Rambut Gondrong Jadi Problem Kesopanan Itu Baru 100 Tahun Belakangan

Sampai akhir abad ke-19, rambut gondrong bagi pria-pria Jawa dan Nusantara masih jadi kelaziman. Semua berubah sejak standar modernitas Kerajaan Belanda “menyerang” tanah-tanah koloninya.

Rambut Gondrong Jadi Problem Kesopanan Itu Baru 100 Tahun Belakangan

Rambut Gondrong Jadi Problem Kesopanan Itu Baru 100 Tahun Belakangan

MOJOK.CODi negeri ini, seorang pria baru ditoleransi punya rambut gondrong jika punya skill seni, atau memang berprofesi di sana.

Kowé, lha kowé kuwi sopo (Hei kamu, situ itu siapa)

Wani-waniné macari anakku (Berani-beraninya memacari putriku)

Lha piyé to (Duh gimana sih)

Wis rambuté dowo (Dah rambutnya gondrong)

Badané tatoan (Badan ditato)

Pakeané semrawut (Pakaian nggak rapi)

Dasar wong édan (Dasar orang nggak waras)

Kata-kata tadi bisa Anda temukan pada lagu “Ningrat milik grup band metal Jamrud. Lagunya sendiri perdana menyapa telinga publik Indonesia sekitar dua dekade silam, dan sempat meledak di pasaran pada eranya.

Jika lagu “Ningrat” menggambarkan rumitnya percintaan beda strata sosial disertai benturan takaran kesopanan antargenerasi, penggalan bagian bergaya rap-nya mencerminkan idealisasi kaum terdidik dan mapan negeri ini mengenai potongan rambut pria, berikut penampilan berpakaiannya.

Apa yang digambarkan Jamrud via “Ningrat”, sekitar sekitar 20 tahun silam tentang potongan rambut serta gaya berbusana pria tetap dapat diamini, banyak ditemukan benarnya di kota hingga desa di dunia nyata sampai hari ini.

Bagi banyak orang Indonesia, potongan rambut pendek agaknya memang diakui sebagai variasi potongan rambut tersopan, paling direkomendasikan untuk kaum pria. Rambut pendek dipercaya bisa meminimalkan risiko masalah etika di sekolah hingga rumah gebetan, pun diyakini lebih berpeluang positif saat wawancara kerja.

Sebelum ke mana-mana, kita harus sepaham dulu di sini. Memang potongan rambut pendek itu tepatnya seperti apa?

Tidak spesifik soal berapa panjang atau seperti apa layer pengguntingannya, variasinya sih bisa macam-macam. Namun, kita ambil tengahnya saja. Kira-kira orang-orang bakal bersepakat pada dua hal soal kategori rambut tidak gondrong bagi kaum pria.

Pertama, rambut dianggap tidak gondrong kalau ujung rambut di kepala bagian samping masih belum menyentuh daun telinga atau menutupinya. Kedua, rambut tidak gondrong kalau ujung rambut di kepala bagian belakang tidak menjulur ke sekitar batang leher.

Di Indonesia ini, seorang pria baru diperlakukan hormat atau setidaknya ditoleransi untuk memelihara rambut gondrong jika punya skill seni, atau memang berprofesi di bidang itu. Entah itu dalam seni peran seperti teater maupun film dan sinetron; seni lukis maupun seni pahat; seni tari tradisional maupun modern; lalu tentu saja seni musik, terlebih lagi jika musik beraliran rock.

Akan aman lagi jika ditunjang wajah ganteng dan fisik oke. Si pria berambut gondrong akan disebut dengan permakluman sebagai nyeni, seniman, artis, hingga musisi, dan rocker. Tanpa semua prasyarat yang saya sebut tadi, pria yang memberanikan diri punya rambut gondrong mesti siap-siap dicibir sebagai Jamet.

Padahal, tidak semua orang sadar bahwa penilaian tinggi yang kini kita berikan kepada potongan rambut pendek pria, baru terbilang mantap sekitar satu hingga satu seperempat abad terakhir. Sebelum itu, rambut gondrong adalah sesuatu yang lazim saja bagi banyak pria di Jawa dan daerah-daerah lain di Kepulauan Nusantara.

Di Jawa, berambut gondrong malah bisa dibilang sebagai suatu gaya rambut pria yang mainstream. Ini berlaku baik untuk bangsawan hingga orang kebanyakan seperti petani, prajurit rendahan, serta berbagai macam tukang.

Yang jelas, sebelum satu seperempat abad atau sekitar 120-an tahun yang lalu, pria Jawa yang berambut gondrong tak perlu khawatir dicap Jamet. Paling banter ya disebut “inlander” oleh orang Belanda.  

Bahwa berambut gondrong adalah pola mainstream gaya rambut pria sebelum satu seperempat abad lalu—bukan cuma gaya rambut para perempuan—ini setidaknya bisa dicek pada foto-foto lawas dari sekitar peralihan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Bagus lagi jika juga disambung dengan cek foto-foto, sketsa-sketsa, dan lukisan yang sekitar 50-75 tahun lebih tua.

