Cerita Pelipur Lara untuk Para Haters Malaysia

ESAI malaysia vs indonesia mojok

ESAI malaysia vs indonesia mojok

Beberapa kasus di ajang Sea Games bikin kita tambah gondok ke Malaysia. Mulai desainer buku panduan yang membalik bendera (nggak pernah baca halaman-dalam Atlas Dunia dan RPUL, rupanya), hingga indikasi kecurangan ini-itu.

Lalu di media sebelah, Dek Tsamara Amany tampil gagah menggantikan Pak Mario. “Mari kita ganyang Malaysia dengan membuktikan di lapangan bahwa kita adalah bangsa pemenang!”

Berhasil? Lumayanlah. Ada Lindswell di wushu, ada Wisnu di panahan, ada Indra di kolam renang. Semuanya menendang pantat atlet Malaysia. Kampretnya, di semifinal sepak bola malam tadi yang kita tonton rame-rame itu, kok ya tim kita malah tumbang. Aduh.

Ya sudah. Dalam hal ini motivasi dari Dek Tsamara sedang nggak ketemu nasib. Dan karena kami berdua berbagi tugas, maka sekarang bukan lagi saatnya motivasi, melainkan giliran sesi hiburan pengobat luka hati.

Nah, untuk ubat kesihatan hati tuan dan puan, mari pertama-tama kita ungkit video viral yang menunjukkan betapa kampungannya mereka, saat para suporternya dengan kompak bikin yel “Singapore itu anjiiiing!” Norak sekali. Lebih norak lagi waktu ketahuan bahwa nada yel-yel gituan ditengarai cuma copas theme song klub liga Indonesia! Udah cuma misuh, ternyata diam-diam Malaysia menjadikan Indonesia sebagai benchmark mereka. Jos, to?

Dari situ saya ingin menariknya ke cerita lain. Begini. Suatu kali di tahun 2012, saya main ke Kuala Lumpur. Sebagai tukang jalan-jalan dengan isi dompet mengharukan, saya menginap di kawasan Pudu Raya. Ya karena banyak losmen backpacker di sana.

Malamnya, nongkronglah saya di pinggir jalan. Betapa ingin saya menikmati gelap yang merambat, diselingi suara dag-deg-dog tukang cap cay yang masih jualan, ditemani jajanan lok-lok alias celup-celupan macam cimol yang lagi ngehits, sembari memandangi kereta monorail yang seliwar-seliwer melintasi jembatan.

Dalam kesyahduan sejenis itu, alangkah sempurna rasanya andai ada sayup-sayup suara Saleem Iklim di kejauhan. “Engkau bagai air yang jernih … di dalam bekas yang berdebu ….” (Mas, umurnya berapa Mas?). Atau Amy Search. Atau minimal ya Dek Nurhaliza. Tapi tiba-tiba ….

“Janganlah lagi kau mengingatku kembali… Aku bukanlah untukmu….”

Wadepak! Rossa! Itu radio di warung milo panas itu malah nyetel Rossa! Kuala Lumpur macam apa ini? Untunglah Afgan nggak ikut-ikutan nongol. Tapi yang barusan tadi harus membawa obrolan ini ke perbincangan yang lebih besar.

Begini. Secara teoritis, Malaysia telah jauh meninggalkan kita. Di tangan Dr. M pada masanya, negeri itu memang melesat begitu cepat.

Dalam dunia pendidikan, jamak kita dengar ilustrasi klise: di era Soekarno, para pelajar Malaysia berbondong-bondong belajar ke Indonesia. Tapi mulai Orde Baru hingga sekarang, yang terjadi justru sebaliknya. Pemuda-pemuda kitalah yang pada sekolah ke sana.

Instrumen-instrumen penilaian lain pun bermunculan. Jumlah doktor Malaysia yang lebih banyak dibanding Indonesia, sebagai contoh. Atau indeks kualitatif fasilitas-fasilitas pendidikan. Kesemuanya itu kian menimbulkan kesan keterpurukan kita di depan Negeri Pakcik Najib.

Namun, di samping semua deretan angka itu, tahukah Anda bagaimana dunia kreatif mereka?

Faktanya, di balik ketidaksukaan mereka kepada kita, orang Malaysia hobi membebek tren-tren jagat kreatif Indonesia. Dan itu nggak cuma perkara yel campur misuh. Betapa larisnya lagu-lagu Sheila on 7 di sana, misalnya. Juga lagu-lagu ngepop Indonesia lainnya, dari waktu ke waktu.

Iya, saya tahu, Upin Ipin memang hebat. Tapi anggaplah satu karya itu sebagai anomali saja, agar hati kita lebih tenang. Selebihnya, cobalah tengok dunia buku-bukuan.

Sekitar tahun 2009 awal, saya dapat kesempatan ngobrol banyak sama orang dari PTS Milenia, salah satu penerbit yang lumayan mapan di Malaysia. Darinya saya jadi tahu, bahwa dalam perkara buku pun ternyata Malaysia bikin pilu.

“Pemerintah kami keras dan otoriter. Dengan karakter demikian, ekonomi memang berhasil ditata baik. Namun di saat yang sama, dunia pemikiran, diskusi, dan hal-hal yang bersifat ekspresi, jadi sulit berkembang,” kata si dia yang ah saya lupa namanya.

