Gaj Ahmada dalam Pusaran Tragedi Pertanyaan “Kapan Kawin?”

gaj ahmada, mojok

esai gaj ahmada mojok

Lebaran sebentar lagi. Tinggal menghitung hari kalau kata Krisdayanti. Di tengah rindu yang membuncah pada kampung halaman, saya rasa tidak sedikit yang di dalam hatinya terselip ketakutan pada pertanyaan “Kapan kawin?” dari keluarga besar dan handai tolan. Tepat seperti itulah perasaan Gaj Ahmada ketika menjemput rombongan Dyah Pitaloka yang akan diperistri junjungannya.

Ya, Anda tidak keliru. Kita memang sedang membicarakan mahapatih Majapahit yang menurut penelitian terbaru ternyata bernama Gaj Ahmada atau Syaikh Mada. Penelitian ini mau tidak mau membuat universitas yang bermarkas di Bulaksumur, Yogyakarta, harus mengganti namanya menjadi UGA, Universitas Gaj Ahmada, atau USM, Universitas Syaikh Mada.

Sementara nama asli sang mahapatih sudah diketahui, nama sang raja justru tidak disebut di penelitian itu. Tapi tenang saja, teori bisa dibuat dan untuk nama sang raja, saya kira mengerucut pada tiga kemungkinan.

Pertama, ia orang asing yang memperkenalkan diri, “I am Wuruk.” Orang Jawa mengira itulah namanya dan melafalkannya “Hayam Wuruk”. Teori ini agak lemah mengingat rakyat Majapahit terkenal anti asing dan aseng. Jangan lupa, Prabu Kertanegara pernah memotong telinga utusan Kubilai Khan sambil menghardik, “Bilang sama rajamu, Singasari tak sudi dijajah aseng!”

Kedua, kasus salah panggil Bro Wengker (buku sejarah menyebutnya Bhre Wengker, penguasa Kerajaan Timur) kepada sohibnya yang berkuasa di Kerajaan Barat, Amwuruk, pada satu kesempatan reuni kedua kerajaan. Sapaan Masbro Wengker, “Hai, Amwuruk, piye kabare, Dab?” kemungkinan disalahtafsirkan oleh rakyat Kerajaan Timur sebagai “Haiam Wuruk”.

Sebagai catatan, buat nambah-nambah pengetahuan sejarah kalian yang buruk, pada tahun 1295 Raden Wijaya membagi dua Majapahit untuk membalas jasa Arya Wiraraja yang membantunya mendirikan Kerajaan Majapahit. Baru pada tahun 1316, putra Raden Wijaya, Jay Anagara, berhasil mempersatukan kembali kedua kerajaan.

Perhatikan bagaimana nama-nama orang Majapahit selalu diawali dengan huruf A: Ahmada, Amwuruk, dan Anagara. Makanya, sekolah sehari penuh, Masbro ….

Saya rasa nama asli junjungan Gaj Ahmada memang Amwuruk, walaupun nama Hayam Wuruk bukan berasal dari kasus salah panggil Masbro Wengker. Kemungkinan besar nama itu berasal dari panggilan sayang Dyah Pitaloka kepada calon suaminya. Dyah Pitaloka memanggil Amwuruk “Ay” untuk mengimbangi Amwuruk yang memanggilnya “Beb”. Ay Amwuruk dan Bebeb Dyah.

Kembali ke soal perasaan Gaj Ahmada ketika mengawal rombongan keluarga Kerajaan Sunda, semua orang tahu kisah Perang Bubat yang berujung dengan dihabisinya seluruh keluarga itu, termasuk Dyah Pitaloka, oleh pasukan Bhayangkara Mahapatih Gaj Ahmada.

Teori paling terkenal menyebut bahwa Gaj Ahmada melihat kedatangan raja Sunda dan keluarganya dengan sedikit pengawalan adalah kesempatan untuk memenuhi sumpahnya: sumpah tidak akan makan buah palapa sebelum berhasil mempersatukan Nusantara—hal yang mendorong rakyat Majapahit beramai-ramai membuat status “Saya Majapahit, saya Palapa”. Dan begitulah segalanya terjadi.

Tapi itu adalah sejarah versi para pemenang. Pahlawan-pahlawan mereka selalu gagah, tidak mungkin galau, melankolis, dan menye-menye. Siapa yang berani menulis kalau gara-gara sumpahnya, Gaj Ahmada jadi kesulitan menemukan jodoh? Bung Hatta tidak mau menikah sebelum Indonesia merdeka, Tan Malaka bahkan tidak sempat merasakan keduanya walaupun tahu negara yang diperjuangkannya sudah merdeka.

Putri raja seperti Dyah Pitaloka pasti ditemani oleh dayang-dayang, dan perempuan mana yang tidak kesengsem melihat seorang pemuda gagah yang sudah memegang jabatan begitu penting di Majapahit tapi masih jomblo? Di tengah gegap gempita kabar akan disatukannya dua kerajaan besar lewat pernikahan, bukan tidak mungkin salah satu dayang itu dengan lancang bertanya kepada Gaj Ahmada.

“Junjunganku dan junjungan sampean mau kawin, Mas. Sampean kapan?”

Tragedi memang kadang terjadi hanya karena seseorang salah bicara. Atau salah nanya.

Konon, setelah peristiwa itu hubungan Gaj Ahmada dan Ay Amwuruk tidak pernah bisa baik lagi. Amwuruk bahkan tercatat mengirim utusan dari Bali untuk meminta maaf kepada Kerajaan Sunda. Bahkan untuk menunjukkan penyesalannya, Amwuruk akhirnya menikahi sepupunya sendiri yang bernama Sri Sudewi, anak Bro Wengker dari Kerajaan Timur. Sang permaisuri kemudian diberi gelar Paduka Sori, mungkin untuk menunjukkan betapa menyesalnya Ay Amwuruk.

Kepada Gaj Ahmada, Amwuruk cuma bisa berkata, “Yang kamu lakukan itu jahat, Gaj.” Ini mengutip kata-kata kakeknya, Raden Wijaya, yang pada 1295 mengucapkan “Yang kamu lakukan itu jahat, Rangga” ketika mendengar kabar pemberontakan Adipati Tuban, Ranggalawe.

Gaj Ahmada sendiri tentu saja menyesal. Konon beliau bahkan mengganti namanya menjadi Gal Ahmada lalu mengasingkan diri. Tapi, seperti kata pepatah Tiongkok, “Macan tidak pernah melahirkan anjing,” keturunan Gal Ahmada, walaupun perempuan, juga gagah berani. Kita sekarang mengenalnya sebagai Gal Gadot, sang Wonder Woman.

Lah, Gal Gadot kan orang Yahudi?

Jangan lupa, Borobudur itu juga peninggalan Nabi Sulaiman.

Exit mobile version