Habis Jaringan Islam Liberal (JIL), Terbitlah Jamaat Islam Nusantara (JIN)

Habis Jaringan Islam Liberal (JIL), Terbitlah Jamaat Islam Nusantara (JIN)

Habis Jaringan Islam Liberal (JIL), Terbitlah Jamaat Islam Nusantara (JIN)

Jika Anda ingin terkenal di medsos, buatlah postingan tentang dua tema paling sensitif yang lebih bikin deg-degan daripada Alat Tes Kehamilan: masalah agama dan Jokowi. Tak perlulah Anda pintar beneran, waton njeplak saja tetap bakal beken.

Makin ke sini, subhanallah, makin banyak yang yang waton jeplak.

Setelah Jaringan Islam Liberal (JIL), yang diperangi oleh Indonesia Tanpa JIL (ITJ—ada singkatan dalam singkatan) dan disepiliskan sepanjang waktu (sepilis merujuk ke tiga ideologi haram versi Majelis Ulama Indon: sekularisme, pluralisme dan liberalisme), Islam Nusantara (IN) yang diusung sebagai tema utama Muktamar Nahdlatul Ulama juga dibabak-belurin dengan akronom JIN (Jamaat Islam Nusantara). Maka, jangankan “hanya” Kak Ulil Abshar Abdalla, Kak Akhmad Sahal, dkk, wong para panglima NU yang notabene kyai-kyai sepuh juga dihajar di medsos. Soal tampang-tampang penggebuk itu kayak apa, Wallahu a’lam bis-shawab. Toh PP, Ava, dan DP mereka memang gak jelas.

Mari blejeti IN yang dikatain JIN itu satu-persatu:

Habis JIL terbitlah JIN

Bermula dari twet Ulil bahwa, “Yang ngerti Islam takkan meributkan Islam Nusantara”, media-media online penghasut umat lalu beramai-ramai mengumumkan bahwa IN adalah anak kandung JIL.

Penyimpulan ini tentu mudah dinalar: relasi Ulil dan JIL tak terpisahkan. Ulil juga  NU. Ulil itu NU, Ulil itu JIL, sehingga dengan nalar paling SD pun akan mudah didapatkan kesimpulan: NU adalah JIL, maka Islam Nusantara yang produk NU adalah produk JIL pula. Kuncinya ya Ulil.

“JIN adalah anak kandung JIL”, begitu fatwa mereka kemudian.

Di sini, saya agak mengerutkan kening. Logika saya bergerak begini: Ulil memang bagian dari NU, Ulil panglima JIL, dan JIL bukanlah representasi NU. Maka nalar normal seharusnya bisa mencerna bahwa IN bukanlah anak JIL, melainkan anak NU. Soal Ulil mendukung IN, ini wajar belaka lantaran IN—yang bersemangatkan Islam kontekstual dan transformatif dalam memandang teks-teks Al-Quran dan Hadits—memang senapas dengan pemikiran Ulil.

Nggak paham, ya?

Kok ya naif banget membayangkan para kyai sesepuh NU mengekor pada JIL dalam menggagas IN.

Gimana, masih nggak paham juga? Pekok tenan.

Sekalian aja gabungin Hindu dan Budha biar Nusantara Banget

Sik, sik, agama digabung-gabungin itu gimana? Islam pasti emoh, yang Hindu dan Budha juga pasti ogah. Semua agama pasti tak sudi digado-gadoin, disinkretiskan. Saya menduga komentar begitu akibat mual sama John Hick saja. Itu pun kalau Anda tahu nama itu.

Istilah “Nusantara” pada IN sejatinya sekadar distingsi dari beragam “ortodoksi global” yang menjadi karakter-karakter utama Islam kekinian. Ada ortodoksi Arab, Afrika, Eropa, Asia, dll. Di masa nabi ya jelas ndak ada.

Istilah ortodoksi di sini jangan pahami sebagai “kolotan” lho ya. Bukan! Ia semata lazim disebut sebagai pembeda antara Islam di wilayah Arab, Eropa, dan Asia—sebagai misal.  Ambil contoh Arab Saudi. Ortodoksinya adalah berteologi Wahabi, fiqhnya menganut Hanbali, dan tasawufnya ditiadakan. Di kita, yang bagian dari wilayah “Nusantara”, ortodoksinya adalah berteologi Asy’ariyah, fiqh-nya Syafi’i, dan tasawufnya Ghazali. 

