Bisnis Pocong di Era Digital

Sebetulnya pertemuan saya dengan Badrun tidak sengaja. Saat sedang di Surabaya, saya ngopi dengan Rohmat, teman SMA yang bekerja di sebuah pabrik biskuit. Dari mulut Rohmat-lah saya tahu soal bisnis pocong. Bisnis yang terdengar aneh bagi saya.

Ketika iseng saya bertanya, apakah bisa menemui pebisnis pocong itu, Rohmat langsung menelepon temannya. Setelah menutup telepon, dia berkata, “Orangnya mau bertemu dengan kamu, dan dia mau ditulis, asal tidak disebut nama dan daerah di mana dia tinggal.”

Tentu saja saya mengiyakan. Benar, keesokan harinya, persis pukul 7 pagi, saya dijemput Rohmat, lalu kami berangkat menuju sebuah kota yang hanya memakan 1,5 jam perjalanan dari kota Surabaya.

Sebut saja namanya: Badrun. Tidak seperti yang saya bayangkan, tidak ada kesan seram sama sekali di wajahnya. Putih. Ramping. Mukanya bersih. Memakai kemeja bermerek, dengan aroma parfum mahal.

Rumahnya pun tidak ada kesan mistisnya sama sekali. Bercat putih. Bertingkat dua. Desainnya modern minimalis. Di garasi rumahnya ada dua mobil: Pajero Sport berkelir putih, dan Honda Jazz yang juga berkelir sama. Tampaknya, Badrun punya selera warna putih. Mungkin hanya itu yang menghubungkan dirinya dengan bisnis anehnya: bisnis pocong.

Badrun mengajak kami sarapan. Jujur saja saya kikuk. Ada banyak hal yang tiba-tiba berseliweran di kepala saya. Jangan-jangan makanan ini ada racunnya. Jangan-jangan makanan ini ada jopa-japu-nya. Jangan-jangan makanan ini dibeli dari uang bisnis anehnya itu. Tapi segala jangan-jangan itu langsung lenyap begitu nasi pecel plus perkedel, empal, dan telor asin, masuk ke mulut saya.

Selesai makan dan sejenak ngobrol, Badrun mempersilakan saya bertanya soal bisnisnya. Saya agak takjub juga ketika saya beritahu bahwa wawancara ini akan saya muat di Mojok, ternyata dia pembaca Mojok. Dia juga kaget ketika yang duduk di depannya adalah Puthut yang Kepala Suku Mojok itu.

“Wah, ketika dikasih tahu Mas Rohmat semalam, saya kira Sampeyan wartawan Jawa Pos atau Tempo. Ternyata dari Mojok.” Wajah laki-laki berusia 45 tahun itu tampak makin ceria.

Badrun kemudian memulai ceritanya. Kira-kira 10 tahun lalu, di daerahnya marak aksi judi. “Polisi sudah sering menangkap pelaku, tapi ya dilepaskan lagi, namun para penjudi itu gak jera-jera. Berbagai cara dikerahkan. Akhirnya para penjudi itu kepepet, dan mereka melokalisir tempat judinya hanya di dalam pasar. Dan dilakukan hanya ketika malam hari.”

Di situlah polisi dan warga agak kerepotan. Masalahnya, sudah terjadi kerjasama antara penjudi, preman pasar, dan pedagang makanan-minuman di sana.

Kebetulan Kasat Intel kepolisian itu kenal baik dengan Badrun. Teman bermain badminton. Badrun yang kala itu sales makanan termasuk biskuit dari pabrik Rohmat bekerja, iseng memberi ide. Intinya, kenapa tidak dicoba dengan cara lain untuk membuyarkan perjudian di kompleks pasar?

Caranya bagaimana, tanya polisi tersebut. Lalu entah ide dari mana, Badrun bilang: takut-takuti saja dengan pocongan. Si polisi lalu menyeriusi ide Badrun, dan memintanya untuk mengerjakan eksperimen aneh itu.

