Dexamethasone Jadi Obat Corona? Hm, Cek Syarat dan Ketentuannya Dulu Dong

MOJOK.CO “Dexamethasone” jadi viral di Indonesia setelah WHO merilis hasil penelitian obat ini. Klaim sebagai obat corona pun bermunculan di grup wasap bapak-bapak.

Mengingat layar televisi saya satu-satunya dijajah oleh tontonan Peppa Pig dan Blippi, mau tidak mau akses berita sehari-hari lebih banyak dari telepon genggam. Cuma, ya, zaman sekarang itu berita-berita di telepon genggam sangat identik dengan judul-judul mengesalkan. Apalagi kalau topiknya sudah tentang (((OBAT CORONA))).

Beberapa hari terakhir, saya membaca di LINE Today setidaknya dua judul menggemaskan yaitu “Dexamethasone, ‘Obat Warung’ yang Disebut Ampuh Sembuhkan Covid-19, Sebenarnya Obat Apa?” dan “Mengenal Dexamethasone yang Disebut Ampuh Sebagai Obat Corona”.

Nama Dexamethasone mengemuka sesudah pada 16 Juni 2020, WHO mengeluarkan rilis bahwa mereka menyambut baik hasil penelitian pendahuluan perihal khasiat dexamethasone pada penanganan pasien positif corona yang kritis. Rilis lengkapnya bisa dibaca sendiri di sini.

Iya, sekali lagi: YANG KRITIS. Dalam artian, tentu saja yang sudah pakai oksigen atau ventilator. WHO sendiri juga menulis bahwa khasiat hanya tampak pada pasien berat dan tidak diobservasi pada pasien dengan gejala lebih ringan.

Risetnya sendiri, menurut WHO, dilakukan oleh pemerintah Inggris Raya, University of Oxford, dan rumah sakit di Inggris Raya sendiri. Protokolnya bisa teman-teman baca sendiri di sini. Bahasanya tidak terlalu sulit, masih bisa dipahami bagi orang yang TOEFL-nya 700 tiga kali tes kayak saya.

Kita sudah punya contoh berulang bahwa ketika suatu obat diumumkan memiliki dampak positif pada corona, terus barangnya jadi kosong di pasaran.

Pertama, waktu klorokuin disebut-sebut oleh Presiden yang rajin nge-tweet, Donald J. Trump, serta kemudian diikuti oleh Presiden Jokowi. Kedua, beberapa bulan lalu juga sempat ada periode vitamin C maupun imunomodulator sampai kosong di pasaran karena dianggap dapat membantu mencegah tertular corona.

Pengumuman terapi corona oleh Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejauh ini tidak terlalu menciptakan kondisi orang yang berbondong-bondong memborong.

Mungkin, karena ada beberapa tipe yang diumumkan sekaligus dan obatnya juga bukan obat yang familiar di level rakyat kebanyakan. Untuk kasus ini, posisinya adalah menuju uji klinis alias uji pada manusia. Ini fase paling bikin deg-degan dalam proses riset obat. Jadi, semoga berhasil, yha~

Masalahnya, ini kemarin saya ke apotek untuk beli vitamin—yang stoknya sudah normal di pasaran—eh sebelah saya bapak-bapak yang kayaknya tipe penerima informasi di grup WhatsApp yang baik, tengah membeli dexamethasone. Beliau agak sulit melafalkan nama obat yang agak ribet ini, jadi kepada petugas apotek beliau menunjukkan tulisan di WAG itu.

Dia jadi beli atau nggak? Kurang paham, soalnya saya sudah keluar apotek duluan. Akan tetapi, setidaknya kita bisa paham bahwa ada gap informasi di masyarakat yang pada titik tertentu berpotensi menimbulkan kesalahan.

Oke, jadi mari kita perjelas sedikit.

Dexamethasone adalah obat dari golongan steroid. Indikasinya kalau menurut Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) adalah antara lain untuk supresi inflamasi dan gangguan alergi, serta beberapa penyakit lainnya.

