Aylan Kurdi? Ah, Besok juga Lupa

Aylan Kurdi? Ah, Besok juga Lupa

Aylan Kurdi? Ah, Besok juga Lupa

Dunia berduka. Begitu pula Indonesia. Simpati berdatangan. Foto bocah mungil yang tewas terdampar di pantai Turki pemicunya. Sebagian besar dari kita kini tahu siapa dia. Namanya Aylan Kurdi. Pengungsi asal Suriah. Meninggal bersama kakak dan ibunya setelah mereka berusaha mencari suaka ke Kanada.

Foto-foto itu berseliweran dimana-mana. Hampir di semua akun media sosial. Ada di Facebook, Twitter, Instagram, Path dan sebagainya.

Sharing foto di media sosial itu juga diiringi dengan berbagai kecaman. Ada yang mengecam Uni Eropa yang tak membuka luas kran untuk para pengungsi. Ada juga yang mengecam pemimpin negara-negara Arab yang sangat royal membeli klub sepakbola liga-liga Eropa, tapi tak peduli dengan masalah kemanusian seperti itu.

Ada pula yang mempertanyakan kebijakan Turki terhadap pengungsi. Presiden Turki yang kabarnya begitu semangat membantu pengungsi Rohingya, lalu mengapa bisa ada pengungsi Suriah sampai mati tenggelam di pantai Turki. Yang mempertanyakan mungkin lupa, atau belum sempat riset, bahwa ada 1,7 juta pengungsi Suriah di Turki. Ini jumlah pengungsi terbesar Suriah yang ditampung dibandingkan negara manapun di dunia.

Dan ada yang mengecam Kanada yang menjadi tujuan akhir pencarian suaka dari keluarga Aylan.

Tidak hanya media sosial, media mainstream pun tak ketinggalan menampilkan foto Aylan yang tak bernyawa itu. Redaksi dari sebagian media-media ini sebenarnya gundah. Perlukah untuk menampilkan foto yang menyayat hati itu? Tak cukupkah dideskripsikan dengan kata-kata? Salah satunya editorial LA Times yang cukup powerful berjudul Why we ran the photo of the Syrian toddler.

Pada akhirnya mereka pun memilih untuk menampilkan. Agar masyarakat dan pemangku kebijakan benar-benar membuka mata dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi, terutama mengenai pengungsi Suriah—serta membangkitkan simpati.

Tujuan berhasil. Semua orang hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia, marah besar pasca foto-foto itu beredar.

***

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo pun beraksi. Jokowi mengundang diktator “yang terhormat” Abdel Fattah el-Sisi. Ya, Presiden Mesir yang telah membunuh ratusan warganya sendiri dan memasukkan lawan politiknya ke penjara tanpa fair trial. Adakah yang berdemonstrasi menolak kedatangan el-Sisi? Oh, sorry, saya ubah pertanyaannya: adakah yang masih ingat dengan peristiwa pembantaian oleh el-Sisi?

Memang, ada yang berdemonstrasi mengecam kedatangannya. Namun, itu hanya segelintir orang. Mereka yang berdemo adalah yang sering “dicap” berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin—organisasi yang the right to freedom of speech and expression atau bahkan the right to life para pengikutnya diberangus hingga ke akar-akarnya oleh el-Sisi.

Namun, bagaimana dengan mereka yang konon peduli dengan Hak Asasi Manusia tanpa terafiliasi dengan IM? Mungkin, saya kurang lihat berita. Jadi, tolong beritahu saya bila ada kelompok lain, yang selama ini mengaku sebagai pejuang HAM—terlebih, pernah mengecam tindakan el-Sisi—yang secara tegas menunjukkan penolakannya terhadap kedatangan el-Sisi ke Indonesia. Atau mungkin, semua orang sudah lupa dengan medan pembantaian itu?

Maka ketika seorang teman bilang bahwa banyak temannya di media sosial yang ikut aktif menunjukan simpati terhadap bocah Aylan, saya hanya bisa tersenyum kecut. Saya hanya bisa berhitung, sudah berapa banyak peristiwa semacam itu yang akhirnya terlupakan oleh kaum “Progresif Reaksioner”.

Korban-korban perang di Jalur Gaza (Palestina), Irak, Suriah, Rohingya, atau kekerasan aparat di Papua dan sebagainya, dibela dan diramaikan sesaat untuk kemudian dilupakan begitu saja. Sangat jarang kita temui upaya berkesinambungan untuk memperhatikan masalah-masalah tersebut hingga selesai—atau setidaknya memiliki ujung yang baik.

Hampir semua orang sibuk berteriak di kerumunan, untuk kemudian bubar dan melupakan apa yang pernah diteriakkan.

Ya, share-lah gambar-gambar itu, kecamlah siapa saja yang menurutmu harusnya bertanggungjawab atas kematian Aylan. Ekspresikan simpati dan kemarahanmu sepuas-puasnya melalui status Facebook, kicauan di Twitter atau di tempat lain. Meski ingatanmu mungkin pendek. Meski, besok juga sudah lupa…

Exit mobile version