Badrun yang juga kebetulan ikut kelompok pencak silat di kampungnya, lalu mengumpulkan beberapa temannya. Mereka merancang sandiwara pocong. Satu orang bertugas menjadi pocong, sementara yang lain membekingi jika sampai pocong ditangkap, sementara yang lain bertugas membuat kabar burung di siang harinya.

Operasi dimulai. Ternyata drama pocong itu lebih mudah dari yang diperkirakan. Petugas pocong hanya butuh waktu 3 kali beraksi di sekitar pasar, lalu mulai keesokan harinya kabar burung mulai diembuskan. Tidak sampai seminggu kemudian, para penjudi sudah tidak terlihat di pasar lagi.

“Dari situ saya tahu, bahkan preman dan penjudi pun, banyak yang takut pocong.” ujar Badrun sambil tertawa.

Tidak lama kemudian, seorang kawannya yang diajak bersiasat pocong, memberitahu kalau ada perusahaan peternakan ayam besar yang mau membuka wilayah perternakan, namun terkendala harga tanah yang tinggi. Padahal awalnya, para warga yang mau menjual tanah itu sudah menyepakati harga. Namun menjelang dibeli, ramai-ramai menaikkan harga tanah mereka. Si teman lalu usul, bagaimana kalau drama pocong itu disodorkan sebagai proposal penyelesaian masalah. Drama pocong digelar di lahan yang bermasalah itu.

Badrun menyetujui. Dia yang akhirnya menemui pengusaha ternak ayam itu. Awalnya si pengusaha ragu, tapi akhirnya mereka bersepakat. Jika upaya Badrun dkk berhasil, maka akan diganjar uang 100 juta rupiah. Tapi kalau gagal, hanya diberi semacam uang lelah sebesar 3 juta rupiah.

Lagi-lagi, aksi pocong itu berhasil. Dalam 2 minggu Badrun dkk ‘melepas’ pocong di daerah itu, lalu menyebarkan desas-desus, warga yang semula menaikkan harga tanah mereka, malah terkesan membanting harga. Badrun sukses. Dia dkk-nya mendapatkan uang 100 juta.

“Dari situ saya tahu, bisnis pocong ini punya masa depan yang baik.” Sambil mengatakan itu, lagi-lagi dia tertawa terkekeh, menampakkan barisan giginya yang rapi.

Badrun kemudian mulai ‘memprofesionalkan’ usaha barunya ini. Dia membentuk tim marketing. Tim pocong dan pendukungnya dibuat lebih kuat dengan tingkat keselamatan yang tinggi. Lalu tim kabar burung alias tim desas-desus pun dibikin lebih matang, dengan melibatkan seorang mantan wartawan, dan menggunakan media sosial untuk membuat diseminasi desas-desus. Total tim Badrun ada 15 orang.

Bisnis pocong Badrun mulai mendapatkan banyak klien, terutama yang terkait dengan aksi jual-beli tanah dalam skala yang besar seperti perkebunan, termasuk bisnis tambang, dari mulai tambang pasir sampai tambang batubara.

Badrun pun mematok harga tinggi untuk bisnis menciptakan ketakutan lewat pocong bikin-bikinan ini. “Sekarang harga per paket dengan durasi pocong seminggu, harganya 100an juta. Kalau dua minggu ya 200an juta. Tapi khusus perkebunan besar yang sampai butuh lahan ribuan hektar, tentu waktunya lebih lama, bisa 3 sampai 6 bulan. Per 3 bulannya saya patok harga 1 miliar.” ungkap laki-laki berjam tangan Seven Friday dan ternyata alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogya (dulu IAIN).

Bisnis Badrun sudah bukan hanya di Jawa Timur saja. Hampir semua daerah di Pulau Jawa sudah dijamahnya. Tapi sekarang klien terbesarnya di daerah Kalimantan dan Sumatra. Bahkan beberapa kali, Badrun dapat proyek dari Malaysia.