Sederhananya, sih, kalau menurut Prof. Zullies Ikawati dari UGM dalam status Facebook-nya, dexamethasone digunakan untuk mengobati peradangan dan alergi. Ngomong-ngomong, kita butuh banyak profesor seperti Bu Zullies, mosok laman Facebook kita dikuasai semata-mata Iqbal Aji Daryono?

Nah, pada pasien corona yang parah—dan sudah butuh oksigen serta ventilator—umumnya terjadi peradangan berat. Tampaknya, dexamethasone berperan pada titik ini. Menekan badai sitokin yang meningkatkan risiko kematian.

Maka, kalau bapak-bapak di apotek tadi dalam kondisi baik-baik saja alias belum butuh oksigen apalagi ventilator terus beli dexamethasone, ya tentu saja ora mashoook.

Itulah sebabnya banyak tenaga medis di media sosial langsung bergegas melakukan edukasi ke publik soal klaim obat corona ini, di tengah kesibukan masing-masing dalam mengurus pasien maupun mengurus netizen.

Bukan apa-apa sih, soalnya meskipun dalam jangka pendek tidak menyebabkan efek samping yang berarti, tetapi dalam jangka panjang plus dosis yang besar, efek sampingnya juga besar. Sebagai gambaran, pada riset yang dilakukan itu dosis dexamethasone-nya adalah 6 miligram sehari, selama 10 hari, baik oral (sirup atau tablet) maupun sediaan intravena.

Ketika dexamethasone digunakan sebagai swamedikasi alias pengobatan mandiri dengan maksud untuk pencegahan, dosisnya tentu jadi antah berantah. Hal ini tidak hanya diedukasi di Indonesia. Kalau ngecek Twitter, para dokter di Uganda, Pakistan, India, dan banyak negara lain juga melakukan hal yang sama. Ternyata gap informasi kesehatan terutama soal corona terjadi di begitu banyak negara.

Oke, kalau dexamethasone dikonsumsi secara sembarangan, apa efek sampingnya? Banyak, Kak. Bisa peningkatan kadar gula darah, moon face, keropos tulang, hingga yang paling penting dalam urusan corona: menekan sistem imun.

Jadi, kalau dexamethasone dibeli dan dikonsumsi secara sembrono bermodal kabar di WAG maka hasilnya salah-salah malah menurunkan sistem imun yang berarti membuka lebar-lebar gerbang tubuh kita pada kehadiran SARS-CoV-2 dengan segala ekspansinya.

Ibaratnya, tanpa minum dexamethasone tentara kita sudah siap-siap di posisinya. Terus muncul obat itu yang justru menyuruh sebagian tentara untuk istirahat saja. Walhasil, sistum imun tubuh jadi menurun dan tubuh lebih rentan tertular Covid-19.

Satu hal penting kalau sudah membaca tentang (((OBAT CORONA))) di media adalah turunkan ekspektasi serendah-rendahnya terlebih dahulu, sebab meriset obat (khususnya obat corona) itu bukanlah semudah merebus air atau mengkritik dokter Tirta di Twitter. Dengan demikian, kita bisa sedikit lebih kritis dalam menyikapi informasi yang muncul.

Jadi kalau ada berita bilang obat A berkhasiat jadi obat corona, cek dulu penelitiannya sudah sampai uji klinis atau belum. Kalau sudah, ujinya dilakukan pada pasien bergejala berat, ringan, atau malah tanpa gejala.

Hal ini penting agar kita tidak kebanyakan berharap. Bukan apa-apa, di politik soalnya harapan kita sebagai rakyat sudah terlalu tinggi dan ujung-ujungnya kan ambyar. Janganlah hal yang sama terjadi di urusan kesehatan juga~

BACA Klaim BPOM Obat Corona Ningsih Tinampi dan Hal Yang Perlu Diluruskan atau tulisan Alexander Arie lainnya.

Exit mobile version