MOJOK.CO – Ketika Benny Wenda umumkan pembentukan Pemerintah Papua Barat, sementara di Indonesia lagi asyik dengan isu imam besar aja.
“Kami siap untuk mengambil alih wilayah kami, dan kami tidak akan lagi tunduk pada aturan militer ilegal Jakarta. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan mengklaim kembali tanah kedaulatan kami,” ujar Benny Wenda dalam keterangan tertulis di laman resmi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Pemerintah Sementara tersebut menyatakan kehadiran negara Indonesia di Papua Barat adalah ilegal. Artinya, mereka menolak hukum apapun, pengenaan apapun oleh Jakarta, dan tidak akan mematuhinya.
Wenda dan jajarannya menolak perpanjangan Otsus Papua, bersama dengan para pemimpin gereja Protestan dan Katolik, kelompok masyarakat, dan 102 organisasi yang mendukung petisi massa menentang pembaruannya.
Konstitusi Sementara yang baru mengedepankan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, kesetaraan gender dan kebebasan beragama, serta melindungi hak-hak para migran Indonesia yang tinggal di Papua Barat.
“Konstitusi menetapkan struktur pemerintahan, termasuk pembentukan kongres, senat, dan cabang yudisial,” kata Wenda yang juga menjadi Presiden Pemerintahan Sementara Papua Barat.
Tak bisa tidak, secara substansial strategis deklarasi kemerdekaan Papua Barat akan menjadi tamparan bagi Istana. Janji besar dan rayuan-rayuan berbungkus kunjungan Presiden Jokowi selama ini ke Papua, seolah tak berarti apa-apa.
Deklarasi Papua Barat merdeka (Papua Barat versi ULMWP) seolah memberi pesan bahwa Pemerintah sebenarnya telah gagal dalam menjadikan Papua Barat sebagai bagian dari NKRI, dan hanya mampu menuduh pihak lain, negara lain, atau aktor yang tak tersentuh nan jauh di sana, di forum-forum internasional, sebagai dalang berbagai penolakan selama ini.
Bagaimana pun bagi Istana, Deklarasi Benny Wenda bermakna bahwa beberapa pendekatan lama memang harus dievaluasi, kebijakan-kebijakan basa-basi alias simbolik harus segera dijadikan substantif, agar Papua tak terus-menerus berada di ambang batas emosional nan sensitif.
Karena berbagai macam persoalan di masa lalu, kelompok-kelompok pro-kemerdekaan semakin reaktif dan “sedikit-sedikit mengancam untuk merdeka.”
Saya sih berharap sekali-kali mereka menuntut agar Ibukota baru jangan di Kalimantan tapi di Papua, sekaligus permintaan agar kuota komik stand-up komedian dari Papua harus 30-40 persen yang masuk layar kaca Indonesia, misalnya.
Tampaknya bakal terdengar berbeda dan boleh jadi akan jadi salah satu topik penting di rapat Istana.
Jangankan membuat istana terpana, media-media pun tak pula terlihat tertarik. Deklarasi Benny Wendy tak banyak mendapat sorot media, terutama televisi. Informasinya hadir rerata hanya dalam bentuk hard news di beberapa media online.
Itu pun sifatnya satu arah, hanya mengutip pernyataan-pernyataan yang tertulis di dalam deklarasi, tanpa disertai tanggapan para ahli dan pakar geopolitik atau pengamat kebijakan publik, misalnya.
Sampai hari ini, belum ada indepthnews yang menyajikan duduk perkara deklarasi tersebut. Beberapa kawan di media mengatakan bahwa mereka tak ingin “membesarkan” Benny Wenda di ruang publik Indonesia. Dan keputusan tersebut, dalam perspektif nasionalisme, cukup layak diacungi jempol.
Cukup terlihat jelas perbedaan penyediaan ruang publik oleh media antara kepulangan dan acara-acara Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Benny Wenda.
Media dengan sadar terlihat memberi batas mana peristiwa yang masih dalam ranah persatuan dan kesatuan, ranah demokrasi dan kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul, dan mana ranah disintegratif yang jika diberi ruang terlalu besar, maka akan berimbas pada perubahan persepsi publik terhadap gerakan separatisme Benny Wenda dan para pengikutnya.
Sebagaimana telah disaksikan, media televisi, media cetak, dan media online, berpacu dalam menyoroti kedatangan HRS, silih berganti dalam meng-cover acara-acara yang dihadirinya, serius mengamati ucapanya, dan secara cukup seimbang membenturkannya dengan sumber-sumber informasi kontradiktif dari pemerintahan untuk mendapatkan hasil yang berimbang.
Hal tersebut tentu dilakukan oleh kawan-kawan di media secara sadar bahwa HRS dan semua aktivitasnya masih berada dalam ranah dinamika demokrasi Indonesia.
Bingkai yang dibangun adalah bingkai relasi pemerintah dan opisisi, yang sangat biasa di dalam tatanan demokrasi. Bahkan sampai hari ini, relasi kedua aktor ini masih tetap dijadikan sumber pemberitaan yang seksi, walaupun sebenarnya secara fisik HRS sulit untuk dikatakan seksi.
Keputusan media domestik untuk tidak terlalu memberi Benny Wenda lampu sorot yang berlebihan bukan tanpa risiko.
Salah satu risiko sulitnya adalah bahwa persoalan Papua yang diwakili oleh Benny Wenda berserta pengikutnya akan tetap berada di bawah tikar, berlanjut secara laten, karena tidak ada pressures dari publik kepada Pemerintah untuk menyelesaikan secara tegas dan tuntas persoalan tersebut.
