MOJOK.CO – Usai body shaming, lahir varian baru dari aktivitas bullying. Lagi curhat malah dikata-katain sampai rata. Tuh, mampus kau dikoyak-koyak curhat shaming.
“Nggak usah baperan. Halah, masalah kecil kayak gitu aja.”
Belakangan ini saya sering baca komentar begituan dalam komentar curhatan netijen. Istilah yang sering dipakai untuk nyebut fenomena beginian sih curhat shaming. Yah, sebut saja genus lain dari body shaming gitu deh.
Dalam dunia siber, biasanya yang suka curhat online kayak gitu ya perempuan. Sedangkan yang suka ngasih nasihat sambil ngatain kayak contoh di atas juga perempuan. Tentu dengan standar permasalahan sendiri yang dipaksakan masuk ke orang lain.
Seolah kalau dia udah selesai dengan masalah itu, semua perempuan di dunia harus udah selesai juga dan B aja alias nggak boleh baperan atawa emosional perihal itu.
Di tahun 2019 ini masih banyak lho perempuan yang nggak bisa mendapatkan akses pendidikan, baik level dasar atau lanjutan. Jadi jangankan mau galau milih Stanford atau Harvard macam Mbak Maudy Ayunda, mereka ini mau sekolah aja nggak boleh. Alasannya macam-macam. Mulai dari stereotip sosial perempuan nggak perlu pendidikan sampai yang pakai larangan berbau agama (eh, agama kok bau?).
Perempuan yang bisa bersekolah sampai Ph.D baiknya nggak lantas pantas di-curhat shaming gitu. Terus meremehkan curhatan perempuan yang masih ngomongin pentingnya kuliah daripada kebelet nikah, misalnya. Karena bagi mereka masalah itu memang belum selesai.
Apalagi banyak perempuan yang seolah nggak peduli sama pendidikan kayak gitu karena sengaja “dibentuk” buat nggak peduli, lalu kita malah menghujatnya. Kan sedih. Kita ngatain perempuan nggak berpendidikan kebelet nikah, padahal sebenarnya mereka juga adalah korban pembentukan ketidakpedulian tersistematis (halah opokih).
Syukurlah sebagai ikon perempuan berpendidikan yang nge-hits, Maudy bukannya menutup mata dengan privilege yang dia punya. Bersama yayasannya, dia memberi beasiswa untuk perempuan Indonesia dengan Maudy sendiri sebagai mentor.
Beasiswa mentoring macam ini yang mahal banget, karena seseorang nggak hanya perlu dikasih akses pendidikan tapi gimana bisa membuka peluang pendidikan itu sendiri. Hats off lah sama Mbak M.
Ada juga perempuan yang punya masalah soal ekonomi. Yang dicurhatin melulu soal kerjaan, gaji, kesejahteraan, dkk. Apakah berarti orang-orang ini adalah manusia mata duitan yang cuma ngurusin perkara duniawi dan lalai pada kehidupan akhirat? Yaa kan nggak juga.
Soal akhirat begitu kan invisible, kita hanya bisa melihat dari yang tampak. Bisa jadi ia rajin bekerja biar sedekahnya bisa banyak, bisa berangkatin umroh banyak orang, bisa renovasi masjid se-Indonesia, dsb. Tapi apakah dengan begitu bisa dipastikan ia bekerja untuk akhirat? Kan yaaa nggak tahu juga.
Bagus sih kalau perempuan udah selesai dengan kesejahteraan personalnya sehingga semua kerja maaliyahnya diberikan untuk orang lain. Apalagi karena ia bisa menikmati prinsip; “perempuan itu dimuliakan dengan di rumah aja, yang wajib bekerja adalah lelaki pemimpin keluarga.”
Syukurlah kalau banyak sisters seperti itu, tiada perlu bekerja sebab pemimpinnya melakukan tugas dengan baik. Sayang, nggak semua begitu.