Jadi, dengan argumen itu, mestinya cukup jelas bahwa inisiasi Nusantara pada kata Islam sama sekali bukanlah sebuah masalah. Wong itu cuma karakter ortodoksi mainstream kita kok.

Tapi, bagi akun-akun medsos yang cinta masalah ya tentu ada seribu jalan menuju masalah. Mereka lantas menilik IN dari kacamata ortodoksi Arab, ya jelas ndak nyambung, lalu muncullah klaim “ndak Islami”. Padahal tepatnya ya “ndak ngarab” saja. Si Arab-centris, sebagai tanda awamnya akan peta ortodoksi Islam global ini, wajar jadi mencak-mencak, lalu ngelulu seringan meludah: “Udah, sekalian gabungin aja Islamnya sama Hindu dan Budha biar menusantara banget.” 

Jika ucapannya dibalik, jadinya begini: “Udah, sana ke Arab saja biar Islamnya sesuai sama ortodoksi Arab.”

Marah digituin? Makanya, sisiran dulu sebelum meludah agar ludahnya Islami.

Ngeributin Barang Lama 

FYI, Islam Nusantara bukanlah isu baru dalam khazanah panjang Islamic studies di dalam maupun luar negeri. Jika Anda anak kuliahan studi Islam, niscaya Anda familiar sama Fazlur Rahman, Abed al-Jabiri, hingga Hasby Ash-Shiddiqy, Nurcholis Madjid, dan Abdurrahman Wahid (untuk sekadar menyebut beberapa nama).

Dengan gerakan “double movement”, Fazlur Rahman mengusung metode tafsir berdasar realitas masa kini, lalu masuk ke masa lalu (untuk menalar asbabul wurud dan asbabun nuzul), lalu kembali ke masa kini dengan menimba “moral ethic” sebuah ayat atau hadits. Ada dialog intensif antara teks di masa awal diturunkannya dengan khazanah kekinian.

Abed al-Jabiri, dengan metode bayani, burhani, dan ‘irfani, menandaskan pentingya kritik nalar Arab (naqdul ‘aql al-araby dan naqdul khitab al-araby) agar kita tahu historisitas sebuah teks suci untuk dikail dalam konteks masa kini.

Hasby Ash-Shiddiqy mencetuskan “Fiqh Indonesia”, sebagai upaya untuk menyelamatkan wajah hukum Islam agar tidak taklid buta pada karakter konteks Madinah, Irak, atau Mesir yang notabene memiliki banyak perbedaan sosio-kultural dengan kita.

Nurcholish Madjid mengusung sekularisas (bukan sekularisme lhoh, ya) dan Islam kontekstual sebagai metode untuk mendinamisasikan hukum Islam agar sesuai realitas hidup kita.

Dan, jika Anda bertanya apakah metode dinamis-dinamis beginian hanya ulah generasi muslim kontemporer, utamanya JIL, saya ajak Anda untuk kenalan sama Imam Syafi’i yang mewariskan qaul qadim dan qaul jadid seiring dengan merantaunya beliau dari Irak ke Mesir. Perubahan konteks sosio-kultural yang melingkari kehidupan Imam Syafi’I, ternyata membuahkan perubahan ijtihad hukum Islamnya.

Perbedaan konteks sosio-kultural meniscayakan perubahan wajah ijtihad itu sendiri. Begitu sunnatullah-nya.

Hayo, berani berani mengkafirkan Imam Syafi’i?

Lalu kenapa meributkan IN? Andai Anda tidak hanya tahu ortodoksi Arab sebagai Islam yang shiratal mustaqim, saya yakin Anda akan nyantai saja kayak di pantai. Dan andai Anda pernah salat di Masjidil Haram, dan melihat aneka ragam baju muslim dan macam-macam cara salat umat Islam dari seluruh penjuru dunia.

Oh ya, satu lagi ding, andai Ulil tidak pernah ngetwit mendukung Islam Nusantara.

Exit mobile version