Kritik Adat Bangsa Arab, H Agus Salim Buka Tabir Kain Pemisah Wanita

Haji Agus Salim

Cuplikan esai panjang ini lahir dari tindakan H. Agoes Salim (Agus Salim) sebagai Penasihat Umum yang saat berceramah menyingkap tabir kain pemisah peserta pria dan wanita dalam kongres Jong Islamieten Bond (JIB). Tindakan demonstratif sosok yang dijuluki The Grand Old Man pada medio dekade 1920-an di Surakarta itu pun menjadi heboh. Selamat membaca.

Cadar dan Harem

Oleh Haji Agoes Salim

Saya menyambut dengan kedua belah tangan kesempatan ini untuk membahas soal “penyelubungan wajah dan pengucilan diri wanita Muslimat” pada kongres J.I.B. (Jong Islamieten Bond) di Solo baru-baru ini.

Sekadar penjelasan bagi para pembaca yang mungkin tiada menyaksikan tindakan yang agak demonstratif dari penasihat Umum J.I.B., boleh saya kisahkan sebagai berikut:

Sudah agak sering saya saksikan di kalangan warga J.I.B. ada kecenderungan untuk mengambil sikap khas Muslimin dengan mengadakan tindakan atau perilaku yang menyimpang bahkan bertolak belakang dengan segala sesuatu yang menjadi kelaziman ataupun dicita-citakan oleh pihak intelektual umum. Dan sikap ini ternyata tidak benar!

Salah satu gejalanya ialah kecenderungan untuk memisahkan kaum wanita dari kaum pria pada rapat-rapat J.I.B. Kaum wanita disembunyikan di belakang sebuah tabir. Betapa janggalnya perilaku yang meniru-niru adat Arab ini terlebih menonjol lagi, bila diingat bahwa rekan-rekan wanita kita itu tiba secara serba bebas dalam kendaraan yang serba terbuka, bahkan tanpa berkerudung kepala seperti yang diwajibkan.

Lagi pula pada kesempatan lain, misalnya pada waktu menonton pertunjukan sandiwara, mereka sama sekali tiada duduk dipisah atau terkucil dari kaum pria.

Pengucilan kaum wanita pada rapat-rapat J.I.B. sungguh tidak menguntungkan untuk propaganda himpunan kita. Karena memang wajar jikalau di kalangan kaum pemudi terpelajar yang turut merasakan rasa kebangsaan, suatu aliran yang hendak meniru adat Arab tidak akan mendapat sambutan yang simpatik.

Sekali lagi, perlu saya tegaskan bahwa pemisahan atau pengucilan kaum wanita bukanlah suatu perintah agama Islam, melainkan hanya suatu adat di kalangan bangsa Arab. Mengenai soal ini Dr. Th. W. Juynboll dalam bukunya Handbuch des Islamitischen Gesetzes (Pedoman Hukum Islam; Penerbitan EJ. Brill, Leyden, dan Otto Harassowitz, Leipzig, tahun 1910, hlm. 163) menyatakan:

“Sudah lama sebelum zaman Islam penyelubungan tubuh wanita dilazimkan di berbagai negeri Dunia Timur, bahkan juga di kalangan kaum Kristen. Namun rupanya di kalangan sekitar Nabi Muhammad hal itu tiada dilazimkan, dan tiada terdapat bukti sedikit pun yang boleh menjadi alasan untuk pendapat seakan-akan Nabi itu bermaksud melazimkan penyelubungan semacam itu bagi kaum Muslimat.”

Mengingat segala itu, dan untuk menjaga kepentingan I.J.B. dan kepentingan dakwah Islam yang mantap, maka sesuai dengan hukum yang tertinggi, yaitu dengan ajaran Qur’an, serta dengan semangat dan teladan nabi Muhammad s.a.w., saya tidak ragu-ragu bertindak secara demonstratif dan menonjol, membongkar hijab atau tabir yang memisahkan para hadirin wanita dan para hadirin pria, dan menutup pemandangan mereka terhadap rapat seluruhnya.