Ada banyak perempuan pekerja yang mesti bangun dini hari, nyiapin sarapan buat anaknya yang masih terlelap, beberes rumah, lalu siap-siap berangkat bakda Subuh. Pulang larut malam ketika anak udah terlelap, beberes rumah lagi, dan bersiap untuk besok, begitu seterusnya.
Dengan ritme hidup macam itu, belum lagi iklim kerja yang nggak semua women-friendly, ketika mereka curhat soal anaknya, ya jangan malah pada curhat shaming: salah sendiri, perempuan kok kerja!
Ya menurut ngana kalau nggak kerja sementara suami tidak ada (atau ada tapi tiada) begitu, bisa hidup dari mana? “Yaudah nikah lagi aja, cari suami yang bener!” kata netijen. Aduh, duh, kalau cari suami bener semudah itu, angka perceraian dan perjombloan ngga bakalan tinggi, Jeung.
Soal beginian, Mamah Dedeh idolaqu menjawab ketika salah satu jamaah pengajian curhat soal kurangnya kedekatan dengan anak karena kerja pagi pulang malam. Blio nggak serta merta juga terus ngatain: siapa suruh Ibu bekerja, tugas perempuan kan ngurus anak?
Dengan bijaknya beliau justru mengembalikan kesadaran Ibu itu untuk muhasabah, alasan bekerja buat apa, dan karena itu udah jadi keputusan kita, bertanggung jawab atasnya adalah kewajiban. Termasuk dengan menjadi lebih sibuk atau lebih lelah atau lebih kreatif mencari waktu bounding dengan anak dibanding ibu lain yang tidak bekerja.
Mamah Dedeh bisa memberi nasihat nonjudgmental begitu ya sebab beliau juga melakoni kerja sebagai perempuan. Tentu dengan alasan yang tidak mendesak dan kemudahan yang jauh lebih baik.
Walau begitu, ketika ada perempuan yang curhat soal serba serbi perempuan pekerja, beliau nggak langsung berceramah soal standar tunggal kemuliaan perempuan, lalu menyuruhnya pulang ke rumah atau cari suami baru. Huvt, saya berharap ada lebih banyak Mamah Dedeh dalam dunia perdaian kita.
Itu baru soal pendidikan dan ekonomi yang dilihat dari sisi mana pun sering dianggap mendesak. Bagaimana dengan perempuan-perempuan yang medan juangnya adalah soal identitas?
Hal simbolik yang sebenarnya transenden tapi sering dianggap nggak penting buat banyak orang. Jangankan mau memahami, mendengar curhatannya saja udah sensi duluan.
Kenapa mau memakai cadar? Kenapa melepas jilbab? Kenapa menyukai sesama perempuan? Hedeh.
Padahal bisa jadi ada ruang solusi bersama kalau kita mau mendengar dulu sebelum ngatain. Apalagi karena masalah identitas ini sering dipolitisasi untuk kepentingan kelompok tertentu.
Kalau mau dibikin daftar, masalah yang “perempuan banget” memang banyak sekali. Makanya dalam Islam bahkan perempuan dikasih “Surat” khusus sama Tuhan.
Sedihnya, pada setiap permasalahan yang mengudara sebagai curhatan itu, perempuan selalu menjadi hakim paling kejam untuk perempuan lain. Sedihnya lagi, our-so-called-activists pun masih bisa terjebak dalam curhat shaming ini. Merasa isu yang diusungnya lebih urgent untuk dibahas demi akselerasi kesetaraan gender, sedangkan masalah perempuan lain udah usang dan nggak usah ditanggapi dengan baper.
Sayangnya kalimat yang terdengar begitu mulia itu sebenarnya nggak lebih dari jebakan ego untuk merasa lebih baik, lebih mulia, lebih penting dari orang lain. Padahal ego trap ini lah yang membidani kaum lelaki melahirkan patriarki tidak berkeadilan melalui perasaan lebih hebat dari perempuan.
Sementara kata Tuhan, semua manusia, laki-laki maupun perempuan, adalah sama di hadapan-Nya.