGBT dan queer untuk arti yang sama dalam tulisan ini.

Poin pertama berkaitan dengan definisi “queer” tersebut. Apakah suatu karya dianggap sebagai queer karena kontennya yang memuat isu LGBT, atau karena penulisnya beridentitas LGBT, atau karena keduanya?

Banyak penulis yang menulis tentang LGBT, tetapi mereka tidak memeluk identitas tersebut (setidaknya sepanjang pengetahuan saya).

Misalnya, Yonathan Rahardjo dengan novel Taman Api (2011) yang bercerita tentang waria, Okky Madasari dengan novel Pasung Jiwa (2013) yang juga tentang waria, dan novel Tabula Rasa (2004) karya Ratih Kumala tentang relasi romantis antar-dua perempuan.

Pertimbangan berikutnya: bila penulisnya harus beridentitas LGBT, maka bagaimana dengan penulis yang tidak coming out atau tidak menggunakan label LGBT untuk identitas sosialnya?

Apakah penulis yang tak coming out ini tak bisa dibilang queer yang seratus persen orisinil? Apakah seorang queer harus otomatis menulis cerita-cerita yang juga bertema “queer”? Bagaimana bila queerness yang ditampilkan jauh lebih kompleks dan tidak selalu bisa diperangkap dalam label LGBT?

Pertimbangan ini menjadi semakin rumit ketika karya menjadi tak bisa dipisahkan dari identitas dan keberadaan penulis, apalagi ketika penulis pun harus piawai promosi di media sosial untuk menjaring followers-nya (baca: calon pembeli).

Media sosial merupakan domain bagaimana individu menampilkan dirinya dalam beragam representasi—mulai dari foto, status, dan posting—yang selaras dengan citra diri dan karya yang sedang dibentuk.

Dengan kata lain, suatu karya dan identitas penulisnya bisa jadi sulit dipisahkan antar-satu sama lain. Bisa jadi, penulis queer yang berani coming out adalah pihak yang diuntungkan dalam lanskap marketing semacam ini.

Poin kedua terkait dengan definisi “sastra” itu sendiri—bagaimanakah karya yang dianggap sebagai sastra (baca: serius) dan bukan sastra (baca: curcol)?

Atau pertanyaannya saya revisi sedikit: karya seperti apa yang bisa membuat penerbit dan kritikus sastra bernama besar mau melirik, membaca, dan mengesahkan karya tersebut sebagai sastra (yang serius/eksperimental/posmodern, dll) sehingga representatif untuk kanon sastra queer Indonesia?

Di samping kualitas dan pembacaan kritis terhadap karya, jaringan promosi dan distribusi nan kekar dari penerbit besar berpengaruh terhadap penerimaan suatu karya—bagaimana audiens dibuat “kepingin” membaca dan bisa “dipertemukan” dengan karya tersebut di gerai-gerai toko.

Pada saat bersamaan, harus diakui pula banyak karya-karya bertema LGBT yang diterbitkan secara independen atau oleh penerbit yang relatif kecil pada awal tahun 2000-an. Seperti novel-novel karya Andy Lotex, Andy Stevino, Fradhyt Farenheit, Antok Serean, atau Dinar Rahayu.

Pertimbangan berikutnya: apakah puisi dan cerpen yang ditulis oleh komunitas LGBT yang diterbitkan dalam buletin-buletin LSM LGBT juga bisa diperlakukan sebagai bagian ajeg dari “sastra queer”?

Sejak tahun 1982, organisasi gay pertama, Lambda Indonesia, menerbitkan zine yang memuat puisi dan cerpen bertema gay. Penerbitan zine dan penerbitan karya komunitas ini kemudian turut dilakukan oleh organisasi LGBT lainnya, seperti GAYa Nusantara dan Suara Kita.

Bahkan, sebuah LSM lesbian muda, Institut Pelangi Perempuan sampai menerbitkan sebuah antologi puisi dan cerpen komunitas lesbian pada tahun 2008. Kurang queer apa coba?