Maka, penerbit-penerbit dari Malaysia pun rutin bersafari ke Jakarta dan Jogja, untuk belanja hak penerjemahan dan penerbitan buku-buku kita. Mereka mengakui para penulis Indonesia jauh lebih kreatif ketimbang penulis-penulis mereka. Dan ujung-ujungnya, buku pop apa yang laris di Indonesia kemungkinan besar akan laris pula di Malaysia.

Selebihnya, silakan tanya Pak Edi Mulyono, juragan buku yang gudang kitabnya juga sering diketok sama penerbit Malaysia. Atau Irwan Bajang,bos Indie Book Corner yang pernah menggelar buku-buku garapannya di satu festival di KL.

Tapi yang jelas, secara sekilas saya bisa membandingkan bahwa buku-buku kita dan buku Malaysia tuh memang njomplang banget. Tentang novel sajalah, cemilan industri buku yang paling banyak sharing kuenya.

Setahun selepas peristiwa Rossa di Pudu Raya, saya mampir ke sebuah toko buku besar di Malaka. Di sana, yang saya temukan adalah novel-novel dengan judul sebangsa Saya Rindukan Awak dan tema-tema senada.

Dua tahun kemudian, saya terlempar ke Johor Bahru. Dan di toko buku terdekat, pemandangan yang saya jumpai belum beda sama sekali dengan dua tahun sebelumnya. Novel-novel Malaysia masiiiih saja dari jenis yang sama.

Saya masih menyimpan foto novel-novel itu di hardisk. Simak judul-judulnya: Dia Cinta yang Kucari (Rehan Makhtar); Dicintai atau Mencintai (Myra Ameer); Saat Hadirnya Cinta Dia (Zura Asyfar); Memilihmu kerana Dia (Myra Ameer); Ombak Duka (Areth Ramlan); Ributnya Cinta (Phidot); Izinkan Kumiliki Hatimu (Myra Ameer); Sebenarnya Saya Isteri Dia! (Zura Asyfar); Menantu daripada Mama (Mya Aryssa); Bukan Menantu Pilihan (Aira Aliff); Biar Mereka Cemburu (A. Darwisy); Hanya Dia di Hatiku (Ain Marissa); Rindu Bertaut Kasih (Azieana), Gila-gila Cinta (Izza Aripin)….

Bahkan ada pula dua novel berjudul ganjil: Oh Mama Tiriku (Herna Diana), dan Istri untuk Disewa (Syamnuriezmil). Judul-judul yang mengingatkan saya akan konten situs-situs nganu.

Mungkin kalian mengira bahwa judul-judul di atas tadi terasa sangat masyaallah semata karena perbedaan diksi antara bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. O, nggak. Saya toh sempat membaca-baca sinopsis-sinopsisnya di sampul belakang. Dan memang selera mereka adalah kisah cinta menye-menye, topik-topik yang sudah tuntas dijalani dunia sastra kita pada The Era of Mira W.

Bandingkan dengan buku-buku kita di zaman yang sama. Meski sesama kisah cinta, tapi jelas beda jauh kelasnya dengan, misalnya, novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu-nya Puthut EA (Bos, jangan lupa bonusnya Bos). Novel Indonesia di zaman ini yang bisa disamakan dengan novel-novel Malaysia tadi palingan cuma Cinta Tak Terlerai dan Cowok di Seberang Jendela, karya seseorang berkumis tipis nun di sana.

Jadi, meski tadi malam kita menelan ludah yang bercampur air mata, hiburlah hati dengan menyadari bahwa dunia perbukuan dan dunia kreatif kita secara keseluruhan jauh lebih keren dibanding si tetangga.

Dunia kreatif itu sangat terkait dengan iklim politik. Asal tahu, rezim di Malaysia sekarang masih otoriter. Soal kebebasan berekspresi, Indonesia jauh lebih juara. Iya saya paham, kita masih punya PR besar semisal UU IITE yang membuka peluang munculnya aneka pembungkaman suara jelata. Tapi kondisi di Malaysia ratusan kali lipat lebih ngehek kalau cuma dibandingkan dengan UU IITE.

Di Perth sini saya bersahabat dengan Uncle David Ching, orang Tionghoa-Malaysia, rekan saya sesama sopir di gudang. Ia terus mengeluhkan situasi di negaranya. Dia pun mengamati Indonesia, paham dinamika politik Indonesia, namun tetap menyatakan bahwa iklim politik Indonesia jauh lebih baik.

Saya juga kenal dengan Ustadz AK (inisial saja ya, saya nggak enak kalau dikira mengkapitalisasi beliau haha), guru ngaji kami di sini. Cikgu Ustadz berkali-kali bilang bahwa Malaysia semakin parah, dan dari situ beliau memutuskan tak kembali lagi ke negerinya. Lebih wow lagi ketika Cikgu bilang,

“Dulu, pemuda-pemuda Malaysia selalu mengeluh, ‘Kapan kita bisa macam Singapura?’. Tapi kalimat itu sekarang sudah berlalu. Mereka sudah ramai-ramai bertanya, ‘Kapan kita bisa seperti Indonesia?’”

Iya, iya. Kalimat Ustadz AK tadi sudah pernah saya posting di Facebook, juga saya tulis di media tetangga. Tapi mengucapkannya kembali, menuliskannya kembali, mendengarkannya kembali, rasanya selalu nikmat tiada terkira. Hahaha.

Toh misi tulisan ini memang untuk menghibur Bapak-Ibu semua. Dan jika itu semua cukup mengurangi luka di hati Anda, tugas saya sebagai pria penghibur sudah paripurna. Alhamdulillaah.

Exit mobile version