Anggaran Lem Aibon dan Alasan ‘Salah Ketik’ Tak Masuk Akal

Anggaran Lem Aibon dan Alasan ‘Salah Ketik’ Tak Masuk Akal

Anggaran Lem Aibon dan Alasan ‘Salah Ketik’ Tak Masuk Akal

MOJOK.COAnggota DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia William Aditya Sarana menemukan anggaran belanja lem aibon senilai Rp82,8 miliar dalam APBD DKI Jakarta 2020.

Temuan itu ada pada anggaran belanja barang dan jasa dengan mata anggaran 5.2.2.01.01 Belanja Alat Tulis Kantor. Unsur ramainya adalah karena komponen yang dianggarkan untuk diadakan adalah lem aibon dengan volume yang nggak main-main:

37.500 orang x 12 bulan x Rp184.000,- = Rp82.800.000.000,-

Oya, informasi sedikit, ada kesalahan pada sistem DKI Jakarta yang mana mata anggaran belanja alat tulis kantor menurut Bagan Akun Standar seharusnya 5.1.2.01.01.

Terbatas dari foto itu ditambah narasi sang wakil rakyat, kesimpulan sementaranya DKI Jakarta butuh lem aibon dalam jumlah begitu masif. Di toko online, harga lem dengan merek asli Aica-Aibon itu kurang lebih Rp50 ribu sekilonya. Anggaplah dapat harga diskon karena beli banyak sehingga Rp184 ribu itu bisa dapat 4 kilogram. Artinya, DKI Jakarta butuh lem aibon sebesar 1.800 ton.

Dengan volume sebesar itu, kita dapat menempelkan tubuh cebong dan kampret di seluruh Indonesia supaya terjadi persatuan dalam arti harfiah.

Angka Rp82,8 miliar juga dimaknai sebagai angka yang sangat masif karena setara dengan anggaran 3-4 kantor instansi vertikal yang ada di daerah-daerah untuk operasional selama setahun penuh. Jangan tanyakan pula konversi angka 82,8 miliar itu untuk membeli ayam pop—varian lauk nasi Padang paling mahal. Dijamin jiwa kemiskinan kita akan meronta-ronta.

Seperti biasa, karena sudah ramai, maka wartawan akan menghubungi pejabat untuk klarifikasi. Pagi ini (30/10), pernyataan yang keluar dari pejabat terkait untuk urusan ini adalah “Itu sepertinya salah ketik, kami sedang cek ke semua komponennya untuk diperbaiki”.

Dalam kasus semacam ini, pernyataan salah ketik memang adalah argumen termudah yang bisa dilontarkan untuk menjawab pertanyaan wartawan. Bilang salah ketik itu sudah pasti menunjuk pelaksana yang salah. Dalam pola administrasi yang masih kental unsur Weber seperti di Indonesia, paling enak memang menyalahkan yang paling bawah karena nggak akan ngelawan juga. Dalam konteks anggaran DKI Jakarta, maka pastinya yang dimaksud adalah para PNS DKI yang tunjangannya bikin minder PNS Pusat itu.

Pemikiran saya simpel saja, masak iya orang-orang yang digaji tinggi itu bisa salah ketik untuk anggaran yang nilainya sampai 82,8 miliar? Angka itu jika dibagi dengan UMP DKI Jakarta, maka untuk mengumpulkannya seorang PNS butuh hidup 60 tahun, mati, hidup lagi 60 tahun, mati lagi, hidup lagi 60 tahun, mati lagi. Demikian terus hingga nominal tersebut terkumpul pada reinkarnasi keempat.

Penyusunan APBD DKI 2020 dilakukan berdasarkan Permendagri 33/2019. Sebelum diangkut ke media sosial oleh si anggota DPRD, proses penganggaran sudah dimulai sejak awal tahun, mulai dari RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), lanjut ke Kebijakan Umum APBD (KUA), hingga sekarang Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS), dan diakhiri dengan Rancangan APBD. Jadi prosesnya suatu anggaran bisa dientri itu sudah panjang, nggak serta-merta langsung dijustifikasi salah ketik.

