Apakah Perempuan Harus Mencintai Dapur?

Saya harus mengakui bahwa saya tidak menyukai dapur sejak masa kanak-kanak sampai remaja akhir seperti sekarang ini (maaf kalau saya tidak menggunakan kata dewasa, ini semata demi meminimalisir ketuaan). Saya perempuan, dan takdir seorang perempuan menurut salah satu lagu dangdut yang pernah berjaya di zamannya adalah tiga serangkai: “dapur, sumur, dan kasur”.

Dapur sebagai lambang pandai memasak, sumur untuk pekerjaan kasar di rumah, sedangkan kasur adalah *jeda* seks.  Saya tidak akan membahas satu per satu mengenai ketiga serangkai tersebut. Yang mau saya bahasa hanya satu, dapur. Dan pembahasan itu ingin saya awali dengan satu pertanyaan: “Apakah perempuan harus mencintai dapur?” Silakan dijawab, pertanyaan ini diperuntukkan untuk semua perempuan yang membaca artikel ini, kecuali calon Mama mertua saya, karena tentunya saya tidak ingin dicap sebagai perempuan yang cuma tahu dandan (padahal memakai bedak pun masih tidak rata), atau perempuan yang tidak bisa apa-apa (padahal saya bisa *jeda*… baiklah, itu tidak penting).

Pertanyaan ini sengaja saya ajukan karena saya merasa, saya adalah perempuan yang sampai saat ini belum bisa mencintai dapur. Saya khawatir, ketidakbisaan saya ini bisa mengurangi derajat keperempuanan saya

Saya akan menggunakan beberapa indikasi untuk menilai kebenaran bahwa saya tidak/belum mencintai dapur.

Untuk mencintai sesuatu, kita harus mengenalnya lebih dulu.

Misalnya, sampai saat ini saya tidak bisa membedakan antara jahe, lengkuas, kunyit, dan kencur. Saya juga belum bisa membedakan mana ketumbar dan mana merica. Bagaimana saya bisa mencintai dapur ketika mereka memiliki bentuk yang serupa. Ketika Mama menyuruh saya mengambil sesuatu di dapur, sering kali saya datang ke hadapannya dengan membawa bahan yang jauh berbeda. Oh Tuhan, apakah ini salah saya?

Saya rutin ke dapur, tapi belum bisa mencintainya.

Ya, saya memang rutin mengunjungi dapur, tapi jelas, bukan untuk belajar mencintainya. Sebagai mahasiswa perantauan yang tinggal sendiri dan harus hidup mandiri, saya dipaksa mengunjungi dapur setidaknya sekali sehari untuk memasak mie instan, gorengan tempe/tahu, atau sayur bening. Pertemuan saya dengan dapur yang keseringan itu nyatanya belum juga menimbulkan rasa cinta kepadanya. Ternyata ungkapan Jawa “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” yang artinya “Cinta Tumbuh Karena Terbiasa” belum terbukti benar kepada saya. Saya masih melihat dapur sebagai sesuatu yang rumit. Eh, tapi cinta memang rumit bukan?

Di dapur, saya merasa sebagai makhluk tak berguna.

Sehari sebelum lebaran, dapur akan dipenuhi bahan makanan siap olah. Beberapa menu telah dipersiapkan Mama saya. Tenaga perempuan di rumah hanya kami (saya dan mama, si adik bungsu masih bocah). Naluriah saya sebagai perempuan remaja akhir bergerak, “Saya harus membantu, apapun itu”.

Sudah bisa diduga, pekerjaan saya berat: mengiris bawang merah yang menguras air mata; membungkus buras—serupa lontong yang dibungkus dengan daun pisang; memegang kepala ayam ketika papa ingin menyembelih (oops, papa juga turut membantu); ke warung dekat rumah untuk membeli bahan tertinggal yang disiapkan mama; mencuci sayuran; siap disuruh bolak-balik kemana saja.

Dan ketika saya memegang ujung kepala sodet dengan jarak aman dari wajan berisi minyak panas dan kepala-kelapa ikan bandeng, saya bertanya ke mama “Ma, apa selama ini saya ada gunanya?” Mama saya tersenyum “Kenapa bertanya seperti itu, tentu saja ada gunanya.”

Puji Tuhan, jawaban Mama saya semakin membuat saya merasa tak berguna.

Beberapa kali masakan saya sukses membuat si pemakan mual, bahkan muntah.

Saya mencoba belajar memasak, semata demi memenuhi kodrat penuh seorang perempuan. Saya orangnya simpel dan tak suka bertele-tele, karenanya, semua bumbu dapur yang ada di depan mata, saya ulek saja. Bukankah pada akhirnya, semua bumbu itu nasibnya memang harus bersatu dalam satu kuah? Jadi saya berfikir, mau diuleg, dicacah, atau diproses seperti apapun, asalkan tercampur, maka bereslah perkara.

Waktu itu saya memasak ikan bandeng kuah kuning ala kampung saya. Saya memotong tiga bagian ikan bandeng berukuran sedang, mencucinya bersih, merendam ikan di perasan asam mangga, mengulek bumbu, mencampurkan bumbu dan ikan, dan tidak lupa menuang dua sendok minyak kelapa, lalu memasaknya sampai matang.

Entah apa yang salah dalam proses memasak saya sehingga masakan itu terasa eneg. Lima perempuan termasuk saya mengalami mual-mual dan seorang diantaranya muntah.

Kali lain, kejadian yang hampir serupa juga pernah terulang. Saya pernah mencoba memasak Mie Kuah yang setelah melalui proses yang melelahkah, ternyata hasilnya malah mirip gelang karet.

Jadi, ada beberapa indikasi bagaimana cinta itu datang. Saya payah untuk kesemuanya.  Saya perempuan, dan sampai usia saat ini, saya masih merasa gagal untuk mencintai dapur.

Sekali lagi saya bertanya, apakah perempuan harus mencintai dapur? Saya memulai tulisan ini dengan pertanyaan, dan maaf kalau saya mengakhirinya dengan pertanyaan pula.

Exit mobile version