Anu, Bisa Boikot Bukalapak Lebih Serius Nggak?

MOJOK.CO – Tagar #uninstallbukalapak trending. Entah karena kicauan akun Twitter CEO Bukalapak yang keliru data atau karena ada kata “presiden baru” di sana.

Tak ada yang istimewa dari install dan uninstall sebuah marketplace yang menjadi tren topik di Twitter sehari setelah hestek typo #ValentieBukanBudayaKita kabur tanpa tisu bekas ditiup angin dari linimasa.

Install dan uninstall adalah istilah boikot ala milenial yang menempel di pemilu oligarki. Boikot Sari Roti pada Pilkada Jakarta, Uninstall Bukalapak di Pilpres dan Pileg 2019.

Serius boikotnya? Nggak.

Sari Roti di bawah perusahaan raksasa PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. anteng-anteng saja.

Kan nggak pernah kita dengar pabrik-pabrik Sari Roti di Pasuruan, Semarang, Medan, Cibitung, Cikande, Purwakarta ditawafi tujuh hari tujuh malam untuk menindaklanjuti seruan boikot 10 Desember 2016 dari GNPF MUI.

Faktanya, kelompok ini yang “mengantarkan” Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, ke penjara. Sementara Sari Roti, tetap dimasak.

Bukalapak saya yakini tetap saja terbesar dengan perlindungan gurita patronasenya: Emtek, Ant Financial (Alibaba), GIC, dan Mirae Asset-Naver.

Kalau serius melakukan aksi boikot, misalnya, Sis en Bro kan bisa langsung menyerbu menurunkan ratusan papan reklame Bukalapak di lorong “kakilima” Malioboro Jogja itu.

Atau, serbu pekan ini juga kantor PSSI yang memakai nama liganya dari Bukalapak.

Sekalian gasak Elang Mahkota Teknologi (Emtek) yang menjadi mamaknya Bukalapak dan mamak dari anak-anak usaha ini: mulai dari SCTV, Indosiar, ANTV, O Channel, Liputan6.com, Bola.com, Kapanlagi.com, Brilio.net, hingga Yayasan Puteri Indonesia yang bikin kontes kecantikan Puteri Indonesia.

Wah, kok jadi ruwet?

Itulah.

Memang, sangat kejauhan bagi aksi install-uninstall yang sama sekali tak didorong oleh penegakan supremasi ideologi yang keras, melainkan sekadar politik buih dari buntut twit seorang CEO yang berbunyi: “presiden baru”. Hm, jempol-jempol yang reaksioner.

Karena ala kadarnya, install dan uninstall begitu mudah disalip hestek yang konsisten setiap pekan tampil sebagai topik tren: #JumatBerkah.

Namun, sereceh apa pun bentuk boikot ala install dan uninstall itu, tetaplah ia aksi boikot. Walaupun kita tahu, makin ke sini, makin wikwik, makin HAMpa, makin SUNyi.

Negeri ini memiliki sejarah boikot yang panjang dalam kisah pembenihan pergerakan nasional. Dan, hal itu justru tumbuh pertama kali dalam tubuh politik Islam.

Nama pergerakan itu adalah PPP PKS PBB Muhammadiyah NU Persis Sarekat Islam (SI). Nama ini menjadi sumur utama ketika sampai pada sejarah pergerakan Islam melawan kolonial. Ia yang pertama dan utama pada dekade kedua abad 20.

Namun, ada satu “produk dagangan” yang jarang sekali ada faksi politik Islam yang mau mewarisnya secara kafah, baik pergerakan Islam setelah SI maupun kekinian. Yakni, boikot.

Padahal, aksi boikot ekstraparlementer yang diimami Sarekat Islam inilah yang mendorong lahirnya “Janji Nawacita November” 1918 di Volksraad oleh Pemerintahan Gubernur Jenderal Graef van Limburg Stirrum.

Memang, dampak boikotnya nggak tanggung-tanggung. Lutut kolonial bergetar. Mengingat anggota SI pada 1918 itu sudah menembus 2 juta orang.

Centraal Bestuur Sarekat Islam mengeluarkan mandat kepada kakanda Ki Kadjar Dewantara, yakni Soerjopranoto, untuk bikin perkara dengan produk-produk kolonial yang bernama pabrik.

Langkah yang dilakukan Pak Noto yang berusia 47 tahun saat itu adalah mengumpulkan semua sarekat buruh di seantero pabrik-pabrik di Jawa. Hasilnya: mogok massal.

