Andai Bapak Tidak Jadi Caleg, Mungkin Motor Saya Saat Ini Kawasaki Ninja

MOJOK.CO – Kalau mengisi daftar pekerjaan orang tua, waktu itu saya isi aja CALEG DPR RI, karena saat itu saya kira status kayak gitu merupakan sebuah profesi.

Tidak terasa pelaksanaan Pemilu 2019 tinggal menghitung hari. Besok pada tanggal 17 April kita akan mencoblos dan katanya akan menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan. Tapi sadarkah kita bahwa Pemilu besok ini tidak hanya tentang siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden, tapi juga siapa yang akan menjadi wakil-wakil rakyat, baik di daerah maupun pusat?

Saya sendiri dan keluarga memiliki memori kelam tentang Pileg yang akan menentukan siapa saja wakil rakyat kita. Pemilu 10 tahun yang lalu, 2009, Bapak saya menjadi salah satu Calon Legislatif DPR RI Periode 2009-2014.

Saat itu, umur saya belum genap 7 tahun. Tentu saja saya tidak paham apa-apa, yang saya tahu hanyalah saat itu Bapak menjadi caleg (tanpa tahu arti caleg itu apa). Bahkan, saat itu saya mengira bahwa caleg adalah sejenis profesi, sehingga saat ada pengisian blanket di sekolah, saya mengisi kolom pekerjaan orang tua dengan isian “CALEG DPR RI”.

Bisa dibilang, Bapak adalah caleg dengan modal low budget  pada saat itu. Setahu saya, tidak pernah ada reklame atau spanduk yang memasang wajah Bapak. Media promosi pada saat itu hanyalah semacam brosur kecil-kecilan yang menampilkan profil beserta wajah Bapak.

Oh ya, saya juga ingat bahwa sesi photoshoot yang dilakukan Bapak hanyalah bermodal kamera keluarga dengan fotografer kakak saya sendiri. Pakaiannya pun bukan setelan jas lengkap seperti caleg lain, hanya baju rapi dengan sarung kekecilan dan pecis yang sebenarnya adalah milik saya yang kebetulan muat di kepala Bapak.

Tim pemenangan pun juga hanya dari kalangan teman-teman Bapak dan keluarga besar. Meski begitu jangan salah, walau terkesan low budget seperti itu, saya tahu kalau tabungan Bapak terkuras habis untuk pileg pada saat itu.

Pendidikan Bapak sebenarnya juga tidak bergengsi untuk sekelas calon legislatif DPR RI. Meski berlabel almamater UGM, tapi Bapak belum menamatkan S1-nya pada saat itu. Ya, karena Bapak sudah telanjur mendapatkan pekerjaan menjadi wartawan di salah satu tabloid yang kelak akan dibredel oleh Mbah Harto.

Saat itu Bapak menjadi caleg DPR RI dengan Dapil Surakarta dan sekitarnya, padahal kami sekeluarga dari dulu sampai sekarang tinggal di Sleman. Kondisi ini menyebabkan Bapak dan Ibu harus bolak-balik Jogja-Solo setiap harinya. Kadang-kadang saya yang masih duduk di bangku SD juga diboyong ke Solo dan baru kembali ke rumah saat larut malam.

Sayang, pengorbanan yang dilakukan Bapak dan tim tidak berbanding lurus dengan hasilnya. Bapak kalah, bahkan di kota kelahirannya sendiri. Segala waktu, tenaga, material yang sudah dikorbankan Bapak untuk pileg kala itu melayang begitu saja.

Tabungan Bapak benar-benar terkuras habis. Bahkan segala harta kami yang laku dijual harus dikorbankan. Termasuk dua buah mobil yang kala itu menjadi penanda status sosial.

Setelahnya, Bapak mulai kehilangan arah. Pernah mendengar kabar caleg yang menjadi gila karena kalah? Bapak saya hampir menjadi salah satunya. Bapak tidak melakukan apa-apa selama beberapa bulan. Hanya diam saja di rumah.

Satu tahun setelah kekalahan itu, kabar mengejutkan datang dari Senayan. Kompetitor Bapak yang berasal dari partai yang sama meninggal dunia.

