MOJOK.CO – Pembongkaran makam tokoh Sunda Wiwitan dihantam lewat jalur legalitas. Dibongkar karena tak ada IMB, tapi waktu ngurus IMB nggak boleh. Ajaib!
Dalam sebuah wawancara, Bung Karno pernah menyampaikan wasiat tentang bagaimana dan di mana blio ingin dimakamkan. Sayangnya, setelah wafat, Bung Karno dimakamkan tidak di tempat dan dengan cara sebagaimana yang blio harapkan.
Bung Karno pun akhirnya dimakamkan di Blitar, bersebelahan dengan makam ibunya sesuai dengan pilihan Soeharto, presiden waktu itu.
Bung Karno jelas tak mungkin melayangkan gugatan atas keputusan sepihak pemakaman dirinya tanpa menimbang apa yang pernah dia wasiatkan. Ahli warisnya pun, tak punya wewenang menggungat keputusan pemerintahan Soeharto karena sudah dikudeta bukan lagi penghuni istana.
Perihal pemakaman yang tak sesuai harapan orang yang dimakamkan tidaklah pengalaman Soekarno seorang, baru-baru ini Pangeran Djatikusumah, seorang tokoh Sunda Wiwitan pun mengalami kejadian serupa. Dan hampir sama pula, urusan pemakaman yang telah diwasiatkan Pangeran Djatikusumah pun justru dicampuri oleh negara.
Kamu mungkin juga baca beritanya, bahwa pertengahan Juli lalu, Satpol PP yang diiringi oleh beberapa ormas berbondong-bondong melakukan penyegelan terhadap bangunan makam yang tengah didirikan.
Kalau nasib pemakaman Soekarno dibredel oleh perhitungan politis, sementara tokoh adat Sunda Wiwitan dihantam oleh faktor agama dan politik secara bersamaan. Sebuah cobaan yang memperlihatkan betapa sial nasib pihak yang dikategorisasi sebagai liyan di Indonesia.
Hidup di Indonesia memang tidaklah ramah bagi kelompok-kelompok minoritas. Jangankan untuk menjalankan amanat warga negara, amanat konstitusi pun kalau tak memberi peruntungan bagi para penguasa tidak akan dipenuhi hak-haknya.
Dalam politik, tidak ada istilah lupa membaca konstitusi. Semua yang dihasilkan lewat keputusan-keputusan politis pasti telah melewati perhitungan untuk-rugi sebagai pertimbangan paling mendasar yang harus mereka perhitungkan. Termasuk dalam hal bentuk makam tokoh Sunda Wiwitan yang dicekal oleh urusan yang diseret-seret ke arah administrasi.
Ya, persoalan yang kini heboh dalam bingkai diskriminasi agama itu tidaklah murni soal administrasi belaka. Melainkan masalah yang lahir dari pertautan agama dan politik yang mau tak mau akhirnya membentuk hambatan berupa administrasi perizinan. Dalam artian, timbangan politik dan agama dikanalisasi ke dalam prosedur Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Penyegelan yang dilakukan terhadap makam yang tengah dibangun oleh masyarakat adat tersebut, disebut-sebut karena belum mengantongi IMB. Meskipun masyarakat telah mengajukan IMB, tetap saja Pemerintah Daerah—Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu—sebagai yang berwenang mengeluarkan izin menolaknya.
Pada audiensi yang dilakukan dengan pihak DPRD Kuningan, alasan yang diberikan sangat mengejutkan, yakni belum ada juklak dan juknis terkait bangunan makam tokoh Sunda Wiwitan yang didirikan di atas tanah keluarga.
Bupati Kuningan kemudian mengakui bahwa langkah penyegelan tersebut sebagai langkah persuasif dan yang paling baik untuk dilakukan.
(((Langkah persuasif yang paling baik)))
Sekilas, pernyataan demikian dapat dibenarkan, pasalnya jika satu hal yang dilarang secara administratif untuk dilakukan, maka pihak yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan administrasi yang diminta untuk memperoleh izin. Sebab, dikhawatirkan sesuatu yang dikerjakan akan menimbulkan perkara kerugian/bencana bagi pihak lain.
Namun, apabila melihat persoalannya berupa ketiadaan juklak dan juknis dari IMB yang dipersyaratkan, maka tentu saja persoalannya bukan pada makam yang tak memenuhi syarat, melainkan pada pemaksaan agar bangunan makam untuk mengantongi izin yang tidak ada wujudnya, alias belum mereka bikin.
