Filsafat Hidup di Bokong Truk

bokong truk

[MOJOK.CO] “Tulisan di bokong truk lucu karena ia mewakili kenyataan hidup kita sehari-hari.”

Bersama bus, truk sering diidentikkan dengan monster jalanan. Bodinya yang besar dan lajunya yang kencang jadi ancaman kendaraan-kendaraan kecil. Tapi di luar sisinya yang menakutkan, untungnya, truk punya sisi menggemaskan. Ibarat tokoh animasi, truk adalah Sullivan dalam Monster Inc.

Salah satu sisi lucu dari truk apa lagi kalau bukan tulisan-tulisan di bokongnya. Banyak orang dibuat tersenyum dengan tulisan-tulisannya yang sering menggelitik. Sepertinya suatu saat Mojok.co perlu melakukan investigasi atas keberadaan para kreatif di balik bak truk; siapa mereka, bagaimana mereka menggali ide, dan tak ketinggalan: jumlah penghasilannya.

Saya punya dugaan mereka adalah para filsuf. Tapi, berbeda dengan sosok yang sering dicitrakan bertampang muram dengan bulu-bulu tumbuh di telinga, para filsuf di belakang bak truk adalah orang-orang yang cakap melibati hidup dengan cara jenaka. Diktum mereka paling juga tak jauh-jauh dari yang diyakini para editor mojok, “Untuk apa pintar kalau tidak lucu?”

Tampaknya, tidak semua jenis tulisan di bokong truk dimaksudkan melucu. Tak jarang kita dapati tulisan berupa petuah yang kenes, kritik nakal, protes, sindiran, gerundelan, atau curahan hati yang wagu. Tapi, ciri umumnya adalah realistis. Di tengah gempuran bahasa iklan yang berbusa, bahasa di bokong truk menjanjikan ironi. Dan mungkin itu sebabnya ia menjadi lucu.

“Satu istri dua anak cukup, dua istri semaput,” misalnya. Kalimat sederhana itu seperti sebuah counter atas meluapnya wacana atau gairah terhadap poligini. Kampanye tentang poligini hari-hari ini tampaknya sedang ditembakkan dengan gencar. Buku-buku ditulis, seminar digelar. Bahkan kaos-kaos yang didesain untuk remaja yang belum lama dikhitan mempropagandakan idealnya beristri lebih dari satu.

Membayangkan hidup dengan dikelilingi banyak istri barangkali terasa keren. Foto berkuda atau makan malam sambil ditemani para istri akan terlihat gagah bila dipajang di media sosial. Poligini selalu menjadi tema obrolan yang seru bukan saja di kalangan remaja jomblo tapi juga bapak-bapak. Tapi, para filsuf kita mengingatkan sisi yang sering terlupakan dalam semangat yang menggebu tersebut: semaput, pingsan.

Bagi kelompok “pangkat kuli, kebutuhan priayi”, semaput itu sangat mungkin berarti tragedi secara fisik. Menafkahi dua orang istri (apalagi lebih) berikut anak-anaknya bukan perkara mudah. Mereka harus kerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tidak murah. Apalagi ditambah kenyataan bahwa “golek duit pancen angel, tuyul wae sambat” alias cari duit itu susah, tuyul aja ngeluh, orang bisa benar-benar semaput.

Bahkan bagi keluarga yang duitnya berlebih pun, semaput bisa juga terjadi. Betapa banyak keluarga yang awalnya adem ayem jadi berantakan setelah mengalami poligini. Aa Gym kurang apa. Ketika ia memutuskan untuk mengambil istri lagi, pertahanan Teh Nini runtuh, meski belakangan ia rujuk lagi. Karena itu, para filsuf kita banyak menulis wejangan bijak tentang bagaimana menjaga hati, “Ora usah dolanan barang sing nyelempit. Nikmate sak menit rekosone sundul langit” (nggak usah main barang sempit. Nikmat semenit, deritanya sampai langit). Atau “Jangan tinggalkan yang baik demi yang menarik.”

Topik tentang pengendalian diri banyak ditulis oleh para filsuf truk. Tidak hanya dalam kehidupan di rumah tangga, tapi juga di jalan raya. Mereka menyindir perilaku ugal-ugalan. Kadang dalam nada-nada kasar ala jalanan, “Nek ora sabar maburo!!!” Kalau nggak sabar, silakan terbang!!! Atau kadang dengan kesantunan seorang priayi, “Ngebut adalah ibadah, semakin ngebut semakin dekat dengan Tuhan.”

Sindiran juga kerap ditujukan kepada perilaku tidak jujur. Meski sering dengan percaya diri menulis, “Ojo ngaku ayu nek durung duwe bojo sopir truk,” jangan ngaku cantik kalau belum punya suami sopir truk, tapi mereka tetap percaya bahwa kejujuran lebih penting dari kecantikan. “Gak perlu cantik, yang penting tidak munafik”. Karena itu, mereka pun menertawakan kecantikan-kecantikan semu yang lahir dari upaya instan, “Wajah itu dirawat, bukan diedit.”

Kenakalan-kenakalan itu agaknya yang membuat kehadiran truk di jalan raya jadi hiburan. Para filsuf truk telah menunjukkan kepada kita cara memberi kontribusi bagi kehidupan dan kebahagiaan orang-orang sekitarnya, bukan dalam cara yang heroik, melainkan dengan nasihat dan humor. Mereka agaknya sangat paham bahwa hidup di jalanan makin butuh hiburan, dan itu tidak harus mahal.

Saya membayangkan suatu saat tulisan-tulisan di bokong truk akan dikompilasi dalam buku aforisma (mengikuti Out of the Truck Box-nya Iqbal Aji Daryono). Dikutip dalam banyak tulisan atau ditatah sebagai tato di lengan atau punggung artis. Atau seperti dilakukan Angelina Jolie yang menato kalimat quod me nutruit me destruit di bawah pusarnya.

Exit mobile version