Poin ketiga terkait dengan dunia penerbitan. Bila karya penulis-penulis di atas diterbitkan oleh penerbit non-arus utama, itu bukan berarti karya bertema queer itu selalu marjinal di Indonesia.

Pada tahun 2000-an, karya-karya bertema LGBT relatif lumayan sering diterbitkan oleh penerbit besar. Karya-karya yang memuat konten LGBT, serta diterbitkan oleh penerbit besar dapat ditemui dari penulis, antara lain Andrei Aksana, Djenar Maesa Ayu, Alberthiene Endah, Clara Ng, dan Ucu Agustin. Lebih jauh lagi, sebuah antologi cerpen LGBT “Rahasia Bulan” yang disunting oleh Is Mujiarso diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2006.

Melihat peta penerbitan ini, pertanyaan kita seharusnya bukan lagi “mengapa karya queer dimarjinalkan?”, melainkan: “Karya dan representasi queer seperti apa yang diinginkan dan dapat diterbitkan oleh penerbit besar, dan representasi macam apa yang kemudian ditenggelamkan dari kemungkinan penerbitan?”

Pertanyaan selanjutnya, “Seberapa eksplisit tingkat queerness yang dapat ‘diterima’ oleh penerbit arus utama?” Singkatnya, dengan kata lain: “who is included and who is excluded from the mainstream publishing industry?”

Setelah huru-hara anti-LGBT pada tahun 2015-2016, sudah bisa ditebak bagaimana penerbit besar pun harus berhati-hati agar tak kena serangan terhadap keberlanjutan industrinya, sehingga faktor ini pun harus dilihat pengaruhnya terhadap jumlah, konten, dan model representasi queer yang bisa masuk ke ranah arus utama.

Dengan demikian, menyamakan karya queer sebagai “otomatis marjinal” tak hanya melupakan karya-karya queer yang diterbitkan oleh penerbit besar (dan sukses di pasaran), tetapi juga mengingkari ketimpangan akses dan perlakuan dalam dunia penerbitan yang dihadapi secara berbeda oleh penulis queer yang juga memiliki latar belakang beragam.

Serta sengaja menutupi silang-sengkarut antara konteks sosial-politik negeri ini dan politik industri perbukuan yang menyebabkan representasi karya queer jadi “lo-lagi-lo-lagi” dan “gitu-lagi-gitu-lagi”.

Ketiga poin di atas merupakan undangan yang jauh dari sempurna untuk menelisik lebih jauh posisi karya dan penulis queer di Indonesia. Mengingat betapa kompleksnya identitas, tentu saja masih banyak pertimbangan lain yang harus kita tengarai.

Misalnya, mengingat Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jakarta tidak melulu representatif untuk Indonesia, bagaimana kita menempatkan karya-karya queer dari luar Jakarta?

Lalu, bagaimana menempatkan penulis queer diaspora Indonesia atau penulis queer yang dimarjinalkan karena kelas, etnis, dan/atau disabilitasnya? Yang juga penting, karena queerness itu bukan cuma milik pria gay, bagaimana dengan representasi queer lainnya?

Akhir kata, saya ingin mengutip definisi ‘queer’ dari seorang akademisi queer Amerika Serikat, Eve K. Sedgwick dalam “Tendencies” (1994):

“…the open mesh of possibilities, gaps, overlaps, dissonances and resonances, lapses and excesses of meaning when the constituent elements of anyone’s gender, of anyone’s sexuality aren’t made (or can’t be made) to signify monolithically.”

Kita tak harus beriman mentah-mentah pada omongan Sedgwick. Hanya saja, minimal kita bisa mulai melihat bagaimana definisi ‘queer’ itu sendiri fleksibel dan bandel.

BACA JUGA Panduan Berinteraksi dengan LGBT bagi Kaum Hetero Itu Tidak Perlu.

Exit mobile version