Dari NU Cabang Yahudi sampai NU Cabang Nasrani

MOJOK.COK.H. Said Aqil Siradj sambut Kapolri dengan celetukan cukup kontroversial. “NU Cabang Nasrani,” begitu kata Ketum PBNU ini.

Sekira lima tahunan lalu, di distrik Dimona, Israel Selatan, tepatnya di Ben Gurion Park, saya berdiskusi panjang lebar dengan empat orang kawan dari Isreal. Dua orang kawan dari Uni Emirat, dua dari Rusia, dan satu dari Mesir.

Waktu itu, kami bicara tentang Dead Sea Schroll, The Old Testament berumur 2000-an tahun yang ditemukan di Laut Mati sepanjang tahun 1947-1954-1956. Berbahasa Ibrani.

Sebagian mengatakan Torah versi Hebrew, atau perjanjian lama asli. Salah satu kawan yang lebih senior, seorang Yahudi, setelah diskusi, lalu menyebut saya sebagai “The Real Jews”. Kasarnya, saya dikatakan lebih Yahudi dari mereka sendiri. Kami ngakak mendengar itu.

Kawan saya yang Yahudi itu sangat tahu kalau saya orang  Indonesia (ya sulit membayangkan saya Yahudi toh?), salat sebagaimana Nabi Besar Muhammad Saw mengajarkan salat, ngajinya juga tetap Al-Quran.

Jadi literally and sunstantially mereka tahu bahwa saya muslim. Bahkan di mata mereka saya muslim taat. Setidaknya mereka melihat saya menjalankan ibadah sebagaimana orang muslim pada umumnya.

Tapi mereka juga tahu saya mengimani kitab-kitab lainnya. Saya juga mengimani kenabian nabi-nabi lainnya sebagaimana perintah agama saya, termasuk nabi-nabi mereka. Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Sulaiman, Nabi Musa.

Di dalam Al-Quran cerita nabi-nabi lainnya itu ada, di Torah juga cukup detail diceritakan. Meski begitu, saya sering menganjurkan kawan-kawan tersebut untuk membaca juga Al-Quran, sebagai pengetahuan.

Jawabannya beraneka ragam. Yang paling tidak bisa saya lupakan adalah ketika salah satu dari kawan saya yang Yahudi mengatakan kurang-lebih begini, “Boro-boro baca Al-Quran, baca Torah aja jarang.”

Saya punya kebiasaan mengajak ini karena saya juga membaca Torah (Taurat) untuk pengetahuan, juga membuka-buka Gospel untuk pengetahuan.

Jadi ketika saya berdiskusi dengan teman-teman ini  kami sempat berdiskusi Al Kitab. Mengarahkannya langsung ke kondisi kontemporer, terutama soal international affair, ekonomi politik internasional, sistem moneter internasional, peta politik dunia,  dan pertahanan.

Dari yang berat, semisal penjajahan oleh mata uang dolar, penjajahan oleh kepalsuan uang kertas tanpa nilai intriksik,sampai kadang-kadang sampai ke Djajal, Anti-Christ, atau Mesiah. Jadi memang acap kali eskatologis ujungnya, dan seterusnya. Tapi tidak dalam diskusi serius.

Jadi saat dibilang “the real jews” saya tertawa saja. Karena kami paham bahwa kalimat itu tidak serta-merta langsung meyahudikan saya. So it was just a piece of cake.

Bahkan kalau sedang becanda banget, saya pernah bilang ke kawan-kawan dari sana, “Si kepala batu atau keras kepala.” Yes they are. Kamu tak perlu baca baca Torah untuk paham betapa keras kepalanya kaum Bani Israil itu. Hampir semua nabi lahir di sana, tapi yang iman nggak semuanya juga. Bahkan, yang semestinya jadi mesiah bagi mereka aja akhirnya

Tentu nggak ada yang marah dengan candaan demikian. Kami justru ngakak, karena tidak ada yang diambil hati.

Pemandangan yang sama, saya pikir juga tampak dalam perkataan Ketum PBNU, K.H. Said Aqil Siradj, soal “NU Cabang Nasrani” dalam rangka guyon kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo. Kalau cara pandangmu tidak dalam kerangka gojekan ala Nadliyin ya sudah wajar kamu akan cepat naik darah dan marah-marah.

Satu hal yang pasti, dalam suasana yang rileks dan bersahabat seperti itu, ucapan semacam itu jelas bukan bermaksud mengislamisasi sang Kapolri biar jadi muslim atau mengamandemen Islam seolah-olah punya cabang Nasrani. Patut diyakini ucapan itu adalah upaya untuk membesarkan jiwa Kapolri agar tak gentar untuk ngurusin juga ketertiban umat mayoritas di Indonesia.

Terlebih lagi, ucapan itu menggunakan diksi dan adigium untuk membangun jembatan kedekatan dengan maksud ingin memperlihatkan kepada publik nasional bahwa dalam urusan bernegara, dalam urusan penegakan ketertiban umum, batas-batas identitas agama semestinya dikesampingkan. Ini tugas negara kok.

Perkara diksi yang digunakan tidak bisa diterima semua kalangan. Ya sudah, tidak perlu dipaksakan. NU dibilang punya cabang Nasrani, banyak yang kebakaran jenggot. Mengait-kaitkan dengan “bahaya Islam Nusantara”, dikaitkan dengan liberalisasi atau sekulerisme, ya tidak apa-apa.

Padahal ya, memang sejak kapan NU disebut sebagai agama? Kok kalau ada kata NU-nya jadi tak boleh berdekatan dengan penganut agama yang lain? Secara bahasa saja, NU itu kan Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama. Sedangkan ulama di sini kan secara bahasa artinya orang-orang yang berilmu.

Jadi meski asosiasinya Islam, NU sendiri tidak bisa disetarakan sebagai institusi agama. Dia bersifat netral, meski secara identitas pengikutnya merupakan orang-orang beragama Islam. Beda perkara kalau disebutnya “Islam cabang Nasrani”, lah itu bisa dimaklumi kalau sampai ada yang marah betulan.

Meski begitu, saya bisa kasih saran mudah untuk memahami gaya komunikasi NU. Salah satunya adalah dengan mendengarkan celetukan-celetukan Cak Nun di depan jamaah maiyah.

Kalau kamu tak mampu tertawa di bagian-bagian yang membuat para jamaah maiyah tertawa, maka selain kamu perlu banyak piknik kamu jelas bakal gampang marah dengan celetukan selevel gojek “NU cabang Nasrani”.

Dan ketika sudah tahu seperti itu, ya tak perlu memaksakan diri untuk selalu mengomentari setiap gojekan yang ada di tubuh NU. Karena bisa-bisa kamu akan selalu marah kalau mendengar semua bercandaan di kalangan teman-teman NU—yang tentu nggak sebatas cuma soal “NU cabang Nasrani”.

Kecuali satu hal sih, kamu emang sedari awal pengin cari-cari hal yang bikin tersinggung. Wabilkhusus, tersinggung sama apapun yang ada kaitannya dengan NU. Ya tidak apa-apa. Karena mungkin kayak begitu emang dasarnya udah jadi hobi bagimu.

Semoga lancar dan sukses ya untuk selalu mencari cara agar bisa terus tersinggung dari celetukan orang-orang NU.

BACA JUGA Mengapa NU Lucu dan Muhammadiyah Tidak dan tulisan Ronny P. Sasmita lainnya. 

Exit mobile version