Informasi senada juga diberikan sumber-sumber yang lebih tua dari foto-foto lawas tadi, yakni catatan-catatan maupun sketsa-sketsa bikinan orang-orang Asing. Ini berlaku baik dari dokumentasi orang Tiongkok pada abad ke-6 hingga ke-15, dari orang Arab sekitar abad ke-14, hingga para kolonialis dan penjelajah Barat lainnya dari abad ke-14 hingga ke-19.

Contoh dokumentasi yang menunjukkan orang Jawa yang berambut gondrong pada awal abad ke-19 adalah satu gambar bangsawan pria Jawa yang menghiasi buku terbitan 1817, The History of Java-nya Thomas Stamford Raffles.

Di situ sang pria bertelanjang dada dengan bagian bawah badan mengenakan lilitan kain batik kampuh. Dari kepalanya yang bertopi kuluk dapat dilihat adanya rambut panjang yang digelung di belakang kepala, tapi sejumlah helai rambut tetap menjuntai ke arah bahu.

Masih dalam buku The History of Java, ada lima lukisan lain yang menggambarkan varian busana pria Jawa. Tiga lukisan menggambarkan pria berblangkon alias berdestar ala Jawa, satu lukisan tentang prajurit Jawa berblangkon sekaligus bertopi ala Eropa, dan satu lagi lukisan pengantin pria Jawa yang mengenakan semacam mahkota melingkari kepala.

Para pria dalam lukisan-lukisan tadi pun sebenarnya berambut panjang. Yang pengantin digelung rambutnya; selebihnya menyembunyikan rambut gondrong mereka di dalam balutan daster.

Mundur lebih jauh dari abad ke-19, berbagai relief candi serta arca peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Sumatera, Jawa, dan Bali dari abad-abad Nusantara Kuna (awal Masehi hingga runtuhnya Majapahit) menunjukkan bahwa pria-pria di zaman tersebut lazim berambut gondrong. Ya kan itu yang membulat di atas kepala arca-arca dan figur relief memang cepolan rambut, bukan bisul apalagi antena alien.

Mengutip apa yang ditulis oleh Inda Citraninda Noerhadi dalam buku Busana Jawa Kuna, catatan Tiongkok dari Dinasti Liang (502-556 M) serta dari Dinasti Sung (960-1279) juga menyebut para pria memiliki rambut gondrong. Kaum jelata biasa mengurai rambutnya begitu saja, sedangkan kaum bangsawan dan raja menggelung rambut panjang mereka.

Dengan demikian, peradaban tinggi di Kepulauan Nusantara—yang dalam hal ini dihitung dari hal-hal semacam melakukan pelayaran lintas pulau, memanfaatkan aksara untuk pencatatan, hingga membangun kerajaan—ditaksir berusia sekitar 1.600-2000 tahun, maka periode pria-pria berambut panjang mengisi 15-19 abad di antaranya.

Artinya, periode pria-pria berambut pendek baru berumur sekitar satu seperempat di bagian bungsu dari linimasa sejarah peradaban masyarakat Jawa dan Nusantara.

Pria-pria di wilayah itu “dipaksa” berambut pendek karena hasil perpaduan pengaruh Islam, Westernisasi yang dibawa Kolonial Belanda terutama sejak Politik Etis, serta pengaruh Kristen. Ketiganya berjalin berkelindan dalam dinamika peralihan abad ke-19 dengan ke-20.

Dalam hal peralihan rambut gondrong ke pendek di antara para pria Jawa, Pangeran Adipati Mangkunegara VI, sang penguasa Praja Mangkunegaran pada 1896-1916, terbilang sebagai pembesar pribumi yang menjadi pelopornya.

Itu berlangsung beriringan dengan rangkaian kebijakan reformis yang dilakukan Mangkunegara VI terhadap Mangkunegaran, mulai dari penyederhanaan protokoler istana, penyederhanaan cara berbusana para narapraja, penghematan keuangan, pengumpulan dana beasiswa pendidikan, hingga membentuk semacam holding company pengelola unit-unit usaha milik Mangkunegaran.   

Sebuah keputusan besar karena kepala pria Nusantara (pada umumnya) dan pria Jawa (pada khususnya) kemudian berubah menjadi komoditi peluang bisnis baru bagi suatu kelompok masyarakat tertentu selama kurang dari 100 tahun ke belakang.

Sebuah perubahan mindset kebudayaan yang lantas melahirkan keahlian khusus melegenda di seluruh Nusantara. Keahlian yang kemudian dipatenkan menjadi sebuah plang nama yang ada di mana-mana, yakni: cukur rambut Madura.

BACA JUGA Salah Kaprah Penamaan Universitas Brawijaya dan Kodam Brawijaya serta tulisan Yosef Kelik lainnya.

Exit mobile version