Dengan atau Tanpa Rangga, Berlebaran di Amerika Itu Asyik

Dengan atau Tanpa Rangga, Berlebaran di Amerika Itu Asyik

Dengan atau Tanpa Rangga, Berlebaran di Amerika Itu Asyik

Biarpun Rangga sukses memanipulasi satu purnama Jakarta-New York menjadi belasan tahun menunggu buat Cinta, bukan berarti bulan puasa di Amerika juga berbeda ratusan purnama dengan di Indonesia.

Meski Ramadan kali ini jatuh pada saat musim panas dan memanjang hingga 16,5 jam, hal tersebut jauh lebih mudah dijalani daripada saat tahu Rangga syuting AADC 2 di New York dan saya tidak bisa menyambangi demi sekadar sebuah foto profil. Tapi, sudahlah, saya sudah move on, sambil menunggu siapa tahu ada syuting AADC 3, dan Rangga butuh Cinta yang baru. Saya siap. Eh.

Sebenarnya saya bukan mau curhat soal Rangga, meski salah satu motivasi saya melanjutkan study ke Amerika dan memilih New Jersey–yang hanya setengah jam dari New York–tak lepas dari memegang teguh harapan suatu saat melihat Rangga lagi jalan di tergesa Manhattan, lalu kita saling berpandangan, terpaku sesaat, terus Rangga dengan bahagia berkata: “Hai, kamu dari Indonesia ya? Bisa tolong anterin saya nyari nasi Padang?”

Lalu saya kemudian tinggal kontak Mira Lesmana untuk adegan berikutnya. Oke, abaikan.

Ini kali pertama saya berlebaran di negeri Donald Trump, eh Paman Sam. Dan di antara kerinduan akan suasana Idul Fitri di Indonesia, atau mungkin karena saya tak kunjung bertemu Rangga, saya bisa menjadi lebih bijak dengan tidak mencemburui Cinta lagi. Eh salah, maksud saya, dengan menemukan hal-hal indah berhari raya yang hanya bisa ditemui di Amerika.

Pertama. Tak perlu risau memikirkan pulang kampung.

22 jam penerbangan, ditambah harga tiket yang musti pake dolar, dan duit beasiswa yang pas-pasan (buat dipake keliling Amerika), tidak memungkinkan untuk mudik ke kampung halaman. Jadi, saya atas nama (pribadi) mahasiswa Amerika, tak perlu terjebak macet di sepanjang Pantura dan menambah arus kendaraan. Pemerintah harusnya mengucapkan terima kasih kepada saya.

Kedua. Tak perlu berencana memperpanjang cuti kerja atau kuliah.

Kalau di Indonesia, beberapa bulan sebelum Lebaran sudah mulai menghitung-hitung berapa hari libur, berapa hari mudik, berapa hari bisa memperpanjang libur, jurus apa buat merayu atasan agar bisa masuk terlambat beberapa hari, alasan apa yang kira-kira masuk akal, meski tetap kurang kreatif dan itu-itu lagi.

Di sini beda. Nggak usah risau, karena nggak ada libur sama sekali. Bisa minta izin sih, pasti dikasih. Sehari.

Ketiga. Bersih-bersih dan menata Rumah.

Alhamdulillah. Di sini cuma punya satu kamar kecil. Teman-teman mahasiswa yang lain juga palingan cuma punya apartemen mini gitu. Jadi lebaran nggak lebaran ya gitu-gitu juga. Terbayang kalau di Indonesia. Saya biasa diomelin sampai kaca jendela bersih mengkilap. Demikian hikmah anak saleh di negeri rantau.

Keempat. Nggak ada pengeluaran tambahan untuk baju baru. Mukena baru. Sandal dan sepatu baru. Cukup memiliki hati yang baru. Luar biasa.

Kelima. Masak.

Ini nih, yang saya doyan. Satu-satunya yang bisa menandingi pesona Rangga. Masakan Indonesia. Tapi saya senang makannya. Tidak masaknya. Dan itu kebahagiaan berikutnya di Amerika.

Nggak perlu berdesakan di pasar yang membludak sejak beberapa hari menjelang Lebaran. Nggak usah nyusun menu ini itu. Nggak perlu pula menghabiskan waktu berjam-jam di dapur demi menikmati hidangan Lebaran. Cukup dolan ke rumah teman Indonesia yang berbaik hati open house teruntuk mahkluk pencinta ketupat dan rendang tapi malas masak seperti saya. Kelar. Namanya silahturahmi.

Keenam. Terhindar dari bahaya laten komunis. Eh salah: bahaya kolesterol.

Ini beneran, lho. Coba hitung berapa banyak kolesterol yang merasuki tubuh selama Lebaran di Indonesia? Berapa kental gumpalan santan? Lebih mencekam dari kenangan mantan.

Di sini, nggak usah khawatir. Nggak banyak rumah yang bisa disambangi. Palingan yang open house hanya segelintir orang-orang yang keluhurannya setaraf dewa-dewi. Selebihnya kayak sayalah. Bergentayangan nyari makanan gratis.

Udah gitu, jarak satu rumah ke rumah lain ya jauh. Harus naik bus, naik train, naik path, naik subway, jalan kaki, lari-lari kecil. Ya, namanya juga usaha. Dan meskipun kami sowan-nya ke New York dan sekitar, mohon jangan samakan dengan si anu, ya. Tidak pernah itu, kami minta antar-jemput dari KJRI New York. Tapi mungkin lain kali bisa dicobatanyakan ya. Siapa tahu. Namanya juga usaha.

Ketujuh. Terhindar dari melewatkan salat Ied.

Di sini, sholat Ied-nya ada 2 atau 3 shift, tergantung kapasitas masjid yang digunakan. Jadi, ya, kalau telat di shift pertama, masih bisa sholat di shift berikutnya. Nggak perlu menunggu ratusan purnama, eh Syawal berikutnya.

Kedelapan dan yang paling penting.

Buat kamu-kamu yang jomblo garis keras lagi melankolis bin sensitif, lebaran di Amerika benar-benar akan menjadi surga, karena nggak bakalan ada yang nanyain kapan nikah. Kecuali kamu salatnya bareng teman-teman Indonesia terus sungkem dan berburu opor ayamnya (pasti) ke rumah orang Indonesia juga. Niscaya tak ada yang bisa menyelamatkanmu dari neraka kapan nikah.

Kesembilan. Sekian. Salam buat Rangga, eh buat keluarga dan semua saudara di Indonesia.

West St, New York, 8 Juli 2016

Exit mobile version