Ketika saya bertanya berapa proyek rata-rata yang didapat dalam sebulan, Badrun menjawab 3 sampai 4 proyek. “Sebetulnya lebih dari 4 proyek pun bisa. Tapi saya hanya membatasi 4 saja. Soalnya bisnis ini kan membutuhkan ketelitian, kerja tim, dan tingkat risiko dan stres yang tinggi…”

Kini, ada 40an orang yang bekerja dengan Badrun dalam bisnis pocong ini. Dari 3 sd 4 proyek yang dijalankan dalam sebulan, setidaknya Badrun menerima pendapatan kotor kurang-lebih 2 miliar rupiah.

Tapi Badrun bukan sosok yang pelit. Dia sering menberangkatkan anggotanya untuk umrah. Membiayai pernikahan mereka, dan para anggotanya diajak plesir. Belum seminggu lalu, semua anak buahnya diajak plesir ke Lombok bersama keluarga mereka.

“Apakah keluarga anak buah Sampeyan tahu kalau suami atau bapak mereka berbisnis horor?” tanya saya agak hati-hati.

“Enggak tahu. Ini bisnis rahasia. Mereka rata-rata mengaku kepada keluarga masing-masing, bekerja di saya mengurus bisnis percetakan.”

Badrun memang punya bisnis percetakan. Bisnis betulan. Tapi karyawan percetakan itu sebetulnya hanya 12 orang. Persis bersebelahan dengan bisnis percetakannya itulah, Badrun membuat kantor untuk manajemen bisnis pocongnya. “Ya jadi semua orang mengira mereka bekerja di percetakan saya. Padahal ya enggak.”

“Pernah enggak mengalami kejadian pahit dalam bisnis ini?”

“Banyak. Namanya juga bisnis. Kalau enggak pernah ditipu berarti bukan pebisnis. Beberapa kali saya tidak dibayar oleh klien. Tapi yang paling parah, pelaku pocong saya pernah tertangkap di daerah Jawa Tengah. Hampir dibakar massa. Untung tim kami bisa koordinasi cepat dengan pihak kepolisian…”

“Berarti ada kerjasama dengan pihak kepolisian, dong?”

Mendengar pertanyaan itu, Badrun hanya tersenyum. Dia tidak menjawab.

Kini Badrun sedang merekrut 20an anggota baru. “Untuk persiapan Pilkada 2018,” katanya.

“Memangnya bisa dipakai untuk bisnis politik elektoral begitu?”

Lagi-lagi Badrun tertawa. “Mas Kepsuk kan analis politik juga. Saya sering membaca tulisan-tulisan Anda soal politik. Masak gitu saja ditanyakan…”

Saya tersenyum kecut. Badrun sebentar lagi mau rapat dengan timnya. Saya dan Rohmat lalu berpamitan. “Salam buat Agus Mulyadi ya…”

“Ya, pasti.”

“Kalau sudah tidak mau bekerja di Mojok, saya siap menampungnya. Gajinya saya naikkan 3 kali lipat lah…” Badrun terkekeh ketika mengatakan hal itu.

Saya juga ikut tertawa. “Kerja apa dia di sini?” sekalipun ini bukan pertanyaan penting, tapi siapa tahu dijawab.

“Ya, kami kan butuh naskah untuk desain desas-desus. Orang kayak Agus saya yakin bisa.”

Kami bertiga tertawa tergelak. Saya dan Rohmat pun akhirnya pamitan.

“Mas, Sampeyan dibuatkan kopi arabika Munduk atau Blue Tamblingan?” tanya Kikik, barista yang sedang saya ajak ke Bali.

Saya menutup berita soal pocong di hape, yang membuat imajinasi saya berkelana, hingga berandai-andai soal bisnis pocong. “Blue Tamblingan saja, Kik.”

Lalu saya menyalakan rokok. Menyedotnya dalam-dalam. Namanya juga penulis. Kadang membaca sesuatu, lantas membangun cerita sendiri di kepala.

Exit mobile version