Film Foxtrot Six: Lahir dari Titisan The Raid, eh Malah Dikeroyok Geng Motor Dilan

MOJOK.CO Film Foxtrot Six melakukan tugasnya untuk menguasai bahasa asing. Namun, sayangnya, jalan mulia ini dihadang oleh Dilan 1991!

Kita terlalu sibuk dengan euforia Dilan 1991 sampai-sampai kita tak sadar ada film laga yang sedang dikeroyok anak geng motor, yaitu Foxtrot Six. Sejauh ini, Foxtrot Six menjadi salah satu film yang mampu bertahan melawan Dilan di daftar Now Playing yang dipajang di bioskop-bioskop.

Ya, benar, sebagai film action, inilah jalan yang harus ditempuh mereka: menjadi tangguh, baik ketika proses produksi maupun penayangan. Kendati film bertema futuristik ini sudah digempur habis-habisan oleh film romantis anak SMA tahun 90-an, Oka Antara cs. nyatanya masih berjuang keras hingga hari ini.

Sebelumnya, salah satu produser Foxtrot Six, Wanyi Pratiknyo, sempat disemprot oleh Iko Uwais di Twitter lantaran beliau membagikan kembali opini sebuah media yang menyatakan bahwa:

“Film laga Foxtrot Six nggak kejam-kejam amat, nggak kayak film Indonesia sejenis, macam The Night Comes for Us dan The Raid.”

Pernyataan itu langsung ditimpali oleh Iko Uwais yang kebetulan menjadi pemain utama di dua judul film yang dinyinyiri tersebut:

“Woy, yang menciptakan semua adegan action di film lo itu anak-anak The Raid dan The Night Comes for Us, Dude!”

Waduh, waduh. Gara-gara retweet setitik, (jangan sampai) rusuh dunia persilatan. Bayangkan saja betapa ngerinya kalau para aktor The Raid ft. TNCFU bikin film baru yang isinya berantem lawan pemain film Foxtrot Six. Bukannya jadi film laga, malah bisa jadi film dokumenter tawuran aktor laga, deh, kayaknya.

Tapi, tapi, tapi, saya penasaran juga, sih: kira-kira siapa yang bakalan menang, ya? Hehe.

Lagian, Foxtrot Six ini nekat juga bikin film laga Indonesia tanpa melibatkan Iko Uwais di jajaran cast. Bukankah itu hukumnya makruh, mengingat peran dan jasa Iko Uwais begitu besar dalam memopulerkan film laga Indonesia zaman kiwari?

Iko Uwais mulai berlaga sejak Merantau (2009), yang merupakan film pertamanya yang bekerja sama dengan sutradara asing, Gareth Evans. Sepasang tahun kemudian, keduanya kembali berduet di film The Raid: Redemption. Dari film ini, adegan duel maut yang ikonik antara Iko Uwais dan Yayan “Mad Dog” Ruhian di bagian klimaks menjadi meme yang dipanen di mana-mana. The Raid telah melejitkan jargon “greget”.

Saking gregetnya aksi silat Mad Dog yang memorable, sampai-sampai Yayan Ruhian dihidupkan kembali di film sekuelnya, The Raid: Berandal. Melalui tiga film garapannya, Gareth Evans memasang standar baru film laga tanah air. Headshot besutan Mo Brothers adalah satu yang berada di level yang sama. Mungkin karena sebagian pemainnya juga anak-anak The Raid dan sama-sama memasang Iko Uwais sebagai jagoan utama.

Setiap produksi film berbau silat, hukumnya wajib memanggil Iko Uwais dan alumni The Raid lainnya, seperti Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman untuk berantem di lokasi syuting. Bahkan tiga serumpun ahli bela diri ini juga sempat jadi kameo di Star Wars. Peran mereka nggak penting-penting amat: cuma ngejar-ngejar Han Solo dan Chewbacca di dalam Milenium Falcon. Tapi sebagai orang Indonesia, bangganya kurang lebih sama, lah, kayak lihat Joe Taslim main tembak-tembakan di Fast & Furious 6.