Alhasil, siapa yang tidak dibuat bingung dengan logika Pemda Kuningan? Di satu sisi, masyarakat dituntut memenuhi persyaratan, di sisi lain mereka tidak membuat persyaratannya.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk dapat mengantongi IMB? Tentu jawabannya tidak ada, sebab pada dasarnya tak ada jalan yang disediakan Pemda untuk masyarakat agar mereka dapat memperoleh IMB.
Ajaib benar bukan? Dibongkar karena nggak ada IMB, tapi ketika ngurus IMB tak diperbolehkan.
Tapi, barangkali hanya mahasiswa Hukum Administrasi Negara yang terperangkap dalam logika administratif ala birokrat yang njlimet begini.
Skema administrasi prosedural yang membuat seolah-olah persoalan makam adalah murni urusan administrasi an sich yang dingin dan kaku. Padahal, persoalan makam adalah persoalan hak dasar warga negara untuk menjalankan keyakinannya.
Soal keyakinan ini siapapun tahu telah dijamin oleh konstitusi, tapi tak perlu berlama-lama membahas konstitusi untuk permasalahan yang lahir bukan disebabkan oleh konstitusi.
Saya katakan demikian sebab, sedari awal kegiatan pembangunan makam tersebut telah ditolak oleh berbagai ormas Islam, termasuk organisasi yang katanya adalah wadah yang mempertemukan organisasi keislaman di Indonesia, yakni MUI.
Tidak hanya MUI yang memang sudah biasa tak perduli dengan kaum minoritas, organisasi lain seperti FPI, LPI, Gardah, Markaz Harokah Aswaja, dan Harokatul Muslimin pun ikut andil menopang legitimasi proses penyegelan makam.
Alasannya, karena khawatir umat muslim menjadikan makam tersebut sebagai tempat pemujaan dan sumber lahirnya kemusyrikan.
Ebuset.
Logika yang sama yang digunakan kala menghukumi bahwa pakaian yang tidak syar’i sebagai alasan yang melahirkan kejahatan pemerkosaan. Sekalipun tubuh yang diperkosa milik si korban, tetap saja pelaku harus dilindungi dengan mengatur pakaian si korban.
Begitu pula dengan kasus di atas, meskipun lahan yang digunakan untuk makamtokoh Sunda Wiwitan tersebut merupakan lahan milik pribadi keluarga, tetap saja yang disalahkan adalah si pemilik lahan sekalipun orang lain asal masuk ke lahan miliknya dan melakukan prosesi pemujaan di makam yang jelas-jelas itu adalah tanah orang.
Membayangkan peristiwa salah seorang masyarakat yang tiba-tiba rusak akidahnya karena melihat makam dan seketika masuk ke lahan orang lain sembari melakukan proses pemujaan yang entah seperti apa bentuknya itu, membuat kita terseret pada alam pikiran ribuan tahun ke belakang.
Lucunya, logika primitif ini pula yang dimapankan oleh Pemda lewat birokratisasi penyegelan makam yang sarat dengan bias agama. Sialnya, jumlah masyarakat adat yang terdiskriminasi tersebut tak memiliki keuntungan elektoral bagi Pemda, mengingat sebentar lagi memang mau ada pilihan.
Alhasil, kalau dihitung-hitung keuntungannya, lebih baik mendukung mayoritas yang memiliki kekuatan dukungan yang lebih menjanjikan bagi keuntungan politis ketimbang berpihak pada masyarakat adat yang justru menyebabkan hilangnya banyak dukungan.
Toh, kalau mau ada yang memprotes perilaku Pemda setempat dengan melihat kembali UUD 1945, pada pasal 29 ayat 2 yang legendaris itu, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu,” maka bisa dipastikan kamu tidak melihat tanda bintang pada pasal-pasal itu.
Ya maklum, syarat dan ketentuan berlaku soalnya.
Dan dalam bayangan penganut Sunda Wiwitan, bukan tidak mungkin gara-gara kasus ini mereka bakal kepikiran, “Bagiku agamaku adalah agamaku, tapi agamamu kok agak maksa bagiku.”
BACA JUGA Sunda Wiwitan Melawan Diskriminasi atau tulisan Ang Rijal Amin lainnya.