Bagaimana Surat Bu Shinta Nuriyah ke Gus Dur Selamatkan Saya dari Depresi Gagal Nikah

Bagaimana Surat Bu Shinta Nuriyah ke Gus Dur Selamatkan Saya dari Depresi Gagal Nikah

Bagaimana Surat Bu Shinta Nuriyah ke Gus Dur Selamatkan Saya dari Depresi Gagal Nikah

MOJOK.COKisah cinta Bu Shinta Nuriyah dengan Gus Dur, ternyata bisa menyelamatkan seseorang dari depresi gagal nikah. Salah satunya? Ya yang nulis ini.

Konon, semasa masih gadis, Ibu Shinta Nuriyah Wahid, istri almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok yang cantik dan cerdas. Wajar jika kemudian banyak lelaki yang rebutan ingin menikahinya. Bukan hanya Gus Dur, bahkan, paman Gus Dur juga sempat punya keinginan untuk menikahi pula.

Persoalan pernikahan memang tidak pernah ada habisnya untuk kita bahas. Selalu seru.

Baik yang ingin menikah tapi belum tahu siapa yang akan diajak duduk di pelaminan, sudah berkekasih tetapi belum memiliki cukup keberanian untuk memasuki jenjang berumah tangga, atau….

….sudah menyiapkan mahar dan ubo rampe pesta pernikahan, termasuk menentukan hari H, tetapi kandas di tengah jalan karena lamaran dan semua prasyarat melangsungkan pesta pernikahan itu pada akhirnya dikembalikan.

Di antara tiga alasan tidak kunjung menikah itu, Alhamdulillah, saya mengalami yang terakhir dengan cukup paripurna. Hehe.

Sekira dua bulan sebelum hari-H akad nikah saya bakal dilangsungkan, saya tidak bosan-bosan membuka channel Youtube tentang tutorial melafalkan ijab qabul.

Setelah saya semakin mantap menyambut hari bahagia tersebut, eh ternyata pihak keluarga gadis yang saya cintai mengembalikan lamaran saya tanpa alasan yang jelas.

Padahal ketika prosesi lamaran, saya tidak mendapati gelagat yang bikin saya ditolak. Bahkan calon istri saya saat itu pun sudah menerima lamaran saya secara personal jauh-jauh hari.

Beberapa hari setelah lamaran keluarga saya “diterima” dengan baik, sebuah pesan singkat dari calon ibu mertua mampir di beranda wasap yang berisi maklumat berakhirnya hubungan saya dengan putrinya.

Dan saya ditolak karena persoalan—ini yang bikin saya makin mbrebes mili—ekonomi.

Yak, simpelnya saya ditolak karena saya kurang kaya.

(((kurang kaya)))

Barangkali posisi saya yang masih kuliah master dan belum punya kerjaan mapan tak membuat keluarga calon istri saya percaya kalau saya bisa menghidupi putri mereka nanti. Akhirnya penolakan via pesan wasap itu saya terima dengan senyum, meski hati ini berdarah dan air mata sekaligus ingus tak tertahankan berjubel ingin keluar kayak jebolan konser.

Kala itu langit seakan runtuh sebentar lagi. Seperti terdengar derap kuda pasukan Ya’juz Ma’juz udah muncul dari arah Wirobrajan. Hati saya tercabik bagai dikoyak kawat berduri yang berkarat di Pantai Dunkirk. Udah sakitnya minta ampun, kena tetanus, jauh lagi.

Hati saya ambyar berkeping-keping bak pecahan beling-beling mahal di Informa. Ingin rasanya langsung menghadap Didi Kempot, the Lord of Broken Heart itu. Lalu menjadi bagian dari Sad Boy Club dan berada di garis depan menyanyikan lagu Nelongso sambil ngusapin air mata dan ingus hijau yang keluar bak Air Terjun Niagara.

Saya yang biasanya pulang setiap Minggu untuk menjenguk orang tua di rumah, saya cancel untuk sementara waktu. Selain malas untuk meladeni pertanyaan tetangga di rumah (soal alasan kenapa lamaran nikah ditolak), saya tidak mau menampakkan kedukaan ini di hadapan orangtua, terutama ibu saya.

Sebab, saat melihat saya bersedih, di matanya seperti terlihat luka yang lebih dalam dan menganga. Beliau bisa jadi jauh lebih kesakitan ketimbang saya. Dan saya tak ingin semakin menambah dukanya.