Pemerintah terbukti bergerak cepat dalam memitigasi imbas-imbas negatif dari pergerakan politik HRS secara cepat, begitu juga dengan keputusan Panglima TNI untuk mengirim Tim Khusus ke Sulawesi Tengah mengusut pembunuhan sadis beberapa penduduk yang dilakukan oleh MIT.
Sementara itu, pemerintah cenderung memilih “santai” menanggapi deklarasi Benny Wenda, seiring dengan santainya “kualitas pemberitaan” dari media. Bahkan TNI menyatakan bahwa situasi di Papua relatif kondusif walaupun ada deklarasi kemerdekaan Papua Barat oleh Benny Wenda.
Padahal, semua pihak memahami bahwa persoalan Benny Wenda adalah persoalan besar, yakni separatisme, klaim kemerdekaan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari sisi intelejen tentu sangat jelas, akan ada gerakan diam-diam, baik dari TNI maupun Polri, untuk mengurangi tekanan Benny Wenda dan para pengikutnya.
Masalahnya, jika memang pemerintah memilih jalan demikian, maka media harus menerima kenyataan bahwa tidak ada transparansi dan pertanggungjawaban publiknya.
Akan ada peluang terjadinya kekerasan, supresi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di sana yang terjadi di luar radar media. Artinya, tanpa ada kontrol publik di sini, Indonesia boleh jadi bakal makin dianggap penjajah oleh orang-orang Papua.
Justru bagi saya, dalam persoalan ini, media tetap bisa memberi ruang yang luas kepada Benny Wenda, dengan framing yang jauh lebih positif-nasionalis. Media bisa mengedukasi publik tentang lemahnya legitimasi hukum deklarasi dan ajuan referendum dari Benny Wenda, dengan mengacu pada sumber-sumber hukum dan kesepakatan internasional yang ada.
Karena sebenarnya, tidak semua masyarakat mahfum bahwa sedari awal, sejarah Papua memang tak mulus, apalagi generasi milenial.
Penentuan status Papua Barat antara Indonesia dan Belanda sudah menjadi problema sejak lama, tepatnya setelah putusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dan terus berlarut-larut bahkan hingga terjadi pergantian rezim di tanah air.
Ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Sukarno dan menjabat sebagai Presiden RI ke-2 sejak 12 Maret 1967, dia langsung dihadapkan dengan persoalan ekonomi Indonesia yang merosot.
Tak seperti Bung Karno yang cenderung antimodal asing, Pak Harto lebih pragmatis. Soeharto justru memandang modal asing adalah jalan keluar untuk mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia kala itu.
Salah satu peluang yang paling terbuka adalah Papua yang sudah dilirik oleh Freeport.
Jadi, agar media dan pemerintah semakin mendapat simpati publik, media sebenarnya bisa dengan gamblang menjelaskan bahwa tuntutan pengulangan referendum bertentangan dengan prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB.
Prinsip teritorial integrity dan uti possidetis yuris, yakni, pertama, pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera tahun 1969 telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan Piagam PBB.
Kedua, masyarakat Papua telah melakukan self determination oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI. Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan bahwa prinsip self determination dalam konteks dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang-ulang.
Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam kontek kolonialisme atau non-governing territory.
Selain itu, media bisa pula menambahkan konteks bahwa masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut.
Misalnya dengan memberi Otonomi Khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.
Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah Resolusi tersebut.
Keputusan tersebut diterima secara mayoritas oleh anggota PBB. Dan dalam sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian diubah atau dipertimbangkan kembali.
Walaupun kelompok prokemerdekaan di Papua tak lagi memaknai ketetapan tersebut sebagaimana Indonesia memaknainya, tapi jika mayoritas rakyat Indonesia kompak memaknai deklarasi tersebut sebagai separatisme nyata, maka Pemerintah akan jauh lebih legitimate dalam bertindak.
Meski begitu, di sisi lain kebijakan dan tindakan Pemerintah pun bisa dipantau secara jelas oleh media di Indonesia, tidak diam-diam dan terselubung.
Jika Pemerintah tidak mau demikian, maka jangan salahkan gerakan pro-kemerdekaan yang bakal secara terus-terusan mengampanyekan narasi bahwa Indonesia kini adalah penjajah di Papua, dan bakal makin banyak orang yang setuju dan percaya.
Jadi intinya, sikap media di Indonesia terhadap Benny Wenda tentu saja layak dihargai, tapi setiap keputusan media tentu pada risikonya, baik jangka panjang atau pun pendek. Dan saya yakin, kawan-kawan di media menyadari itu.
Mungkin benar, selain persoalan media di Indonesia yang nggak peka, Benny Wenda sendiri harus lebih kreatif lagi dalam tuntutannya. Agar bisa lebih menarik perhatian masyarakat Indonesia.
Ya seperti contoh tadi. Pindah ibukota ke Papua, kuota komika dari Papua di layar kaca Indonesia, atau…
… sesekali menuntut Pak Jokowi dan para menterinya agar mau pakai koteka saja saat Rapat Terbatas Kabinet di Istana Negara.
Hm, pasti seru sekali kalau disiarkan langsung dan jadi berita internasional dengan judul: “Papua akhirnya merdeka karena Presiden Indonesia dan menteri-menterinya ogah pakai koteka.”
BACA JUGA Mengapa Gereja Katolik Indonesia Mendiamkan Kekerasan pada Umatnya di Papua? dan tulisan soal Papua lainnya.