Sesuai peraturan yang ada, apabila ada anggota DPR yang mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan, maka penggantinya adalah caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua.

Saya tidak tahu Bapak berada pada urutan ke berapa, tapi yang saya tahu belum lama ini adalah Bapak dulu sempat dijanjikan menjadi anggota DPR oleh salah satu tokoh nasional yang menjadi pembina partai. Caranya dengan bergantian dengan salah satu caleg lain. Masing-masing dua tahun untuk tiap caleg yang mau.

Akan tetapi, apa yang sudah disepakati oleh semua pihak pada saat itu akhirnya dikhianati juga. Bapak saya tidak pernah mendapatkan haknya sekalipun. Si pembina partai yang dulunya berjanji, meminta mahar politik.

Mulailah pada saat itu, keluarga kami membenci pembina beserta partainya tersebut. Bahkan saya tahu ibu saya menjadi sangat begitu benci apabila melihat si pembina ini muncul di televisi nasional.

Pada Pilpres 2019 ini, beliau juga ikut andil dengan terang-terangan mendukung salah satu paslon. Beliau sangat sering menggunakan isu agama untuk menyerang kubu lainnya.

Beliau juga pernah mengatakan hal yang sangat menyakitkan—terutama—bagi kami. Katanya, “Jangan sampai ada politik uang.”

Halah mbelgedes, Mbaaah… Mbah.

Apabila ada yang bertanya, siapa si pembina partai yang saya maksud? Beliau merupakan salah satu penggerak reformasi. Dia begitu dielu-elukan pada saat itu. Namun, sebagian besar orang menganggap ia sendiri yang pada akhirnya mencederai reformasi tersebut.

Pada dasarnya kami sekeluarga sudah melupakan kenangan pahit itu. Tapi terkadang saya bertanya-tanya, kenapa Bapak mengambil resiko menjadi caleg?

Padahal saat itu bisa dibilang keluarga kami adalah keluarga yang sudah berkecukupan. Bahkan, Bapak juga mempunyai pekerjaan yang sangat baik, staf di departemen pendidikan dengan gaji yang sangat besar. Entah, saya sendiri tidak berani menanyakan alasan Bapak mencoba menjadi anggota DPR.

Satu hal yang saya petik dari semua rentetan cerita ini adalah begitu mahalnya idealisme. Apabila Bapak tidak memilikinya, bisa saja Bapak mengemis jabatan ke orang-orang yang dulu telah mengkhianatinya. Tapi hal itu tidak pernah dilakukannya. Idealisme memang mahal, walau menyakitkan.

Tan Malaka dengan idealisme justru mati di tangan bangsa yang dia perjuangkan. Munir selalu mendapat perlawanan keras akibat idealismenya sampai akhirnya dibunuh. Bahkan Widji Thukul belum juga kembali sampai saat ini.

Saya tidak keberatan dan menyesal dengan kekalahan Bapak. Justru saya bersyukur, dengan kekalahan ini, kami lebih menghargai kehidupan.

Bapak juga terhindar dari ancaman dosa besar dari wakil-wakil rakyat yang lebih berpeluang untuk menjadi tikus negara.

Namun terkadang, sisi kemanusiaan saya muncul, saya sering berpikir mungkin saja apabila Bapak tidak jadi caleg, motor yang saya pakai sehari-hari ke sekolah saat ini adalah Kawasaki Ninja yang—bagi keluarga saya saat ini—begitu mahal.

Tapi kenyataannya, saya hanya memakai motor keluarga yang usianya sama dengan usia saya saat ini. Bisa saja sebenarnya saya meminta dibelikan motor Kawasaki Ninja tersebut, tapi pasti tidak akan diberi. Lagian, saya juga tahu diri.

Mungkin berbeda cerita kalau Bapak menjadi anggota DPR atau dulu Bapak tidak nekat mencoba menjadi anggota DPR. Karena saya jadi layak kalau mengumandangkan lagunya NDX AKA, “Pak, ora Ninja, ora cintaaa, Pak.”

Exit mobile version