Tragedi hidup dalam balutan kisah asmara itu terjadi pada semester akhir studi master saya. Jika dalam semester itu tugas akhir tidak selesai dan disidangkan, saya bakal masuk menjadi salah satu kandidat kuat mahasiswa yang kena predikat su’ul khotimah alias DO.

Hampir saban hari saya duduk di warung kopi. Terkadang bermalam di sana. Teman-teman datang silih berganti untuk memastikan saya tidak lompat dari gedung kampus atau ngambil garpu martabak untuk menusuk ke diri sendiri.

Dalam masa terpuruk itu lah—syukurnya—saya ingat pesan Bu Shinta Nuriyah kepada mendiang Gus Dur saat keduanya dalam tahap “PDKT”.

Kata Bu Shinta Nuriyah dalam surat yang dikirim untuk Gus Dur, jika kamu gagal dalam urusan studi, setidaknya tidak (gagal) dalam urusan asmara. Masa iya, dalam hidup ini mau gagal dua-duanya?

Pesan itu, sebagaimana ditulis Greg Barton dalam buku Biografi Gus Dur, disampaikan melalui sepucuk surat balasan saat Gus Dur masih menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Benar saja, Gus Dur memang tidak merampungkan studinya di universitas legendaris itu, sebelum akhirnya pindah ke Baghdad, Irak.

Dan seperti cerita yang beredar, Gus Dur pun meminang Bu Shinta dan—tak seperti kisah saya—berhasil menikah meskipun dengan cara diwakilkan dan diulangi lagi saat beliau pulang ke tanah air.

Pesan Bu Shinta Nuriyah kepada Gus Dur itu membayang dalam pikiran saya selama beberapa hari. Saya lalu merenungkannya.

Ya, saya memang gagal dalam urusan asmara, tapi masak iya studi saya juga bakal gagal? Tapi bagaimana saya bisa merampungkan tugas akhir ini jika keadaan jiwa babak belur kayak dihajar Pemuda Pancasila seperti ini?

Di sisi lain, jika studi ini tidak saya selesaikan, apa hati orangtua saya tidak malah semakin remuk? Apalagi saat itu saya juga punya tunggakan SPP 4 semester.

Perlahan saya pun bangkit. Bermalam-malam harus meniduri laptop bapuk dan buku setumpuk. Menjual sepeda motor dan pinjam uang sana-sini untuk lunasi tunggakan SPP itu. Maklum, saya memang kurang kaya.

Saya lalu menulis seperti orang gila. Tidak kenal waktu. Depresi lamaran ditolak karena alasan ekonomi itu berbalik jadi pecut sapi di belakang saya. Bikin saya semakin kencang berlari. Terus bergerak. Bahkan tanpa perlu minum Extra Joss campur susu dan madu. Kalaupun ada doping, paling juga cuma minum Progmag biar saya bisa tahan lapar dan kuat nulis lebih lama.

Sekali waktu saya membaca kumpulan cerpen Gus Mus dalam bukunya Konvensi. Dalam salah satu cerpennya, beliau mengutip Syekh Ibnu Athailah yang seolah menampar kedirian saya.

Katanya, kita sering ngotot dan mati-matian untuk mendapatkan apa-apa yang sudah Tuhan tentukan (kayak jodoh misalnya). Sebaliknya, kita justru mengabaikan apa-apa yang menjadi kewajiban kita sebagai makhluk-Nya atau apa-apa yang Tuhan minta dari kita.

Di lain waktu saya membaca novel Puthut EA Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Novel yang saya kira pas untuk orang-orang gagal asmara macam saya ini. Saya pun melakukan terapi ala Puthut EA dalam salah satu bagian dari novel itu.

Saya tidak menjalin hubungan asmara untuk sementara waktu. Saya nikmati dan rasakan perihnya luka. Saya tidak akan mencari pelarian dengan menjalin hubungan baru. Biarlah luka menganga ini disembuhkan oleh air mata waktu.

Dan seperti yang Anda lihat saat ini, saya telah berhasil selesaikan studi pascasarjana saya, masih rajin menulis, dan bahkan sampai bisa dimuat di Mojok seperti ini.

Kalaupun ada yang kurang, itu juga cuma satu…

…belum nikah.

BACA JUGA Gagal Nikah ala Orang Batak atau tulisan soal gagal rabi lainnya.

Exit mobile version