Karena aksinya inilah, pentolan SI Yogya dan bangsawan Pakualaman bernama Soerjopranoto ini “dibaptis” menjadi “Raja Boycott” tanpa tanah (sultan ground).

Apa pun nama gerakan boikotmu, termasuk install dan uninstall, ingatlah bahwa kalian punya raja bernama Soerjopranoto. Berangkat sana, berziarah ke kuburan Soerjo-“Raja Boycott”-pranoto di TPU Kampung Gambiran, Pandeyan, Umbulharjo, Yogyakarta.

Sayang, sekali lagi, pergerakan Islam berikutnya emoh dengan produk Sarekat Islam yang satu ini. Satu-satunya pewaris boikot SI ini adalah Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penyebabnya boleh jadi lantaran sekretaris Soerjopranoto dari aksi boikot awal melawan produk kolonial ini adalah Semaun, yang selain dikenal sebagai aktivis Sarekat Islam afdeling Semarang, juga pendiri PKI.

Di tangan PKI dan anasir-anasir radikal, budaya boikot tetap subur. Boikot selalu erat kaitannya dengan ekonomi. Yang variatif adalah caranya.

Lihatlah boikot cara pertengahan abad 20. Jika tak setuju dengan “produk”, bukan cuma produknya ditolak. Negara yang bikin produk itu juga diusir. Kalau nggak bisa diusir, tiap hari diganggu.

Nggak setuju lagu bitel-bitelan di lapak revolusi, nggak suka komik-komik superhero di marketplace gelanggang buku, nggak suka film koboi-koboian di bioskop, massa mendatangi dan memaki hingga klenger si pemilik label mayor daripada itu produk.

Semua yang terkait dengan yang ditolak itu diserukan tiap pekan untuk diganyang. Jika nama negara si pemilik sebuah produk kebudayaan sudah dinyatakan fiks, negaranya si pemilik label yang dimusuhi.

Tahu bitel-bitelan dari Inggris dan Amrik, dua duta besar negara ini menjadi tujuan pariwisata amarah massa tiap pekan. Bahkan, pengganyangan bitel-bitelan ngak-ngik-ngok ini bikin ayahanda Mira Lesmana dan Indra Lesmana bersulih nama; dari Jack Lemmers yang dianggap “kebarat-baratan kekolonial-kolonialan” menjadi Jack Lesmana.

Jadi, nama “Lesmana” yang melekat kepada Mira dan Indra adalah produk akhir dari aksi lapak boikot yang diperluas pada masa presiden boikot bernama Karno.

Tahu Inggris ada di belakang boneka Malaysia, Malaysia-nya diboikot.

Caranya?

Jika menyebut nama Malaysia, koran-koran pro aksi boikot macam Harian Rakjat menulisnya dengan tanda petik: “Malaysia”. Di lapangan aksi, nama negara itu dikutuki tiap hari dan dipopor dengan operasi militer yang melahirkan akronim yang ajeg keluar di ujian tertulis dedek-dedek SMP/Mts: Dwikora.

Namun, ini bukan eranya raja boikot bernama Noto. Ini bukan eranya presiden boikot bernama Karno. Ini eranya Raja Juli Antoni atau Faldo Maldini atau Bilven Rivaldo Gultom.

Mereka tak hidup saat istilah boycott bikin panik kolonial dan neokolonial. Mereka lebih akrab dengan install dan uninstall. Yang satu uninstall BL, satunya dukung install BL.

Sementara satunya lagi, lebih complicated. Selain menyerukan install BerdikariBook IKAPI Jabar, modal usianya yang muda dihambur-hamburkannya percuma untuk mempercayai peninggalan abad 20; percaya kepada percetakan buku-buku komunis dan intim dengan penyair kelahiran Pekalongan 1941.

Mengikuti algoritma nalar milenial, mestinya pemilu itu bagian dari lapak politik. Produk jualannya adalah pilpres dan pileg. Cara memboikotnya, jika nggak setuju dengan semua produk jualan yang ditawarkan oleh kongsi si pelapak (koalisi partai-partai), ya, uninstall.

Atau, kalau sudah terlanjur install pada 2014, bisa kok di-uninstall di tahun 2019 ini.

Jika tetap keukeuh berlanjut, silakan saja. Toh, dalam politik oligarki dengan hari lebarannya bernama “pemilu”, transaksi dan invoice menjadi lingua franca-nya.

Sebagai seorang pemburu kerja yang kafah, saya suka lingua franca macam politik oligarki yang begitu. Entah kalau kamu.

Itu.

Exit mobile version