Cara Memahami Kivlan Zen si Pemburu Hantu PKI dengan Baik

MOJOK.CO – Tulang pemahaman dan pengalaman Kivlan Zen terhadap PKI itu nggak bisa “diluruskan” karena memang nggak pernah merasa bengkok.

Putra sulung saya yang menonton program Mata Najwa edisi “Hantu” di sebuah klinik persalinan Mejing, Gamping, Sleman, DIY, memberikan penilaian subjektifnya yang ringkas, padat, dan nyelekit melihat tingkah pola Kivlan Zen.

Saya kutipkan secara verbatim: “Orang ini, kok, nggak bisa diajak ngobrol.”

Hati saya sebetulnya tergetar mendengar anak saya menyebut Kivlan Zen sebagai “orang ini”. Sebab, Kivlan Zen bukan outsider dalam hidup harakah saya. Kivlan Zen itu insider.

Kivlan itu panutan dan kebanggaan saya sebagai kader Pelajar Islam Indonesia (PII). Saya bukan hanya tak bisa menyebutnya “orang itu”, memanggil namanya secara lempang saja saya segan.

Panggilan saya adalah Kanda Kiv. Atau, Kanda Jenderal. Pangkat terakhirnya adalah Mayor Jenderal.

Bayangkan, saat PII—juga HMI (Kanda Kiv juga tercatat sebagai Sekretaris Umum HMI Cabang Medan, 1965-1968)—diburu secara official seperti hantu palu arit setelah menolak tegas asas tunggal ’84, ada seorang kader dari Medan yang karier kemiliterannya moncer.

Apalagi, sosok yang menimba ilmu fisik dan “strategi militer dasar” dari Brigade PII ini bisa “bersahabat” dengan darah muda yang memiliki akses ke “Cendana”, Mas Prab. Bersama Prabowo Subianto, Kanda Kiv tumbuh menjadi “naga hijau”—istilah Gus Dur.

Naga hijau berarti kelompok berpengaruh baru dalam tubuh militer (hijau). Bisa berarti pula “hijau” di situ adalah “Islam”. Sebab, relasi antara Kanda Kiv, Prabowo Subianto, naik hajinya Pak Harto pada 1991, serta pasangnya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berada dalam satu paket kurun sejarah.

Jadi, prestasi tertinggi ICMI dalam persada sejarah di enam bulan pertama eksisnya adalah meng-haji-kan Pak Harto. Sosok penguasa yang bersama ABRI sepanjang tahun 80-an menyapu bersih kelompok Islam penentang asas tunggal tiba-tiba naik haji.

Persis di titik ini, ada Kanda Kiv, kader dari sebuah organisasi pelajar yang keukeuh menjadi penentang asas tunggal, tumbuh dalam kemesraan “Islam-Soeharto-Militer”.

Kemesraan itu membikin internal PII goyah. Tetap die hard hidup menentang atau kompromi dengan catatan. Hingga 1998, kegaduhan itu tetap berlangsung.

Kubu dari Jakarta atau daerah-daerah yang dekat dengan pusat Republik memilih melunak dengan strategi yang kemudian mereka sebut “kiat-kiat berorganisasi seperti kulit bawang”.

Dari sini mulai tampak terang posisi Kanda Kiv. Dalam aliran ideologinya, mengalir garis keras Masyumi (PII dan HMI adalah anak ruhani Masyumi) dan sekaligus ABRI. PII, HMI, ABRI adalah tiga nama yang memiliki kesamaan otentik: penentang PKI garis keras.

Kalau kamu membaca koran Masyumi sepanjang Pemilu 1955 (Abadi) dan koran PKI (Harian Rakjat), tak ada hari tanpa saling ejek. Bukan saja saling ejek dalam batas-batas omongan, tapi sesekali saling kirim molotov.

Pendek kata, penentangan Masyumi atas PKI seperti kewajiban salat lima waktu. Nggak putus-putus. Bahkan, ditambah dengan salat sunat lainnya. Pendeknya, total. Dari jam ke jam. Mirip cebong-kampret kiwari.