Ketika masih aktif di pegawai negeri, saya sempat menjadi operator tukang entri anggaran di sistem. Kegiatan ini adalah salah satu yang terkejam karena yang dientri benar-benar satu demi satu komponen. Seperti saya bilang tadi, ada proses panjang sebelum suatu anggaran bisa dientri. Mana mungkin sih PNS level remah-remah roti di bawah keset berani asal entri kalau nggak ada dasarnya?

Apalagi di era Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) seperti sekarang ini, urusan bikin anggaran semakin nggak boleh asal, apalagi ngentrinya. Sebagai tukang entri, yang saya pahami adalah setiap satuan kerja itu sudah dikasih anggaran total yang akan dikelola berikut anggaran total per output.

Mari kita sederhanakan konsep output ini. Semisal anak kuliahan dikasih uang 20 juta rupiah setahun untuk target kinerja “lulus kuliah”, maka pembagiannya adalah

5 juta untuk menunjang output “terdaftar di perkuliahan”
12 juta untuk output “tetap sehat dan waras dalam menjalani hidup perkuliahan”
3 juta untuk output “tetap dapat dihubungi orang tua atau mau menghubunginya”

Angka 3 juta itu bisa dirinci lagi menjadi sekian untuk pulsa telepon dan sekian untuk paket internet. Sekian-sekian itu yang kira-kira sama dengan rincian lem aibon yang jumlahnya besar sekali itu.

Jadi, kalau semata-mata dibilang salah ketik atau salah entri, untuk angka 82,8 miliar itu sulit sekali meyakininya. Soalnya, kalau ada kesalahan entri atau ketik angka, toh tukang entri sudah dikasih patokan total anggaran untuk yang dientri. Kalau salah entri kelebihan nol ya sudah pasti ketahuan karena terjadi selisih di penjumlahan akhir. Sebodoh-bodohnya tukang entri, pasti ngeh dengan hal ini.

Potensi salah ketik paling mungkin hanya terjadi pada lem aibon. Akan tetapi, salah ketik lem aibon kok bisa sepaket sampai satuan kilogram dan harga yang setara dengan harga pasar? Kalau lem aibon tapi satuannya rim dan/atau harganya Rp50 ribu baru kita bisa pahami bahwa memang terjadi salah ketik sebagaimana dimaksud sebagai pembelaan diri tersebut.

Pola perencanaan anggaran setiap tahunnya semakin rapi dan semakin banyak fungsi kontrolnya. Jadi, kalau sampai ada angka yang kemudian diakui salah, maka yang pertama-tama harus disalahkan mestinya adalah pengendaliannya, bukan langsung staf yang entri—yang notabene juga nggak akan ngelawan kalau disalahkan. Kalau toh memang tukang entri melakukan kesalahan, kok ya angka yang salah itu bisa bablas sampai tayang? Berarti nggak dicek, dong?

Dalam konteks transparansi anggaran ini, bilang salah ketik sama saja dengan para artis yang video bokepnya tersebar terus dengan santai bilang editan.

Tukang edit video pasti paham bahwa ngedit nempel muka pada video itu bukan hal mudah, beda sekali dengan foto. Belum lagi kalau yang dimaksud itu kan editan muka ketika sedang wik-wik. Jelas beda dengan muka ketika lagi ngartis, misalnya. Argumentasi paling cocok ketika video bokep sebenarnya tinggal bilang “itu bukan saya” atau “cuma mirip”.

Pada kasus video mirip salah satu aktris yang terkini, misalnya, tanpa harus sang aktris melakukan sanggahan ke media, para pengamat bokep di grup WhatsApp setempat sudah bisa bilang itu bukan sang aktris hanya dari dua hal. Pertama, hotelnya kok buruk amat untuk level seorang artis papan atas. Kedua, latar suara pada video itu jelas bukan bahasa Indonesia.

Argumentasinya kuat, dapat dibuktikan, dan otomatis dapat diterima. Demikianlah seharusnya argumen yang dibangun untuk membantah soal lem aibon ini.

BACA JUGA Yang Sebaiknya Anda Lakukan Jika Punya Duit 1,5 Triliun atau artikel Alexander Arie lainnya.

Exit mobile version