Baca Juga: Mengapa Sebaiknya Jangan Mudah Baper dengan yang Berbau Arab?

Kemudian, saya diberi kesempatan oleh Ketua kita, Saudara Wiwoho, untuk memberi penjelasan tentang maksud tindakan saya dengan suatu ceramah, yang maksud dan isinya hendak saya ulangi di bawah ini, semata-mata atas dasar ingatan saya sendiri, karena saya tiada membuat catatan, dan tiada pula tersedia catatan dari pihak lain.

Himpunan kita, I.J.B., bertujuan untuk mengenal dan mengamalkan agama Islam secara lebih sempurna. Untuk mencapai tujuan ini, perlu himpunan kita ini menyingkirkan segala sesuatu yang bukan termasuk hukum Islam dan bukan bersumber kepada ajaran Islam yang murni.

Maka, perlulah kiranya J.I.B. dengan tekun mempelajari apa yang merupakan perintah Allah dan apa yang merupakan ajaran Nabi Muhammad dan apa yang telah diabsahkan olehnya dengan teladan yang nyata.

Kenyataan bahwa pengucilan kaum wanita merupakan suatu adat bangsa Arab, bukanlah menjadikan kelaziman itu suatu keharusan agama Islam. Boleh saja ini merupakan bagian dari kepercayaan kaum Yahudi atau Nasrani, yang ajarannya masing-masing memang memberi kedudukan serba tergantung dan rendah, namun ia tidak sesuai dengan ajaran atau jiwa agama Islam.

Esai H Agus Salim tentang kritiknya pada adat Arab yang dikira aturan dalam Islam.

Sebenarnya, mengenai apakah yang merupakan perintah agama Islam, tiada diberi alasan ragu-ragu oleh agama kita. Perintah Allah dalam Qur’an yang suci telah menegaskan dengan tegas batas-batas yang harus diindahkan kaum pria dan kaum wanita. Dalam surat XXIV (An-Nur—Cahya) ayat 30 ditetapkan sebagai berikut: “Katakanlah kepada kaum pria Mukmin: hendaknya mereka kendalikan pandangan mata dan memelihara rasa malunya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Sedangkan kaum wanita disabdakan-Nya dalam ayat 31: “Katakanlah kepada wanita Mukminat: hendaknya mereka kendalikan mata dan memelihara rasa malunya dan janganlah mereka peragakan perhiasannya (kecantikan tubuhnya), selain dari yang tampak daripadanya. Dan hendaknya mengulurkan kerudung kepala menutup dada, dan janganlah menampakkkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, kepada ayah sendiri, kepada ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka atau kepada putra-putra saudara pria mereka, atau kepada putra-putra saudara wanita mereka, atau kepada kaum wanitanya, atau kepada budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan yang tidak menaruh hasrat akan wanita (pria usia lanjut) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka hentakkan (gerakkan) tungkai kaki seakan-akan menonjolkan perhiasan yang tersembunyi. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang beriman agar dapat kamu berkembang dengan sempurna.”

Firman Allah itu memang cukup jelas dan tegas, bahkan sangat terperinci. Bahagian permulaannya menyinggung soal penampilan kaum wanita di hadapan umum, terhadap kaum pria dan kaum wanita asing, yang tidak termasuk lingkungan keluarga, sedang dalam bagian terakhir diperincikan siapakah yang dapat dianggap termasuk lingkungan keluarga.

Isi dan makna firman Allah ini dengan tegas menyangkal setiap anggapan bahwa kaum wanita harus dijauhkan dari pergaulan ramai, jangan lagi dikucilkan atau ditutup terkunci. Dan sama sekali tiada disebut suatu kewajiban untuk menyelubungkan paras muka ataupun lain bagian tubuh, kecuali yang disebut “perhiasan” atau “kecantikan kelamin wanita”.

Tidak pula terdapat sebutan semacam itu dalam Sura 33 (Sura al Ahzab, Kaum Sekutu), yang bunyinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada para istrimu, dan kepada para putrimu, dan kepada para istri kaum Mukmin: Hendaklah kamu ulurkan baju luarmu. Demikian agar kamu dikenali (sebagai wanita sopan) dan jangan sampai diganggu-ganggu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih.”

