Bisnis Moncer Tahun 2015

Bisnis Moncer Tahun 2015

Bisnis Moncer Tahun 2015

Menurut teman saya yang berprofesi pengusaha sekaligus pengamat perilaku bisnis, ada beberapa bisnis moncer di tahun 2015 yang kemungkinan berlanjut sampai tahun 2016.

Bisnis Motivasi

Tentu Anda semua bisa melihat gejalanya yang luarbiasa. Seminar-seminar motivasi ramai, dari yang membayar ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Ini sungguh bisnis yang cerdas.

Bayangkan, misalnya Anda ingin bisnis properti. Karena ragu dengan kemampuan diri sendiri, kemudian ikut seminar motivasi. Ketika mengikuti seminar, semangat terlecut dan keberanian terpompa. Tapi begitu pulang ke rumah, alih-alih segera melakukan bisnis yang direncanakan, yang terjadi malah mencari seminar lagi yakni seminar ‘Kiat Bisnis Properti’, atau ‘Cepat Kaya dengan Berbisnis Properti’, atau ‘Bisnis Properti Tanpa Modal’. Dan tentu saja membayar lagi dengan harga mahal. Usai mengikuti rentetan seminar itu, ternyata ingin motivasinya terlecut lagi. Akhirnya ikut seminar motivasi lagi. Begitu seterusnya.

Walhasil, jadilah Anda pebisnis ‘dari seminar ke seminar’. Bukannya mendapatkan uang tapi malah terus mengeluarkan uang. Padahal almarhum Bob Sadino pernah bilang, kalau para motivator itu bisa bisnis, pastilah tidak jadi motivator. Tapi mungkin Om Bob lupa, motivasi itu sendiri sudah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan.

Bisnis Mistis

Bisnis ini sekarng tidak lagi menggunakan label dukun. Kata ‘dukun’ dianggap kuno. Maka dipilihlah kata, misalnya ‘metafisika’. Sepintas sepertinya keren. Padahal metafisika itu salah satu cabang ilmu Filsafat yang tidak ada urusannya dengan perdukunan. Mahasiswa Fakultas Filsafat pasti bisa garuk-garuk kutil kalau sampai mendengar metafisika dipakai untuk jadi tameng bisnis berbau perdukunan.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan profesi dukun. Sebagai profesi itu harus dihormati. Hanya acapkali bungkunya memakai hal yang tidak semestinya. Praktek-praktek perdukunan macam ini sekarang marak dan sangat laku, misalnya saja mengubah nasib lewat cara mengubah nama atau mengubah tanda tangan. Atau ada lagi yang semacam ‘sekte-sekte’ setengah tertutup. Agak ditutupi bukan karena hal positif, misalnya supaya lebih khusyuk dan tidak terganggu hingar-bingar. Sengaja ditutupi supaya ‘relasi kuasa’ tidak diketahui publik. Hubungan tidak setara yang cenderung manipulatif, ilusif, dan bahkan intimidatif, bisa dilanggengkan.

Sangat mungkin bisnis ini nanti berkembang lebih kreatif lagi, misalnya ‘mengubah nasib lewat model potongan rambut’, atau ‘enteng jodoh dengan mengubah konfigurasi gigi’, gigi geraham diubah menjadi gigi depan. Atau gigi yang mulanya vertikal dipasang jadi horisontal.

Jangan tanya ke para pengubah nasib itu kenapa mereka tidak bisa mengubah nasib mereka sendiri. Jawaban formalnya: Kami membantu mengubah nasib orang yang perlu diubah. Padahal jawaban sesungguhnya: Ya inilah cara kami mengubah nasib, Bro!

Bisnis Konsultan

Ini bisnis yang antik. Makin lama makin banyak orang yang mengaku sebagai konsultan. Kalau ditanya lebih lanjut, maka segera mengalihkan persoalan lain dengan cepat. Hal semacam ini terjadi karena kata konsultan itu cenderung punya arti yang keren, tidak terlalu sibuk, tidak ada spesifikasi ketrampilan yang jelas, dan seakan-akan berisi rentetan nasihat.

Saya kira ini ada hubungan dengan kesukaan orang akan curhat. Begitu ada orang curhat, lalu didengarkan, diberi sedikit nasihat, entah tepat atau tidak nasihat tersebut, lalu jadilah dia konsultan. Temannya mau nembak cewek, diajak ngobrol, lalu ketika temannya benar-benar diterima saat nembak, akhirnya ada alasan untuk mengaku sebagai konsultan. Padahal si konsultan itu nembak cewek 41 kali ditolak melulu. Baru yang ke-42 diterima. Itu pun paginya langsung dapat telepon dari pacarnya, “Maaf semalam aku mabuk obat sakit kepala, jadi agak nggak konsentrasi. Lupakan pembicaraan tadi malam, ya…”

Ketiga bisnis di atas berpotensi akan tetap berjalan dengan baik di tahun 2016 nanti. Sebab sekarang ini sudah terlalu banyak hal yang dilakukan tanpa harus mengikuti nalar baku. Misalnya ada penerbit buku yang memburu penulis bukan karena kemampuan menulisnya, melainkan berdasarkan banyaknya follower twitternya.

Kenapa semua ini bisa terus mendapatkan tempat, karena kita semua sebetulnya diam-diam mengikuti langgam dan nalar yang sama. Setiap saat dengan heroik mau menjual gedung DPR, berseru kalau gedung DPR adalah kebun binatang. Tapi tiap ada Pemilu tetap saja ikut kampanye dan ikut nyoblos. Situ memang ohyes, kan?

Kebanyakan dari kita memang pecundang tapi pengennya dianggap sebagai pemenang. Sudah mencoba nyaleg tapi gagal, jadi anggota timses kok ya jagonya kalah, sudah begitu pas malam minggu mau nyamperin cewek ternyata sudah ada yang ngapelin, begitu pulang ke rumah nonton teve, eh kesebelasannya kalah. Akhirnya membuat teori tatabahasa baru, akar kata kesebelasan itu bukan ‘sebelas’ melainkan ‘sebel’. Matek, kan?

Dalam kondisi semacam itu, sangat wajar kalau pengennya ikut seminar motivasi, punya kecenderungan ingin mengubah nama serta tanda tangan, dan bergabung dengan sekte-sekte setengah tertutup. Lalu mendaku berprofesi sebagai konsultan. Termasuk terus teriak anggota DPR itu bajingan, tapi pemilu depan ikut nyoblos lagi.

Situ memang asyik kan? Salam nungklik!

Exit mobile version