Cerita Tiga Orang Tuli dan Seorang Sufi Bisu

MOJOK.CO Cerita tentang tiga orang tuli yang salah paham tengah bertengkar, dan mereka meminta pertolongan seorang sufi yang ternyata bisu.

Suatu ketika hidup seorang penggembala miskin di sebuah desa kecil. Tiap hari ia membawa domba-domba gembalaannya di sebuah padang rumput berbukit yang tak jauh dari rumahnya. Seorang gembala ini tuli sejak muda. Meskipun begitu, ia tak lagi menyesali pendengarannya yang rusak itu.

Pada suatu hari, saat menggembalakan domba-dombanya, istri si penggembala lupa mengirim bungkusan makanan. Makanan juga tidak diantar oleh anak si gembala hingga matahari terus bergerak tepat berada di atas kepala.

“Aku akan pulang mengambilnya,” pikir si penggembala.

Ia tiba-tiba melihat seseorang tak seberapa jauh sedang memotong rumput di pinggir bukit. Ia menghampirinya dan berkata,

“Saudaraku, tolong jaga domba-domba ini dan awasi jangan sampai ada yang berkeliaran hingga tersesat. Karena istriku ceroboh lupa mengirim makanan untukku, aku harus pulang mengambil makanan. Aku akan kembali segera.”

Pemotong rumput tersebut ternyata juga tuli. Ia tak mendengar apa pun yang penggembala itu katakan. Ia juga tak paham maksudnya, tapi ia berusaha menerka. Ia menjawab,

“Mengapa aku harus memberimu rumput yang kupotong sendiri untuk hewan piaraanku? Aku di rumah punya seekor sapi dan dua ekor kambing. Aku pergi jauh-jauh ke sini untuk mencari makan untuk hewan-hewanku itu. Sudahlah, menjauhlah dariku. Aku tidak mau berurusan dengan orang sepertimu yang ingin mengambil milikku yang sedikit ini.” Ia berkata begitu sembari menggerakkan tangannya.

Penggembala yang tidak mendengar apa pun yang dikatakan perumput menjawab,

“Oh, terima kasih teman atas kesediaanmu. Aku akan sesegera mungkin kembali. Semoga keselamatan dan berkah selalu menyertaimu. Engkau telah benar-benar meringankan tugasku.”

Ia segera berlari menuju rumah. Setelah tiba, ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat para istri tetangga. Ia mengambil bungkusan makanan dan berlari kembali ke bukit. Dengan sigap ia segera menghitung domba-dombanya dengan cermat. Semuanya masih lengkap. Dalam hati ia bergumam,

“Sungguh mulia pribadi pemotong rumput itu. Ia benar-benar bisa dipercaya. Ia menjaga domba-dombaku dan tidak mengharap ucapan terima kasih dariku. Sungguh luar biasa. Aku akan memberi domba pincang ini. Toh, domba pincang ini memang awalnya mau kusembelih. Biar domba ini untuknya saja sebagai ungkapan terima kasihku. Ini akan menjadi makanan yang lezat untuk keluarganya.”

Sambil memanggul domba pincang di atas bahunya, Ia berlari mendekati pemotong rumput dan berteriak, “Hai, saudaraku, ini hadiah dariku karena engkau telah menjaga domba-dombaku. Istriku ternyata sedang sakit, makanya ia lupa mengirim. Terimalah domba ini untuk makan malam nanti.” Ia mengatakan itu sembari menunjukkan domba pincangnya.

“Dasar penggembala busuk! Aku tak melihat apa pun yang terjadi selama kamu pergi. Bagaimana kau menyuruh aku bertanggung jawab atas kaki pincang dombamu? Aku sibuk memotong rumput dan sama sekali tak tahu terkait kejadian yang menimpa kaki dombamu. Pergilah! Kalau kau mendekat, aku akan memukulmu!” jawab pemotong rumput dengan raut muka marah.

Sang penggembala heran kenapa pemotong rumput marah. Ia lalu berusaha memanggil seorang musafir penunggang kuda bagus yang kebetulan sedang melintas.

“Tolong katakan padaku apa yang diucapkan pemotong rumput ini! Aku ini tuli. Aku tidak mengerti kenapa ia menolak pemberianku berupa seekor domba ini dengan ekspresi kekesalan seperti tadi.”

Si penggembala dan pemotong rumput mulai sama-sama meneriaki si penunggang kuda. Penunggang kuda kemudian turun dari kudanya dan menghampiri keduanya. Sang musafir ini ternyata seorang pencuri kuda. Ia juga tuli seperti penggembala kuda maupun pemotong rumput. Ia tak mendengar apa pun yang dikatakan keduanya. Ia sebenarnya sedang tersesat dan bermaksud bertanya kepada mereka ia sedang berada di mana. Tapi, melihat sikap mengancam keduanya, ia berkata,

“Benar, benar, temanku! Aku memang barusan mencuri kuda. Aku mengakui. Tapi, aku tak tahu kalau ini milik kalian. Maafkan aku karena aku mudah tergoda dan tak berpikir panjang.”

“Aku tidak tahu apa-apa terhadap pincangnya domba ini!” teriak pemotong rumput.

“Suruh ia katakan padaku, mengapa ia menolak pemberianku!” desak si penggembala. “Aku hanya ingin memberikannya hadiah sebagai ucapan terima kasih!”

“Aku mengaku mengambil kuda,” ujar si pencuri, “tapi aku tuli dan aku tidak tahu siapa di antara kalian berdua pemilik kuda ini.”

Pada saat itu di kejauhan tampak seorang sufi tua sedang berjalan mendekat. Pemotong rumput segera menarik jubah sang darwis dan berkata,

“Tuan darwis yang mulia, aku orang tuli yang tak mengerti ujung pangkal apa yang dibicarakan dua orang ini. Aku memohon kebijaksanaan Anda, adili dan jelaskan tentang apa yang mereka teriakkan masing-masing.”

Namun, si darwis yang ternyata bisu itu tidak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya memandangi dengan penuh selidik ketiga orang tuli yang sekarang mulai menghentikan teriakan masing-masing. Ia memandangi ketiganya dengan tatapan tajam. Satu per satu. Hingga mereka mulai muncul rasa tak enak. Mata hitam si darwis menusuk tajam ke mata mereka bertiga bergantian, seolah berusaha keras mencari petunjuk kebenaran dari situasi ini.

Masing-masing orang tuli itu mulai takut dengan sorot mata si darwis, kalau-kalau ia akan menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri melompat ke punggung kudanya dan segera memacu lari kudanya kencang-kencang. Begitu pula dengan si penggembala segera menggiring gembalaannya menjauh ke sebelah bukit. Si pemotong rumput yang dari tadi tidak berani menatap mata si darwis segera mengemasi hasil sabitan rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya di bahu lalu berjalan menuruni bukit.

Sang darwis melanjutkan perjalanannya. Ia berpikir dalam hati, kadang-kadang kata-kata tak berfungsi apa-apa dan tidak terlalu berguna. Mungkin lebih baik orang tidak perlu banyak mengucapkannya!

Disadur dan dinukil dari The Way of Sufi karangan Idries Shah, ISF Publishing, London, 2015, hlm. 163-165.

Baca juga kisah sebelumnya: Mengingkari Allah lewat Sepotong Roti dan artikel kolom Ramadan “Hikayat” lainnya.

Exit mobile version