Tatkala Masyumi dibubarkan Sukarno di awal tahun ’60-an, PKI menyambutnya dengan gembira seakan baru saja pulang membawa kemenangan dari Revolusi 17 Oktober.

Jika Masyumi menentang komunis dalam batas-batas demokrasi yang sehat, ABRI lebih sublim lagi. Organisasi pemanggul senjata di mana Kanda Kiv menemukan jalan sebagai satria pembela negara ini melakukan aksi pembasmian atas orang-orang yang, baik secara sah dan meyakinkan maupun sekadar bisik-bisik, memamah ideologi komunisme dan sukarnoisme.

Saya nggak usah membeberkan secara detail “musim menjagal” yang dikoordinatori ABRI itu. Baca saja buku Geoffrey B. Robinson terbitan Komunitas Bambu, Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966.

Kanda Kiv merasa bersalah? Nggak.

Semua usaha itu justru dimaksudkannya—dengarkan baik-baik ini—sebagai bagian dari sejarah, pinjam judul buku Kanda Kiv yang terbit tahun 2004, Konflik dan Integrasi Angkatan Darat.

Poin utama buku ini adalah melawan komunisme (baca: hantu) secara kaffah menjadi bagian penting dari sejarah integrasi. Nah, tuh.

Kalau sudah begini, bukan proyek pelurusan yang mesti dilakukan. Kanda Kiv itu tulang tua, Bung dan Nona. Betapa pun, tulang tua nggak bisa “diluruskan” karena memang dia tak pernah merasa tulangnya bengkok.

Lha, dia merasa melakukan sesuatu yang benar. Paling tidak, kebenaran ala Masyumi dan ABRI.

Yang perlu dilakukan barangkali terus-menerus menghadirkan amal-amal baik apa saja yang dilakukan orang komunis Indonesia itu saat mereka masih hidup dan berkegiatan di persada Indonesia.

Makin keras “Kaum Kiv” meng-iblis-kan komunis, mestinya yang merasa bahwa komunis nggak gitu-gitu amat justru lebih keras juga memberitahu amalan-amalan sejarah yang baik seperti apa yang sudah disumbang orang komunis.

Jika di WhatsApp Group dan media sosial si garis penentang menerbitkan dan memviralkan kronik kabar buruk komunis, yang merasa bahwa komunis nggak gitu-gitu amat mestilah dengan tabah dan tawadu mengeluarkan daftar kabar amalan baik orang komunis.

Sebab, mengejek dan menghinakan Kanda Kiv tak bisa melunakkannya. Kanda Kiv itu, sekali lagi, tulang tua dalam sejarah penentangan komunis di Indonesia.

Pada setiap tulang tua, bukan upaya pelurusan yang dibutuhkannya, tapi dipijat ena-ena. Tanya saja paslon Dildo yang ahli urusan pijat, Pak Nurhadi, kalau nggak percaya.

Kalau kamu memaksakan pelurusan, tulang tua itu patah. Siapa juga, sih, mau tulangnya dipatahkan (oleh sejarawan)?

Pastilah bakal dia lawan habis-habisan. Sejarawan tanpa sertifikat macam Bonnie Triyana di layar kaca sudah membuktikan bagaimana “perlawanan habis-habisan” tulang tua itu diselenggarakan.

Dan, Kanda Kiv adalah metamorfosis yang sukses di laboratorium sosial sebagai laskar pemburu hantu palu arit yang keras kepala dan konsisten.

Watak itu pun terus lahir dan tumbuh menjadi apa yang saya sebut sebagai “kaum kiv”. Ciri kaum kiv adalah tak ada kompromi dengan komunisme, hatta itu menjelma dalam bentuk sekadar mainan anak-anak.

Sebagai sikap yang generik, sikap perburuan ala kaum kiv itu tak identik dengan waktu-waktu tertentu. Keliru yang menganggap perburuan hantu hanya gimik pemilu.

Kronik “Festival Larangan” yang saya susun menunjukkan, perburuan palu arit itu berlangsung di banyak waktu di banyak front di luar bulan pemilu.

Itu.

Exit mobile version