Prof. Snouck Hurgronje (Verspeide Geschriften) menyatakan pula dalam hubungan ini: “ … Firman itu jelas sekali tiada memerintahkan kaum wanita lebih banyak mengenai pakaiannya daripada memang  dianggap pantas pula di kalangan masyarakat Eropa. Pakaian kaum wanita itu harus menonjolkan cita-susila serta kesuciannya; harus dihindarkannya segala sesuatu yang dapat membangkitkan nafsu yang sesat pada kaum pria; mereka harus berhati-hati dalam pergaulannya dengan seluruh kaum pria, kecuali suami sendiri, dan para sanak-keluarga yang hubungan kekeluargaannya mengharamkan perkawinan dengan mereka, serta para budak serta pelayannya dan sebagainya.”

Memang tidak wajar orang mengambil kesimpulan yang berlainan terhadap persamaan dalam masyarakat Eropa, yang memang hanya itulah yang dapat dijadikan sebagai patokan Prof. Snouck, sedangkan perlu kita ingat, bahwa Prof. Snouck dalam karangannya pada tahun 1886, dan pada saat itu tak dapat diduga olehnya tentang perkembangan pandangan dunia Eropa mengenai apakah yang dipandang sebagai pakaian yang pantas atau sopan.

Demikian pula tak seorang pun menyangkal, bahwa perintah itu mengandung sesuatu yang melebihi apa yang perlu mutlak untuk keperluan mendidik kaum wanita ke arah tingkat kemanusiaan dan kesusilaan tinggi serta untuk martabatnya.

Wanita Eropa dengan ajaran kesusilaan agama Kristen, yang “lebih mengutamakan nilai-nilai batin daripada nilai-nilai lahiriah” merupakah suatu contoh yang nyata, yang membuat kita sadar bahwa batas-batas lahiriah memang penting untuk suatu pendidikan batin.

Baca Juga: Mengapa Habib atau Orang Arab Sering Dianggap Crazy Rich di Kampungnya?

Maka sebagai juga penting mutlak ketertiban dan aturan-aturan lahiriah untuk pembinaan ketertiban dan peraturan batin, demikian pula penutupan tubuh yang lahiriah serta pembatasan dalam pergaulan antarkelamin merupakan syarat mutlak untuk menjaga kesopanan dan kesucian serta keluhuran moralitas.

Ada ajaran lain lagi yang dapat diperoleh dari kedua Sura yang telah dikutip tadi. Yaitu bahwa kepada kaum pria juga diwajibkan untuk memelihara rasa malu dan kesuciannya, seperti yang diperintahkan kepada kaum wanita. Maka tiada diserahkan kewajiban ataupun wewenang kepada kaum pria untuk bertindak sebagai pelindung kesucian kaum wanita. Hanya keangkuhan belaka, yang berlawanan dengan jiwa dan makna hukum Ilahi saja yang dapat menimbulkan pandangan yang keliru ini.

Ini adalah suatu anggapan sesat yang tidak menguntungkan dalam soal ini, sebagai pula setiap sesuatu mengurangkan atau melebih-lebihi batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah niscaya akan membawa akibat yang bertentangan dengan yang dikehendaki sesungguhnya.

Malah bagi setiap orang akan jelas dengan menyolok, bahwa keliru sekali bila kesucian wanita diserahkan kepada kaum pria. Karena kaum wanita justru harus menjaga kesuciannya terhadap kaum pria. Maka pemberian wewenang dalam hal ini kepada kaum pria sungguh merendahkan martabat kaum wanita….

***

Esai ini pertama kali dimuat di majalah Het Licht, Tahun II, 1926 dan dimuat kembali di buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (Sinar Harapan, 1984, halaman 312—320).

Penulis : H Agus Salim
Editor : Agung Purwandono

BACA JUGA Sukarno Tanggapi Mohammad Hatta: Saya Bukan Seorang Imperialis di rubrik ESAI.

 

Exit mobile version