Sebagai sang jagoan di The Raid, karier Iko Uwais memang paling moncer di antara aktor laga lainnya. Iko sempat adu akting dengan aktor Hollywood Mark Wahlberg di film Mile 22, setelah sebelumnya Iko membintangi film Hollywood Beyond Skyline bersama Yayan Ruhian. Di film Mile 22 ini, kita akan melihat Iko Uwais sebagai Li Noor melakukan gerakan seperti zikir untuk menenangkan pikiran.

Jadi, yaaaah, bolehlah kalau Iko diklaim sebagai aktor laga yang mengenalkan budaya Islam ke muka dunia, setelah sebelumnya ia salat di adegan pembuka film The Raid.

Namun, Iko Uwais sering terjebak di latar tempat yang aneh dalam film. Misalnya, di Mile 22, ada baku tembak di sebuah kota yang aparatnya berbahasa Indonesia, tapi nama negaranya Indocarr City. Haduh, di mana itu?

Sebelumnya, film The Raid 2 bikin heran penonton karena Iko bisa kebut-kebutan di Jakarta, padahal setiap harinya selalu macet. Ditambah, kenapa ada hujan salju di Indonesia, di mana Yayan Ruhian meneteskan titik darah penghabisan sehingga menghasilkan keindahan warna merah di atas putih? Maksud saya, untuk kepentingan sinematografi, haruskah mereka mengabaikan fakta bahwa Indonesia adalah negara berkembang beriklim tropis? Sejak kapan Jakarta nggak macet dan ada saljunya? Apakah itu semua sesungguhnya tanda-tanda kiamat?

Kini, film Foxtrot Six justru menambah-nambah kehebohan dengan menampilkan latar Indonesia masa depan, tapi orang-orangnya berdialog full bahasa Inggris. Apakah di masa depan, masyarakat berhenti total mengikuti Ivan Lanin, lalu beralih junjungan ke Andhika Wira? Ckck. Benar-benar sebuah distopia yang bikin merinding.

Ketika Yowis Ben menampilkan dialog full bahasa Jawa untuk melestarikan bahasa daerah, Foxtrot Six melakukan tugas lainnya: kuasai bahasa asing. Tentu, harapannya adalah ia bisa menguasai pasar asing.

Namun, sayangnya, jalan mulia ini dihadang oleh Dilan. Kini, malah Dilan yang jadi sorotan mata dunia karena pencapaian jumlah penontonnya yang luar biasa.

Padahal, film Foxtrot Six telah menyuguhkan aksi yang sarat akan cerita penuh intrik. Sebuah ramalan masa depan tentang Indonesia di bawah kepemimpinan kepala negara yang manipulatif karena memegang kendali media. Berbeda dengan The Raid yang nggak ada ceritanya, sampai-sampai disamakan dengan film biru: penonton nggak perlu kronologi ceritanya karena cuma pengen nonton rentetan aksinya.

Sebagai catatan, film laga Indonesia punya penokohan yang seragam. Jagoan utamanya nggak mati-mati dan nggak ada capeknya. Iko Uwais sudah membuktikannya ketika jadi protagonis: nyawanya panjang dan selalu hoki.

Setiap jagoan sudah pasti punya stamina kuda. Setiap berantem, kayak dibantuin setan. Menang lawan satu penjahat, muncul musuh lebih banyak. Lawan banyak orang, dijabanin semua. Udah gitu, bisa menang. Mungkin syarat utama jadi aktor film laga di Indonesia itu nggak punya puser karena nggak ada capeknya.

Namun, entah kenapa, adegan bertarungnya selalu enak dilihat. Mungkin karena diarahkan oleh ahlinya, yaitu orang-orang yang punya passion di dunia silat. Siapa lagi kalau bukan anak-anak The Raid, seperti kata Iko Uwais?

Tapi untunglah, anak-anak The Raid yang jadi koreografer filmnya. Coba kalau yang mengarahkan koreografinya itu Ari Tulang.

Bisa-bisa, bukannya pada berantem, mereka malah menari-nari menuju puncak kayak finalis Akademi Fantasi Indosiar!

Exit mobile version