MOJOK.CO – Tuturan format komik tentang Sejarah Nusantara nyatanya dapat tersebar dalam beberapa judul komik panjang maupun pendek. Ini 13 di antaranya.
Ada sepotong insiden berkaitan komik pada 17 Mei 2019. Lokasi kejadiannya di media sosial Twitter dan Instagram. Tepatnya di akun @jokowi milik Presiden Joko Widodo.
Hari itu, baik itu akun Twitter maupun Instagram sang presiden sama-sama menampilkan unggahan fotonya membubuhkan tapak asma ke setumpuk buku. Itu merupakan wujud ucap selamat dari Presiden Jokowi untuk peringatan Hari Buku Nasional.
Setidaknya sejak saya menulis ini, unggahan di Twitter memanen setidaknya 760 komentar serta 135 quote tweets; unggahan di Instagram menuai sampai dengan 7.419 komentar.
Ya, sebenarnya itu bentuk kerja kehumasan lazim dan rutin seorang pejabat tinggi negara saja pada hari-hari berlabel peringatan. Pendahulu maupun penggantinya tentu juga mengerjakannya hal-hal kehumasan demikian.
Nah, yang menarik bagi saya adalah unggahan Twitter maupun Instagram @jokowi itu menjadi bahan ledekan dari beberapa warganet. Dengan kepo sekitar lima menit pada unggahan di Twitter, saya segera mendapati setidaknya ada 30 komentar yang mencela Jokowi.
Unggahan foto yang di Instagram beroleh cemooh kurang lebih senada. Jumlahnya tak juga sedikit. Dalam hal ini, kata “komik”, termasuk dua judul manga populer, Shinchan, dan Doraemon, ternyata ikut dibawa-bawa secara peyoratif.
Memang sih berbagai cemooh tadi tak bisa juga dilepaskan dari faktor pendengung dari pihak lawan politik Jokowi. Pasalnya, tanggal pengunggahan masih di suasana jelang Pemilihan Umum Presiden 2019.
Intinya sih jika disimpulkan: Jokowi diledek sebagai orang yang kurang intelek, cuma sanggup membaca komik, bukan buku berbasis teks yang dipandang lebih berbobot kontennya.
Disadari atau tidak, pencemooh-pencemooh tadi sejatinya sekaligus meremehkan komik dan para pembacanya. Komik diasosiasikan sebagai bacaan yang kekanak-kanakan, kurang bisa dibanggakan keilmiahannya, hanya berdasarkan fiksi serta fantasi.
Berbagai cemooh yang mampir ke akun Twitter dan Instagram millik Jokowi turut mencuplikkan bias lawas yang dulu sangat lekat dekat komik, yakni pada 1950-an hingga 1980-an, ketika komik dipandang penuh curiga sebagai sumber dekadensi oleh kaum tua hingga penguasa republik ini.
Alhasil penguasa menjadi terobsesi mengendalikan peredaran komik dengan sekian macam garis-garis kaidah moralis. Tentang tahun-tahun ketika komik dipandang penuh curiga tadi, Fadrik Aziz Firdausi mengisahkannya secara apik di Tirto dalam tulisan “Mengawasi Komik ala Rezim Moralis Orde Baru”.
Kini secara umum, persepsi terhadap komik pun agaknya telah jauh membaik. Belum lama ini saya membuat polling sederhana tentang persepsi orang terhadap komik. Dari 243 yang mengisi, 58% ternyata memilih komik sebagai bacaan asyik yang bisa juga mendidik. Yang mendefinisikan komik sebagai bacaan ringan menghibur mengekor dengan 365 voter.
Ini mengindikasikan telah adanya kelompok masyarakat yang menyadari potensi edukasional yang dipunyai medium komik. Namun, polling lain yang saya buat sekitar dua tahun lalu dan diikuti 292 voter di Twitter menunjukkan bahwa komik tidak menjadi rekomendasi bacaan utama bagi anak usia sekolah.
Komik hanya menempati urutan ketiga. Ia kalah dari bacaan semacam novel dan tulisan sastra lainnya yang menempati urutan pertama. Kalah juga buku nonfiksi populer.
Tidak harus berupa fiksi
Purwanto Setiadi pernah menulis artikel “Dalam Kemasan Komik”, termuat di halaman 8 Ruang Baca edisi 39, Juni 2007, yang merupakan suplemen khusus bulanan Koran Tempo.
Dalam artikel itu, antara lain dengan membandingkan definisi komik oleh Scott McCloud dan Will Eisner, Purwanto berkesimpulan bahwa, “Jelas, tidak spesifik disebutkan bahwa informasi atau cerita atau gagasan yang dimaksud haruslah berupa fiksi.”
Nyatanya komik memang dapat dimanfaatkan untuk menuangkan hal-hal non fantasi. Lihat saja bagaimana Larry Gonick sampai dapat dapat menghasilkan belasan komik terbukukan bertema matematika, sains, sejarah, hingga filsafat dan politik. Lalu lihat pula bagaimana Yuval Noah Harari merasa perlu menghadirkan format grafis alias komik bagi buku superlarisnya, Sapiens.
“Apa salahnya jika disebut komik? Itu tidak akan melunturkan nilai pengetahuan berharga yang ada di dalamnya.”
Demikian komentar Larry Gonick suatu kali tentang pemanfaatan format komik untuk tema-tema nonfiksi, sebagaimana dikutip Angela Dewi dalam artikel “Manusia Cro Magnon dengan Cat Semprot”, yang merupakan bagian juga dari Ruang Baca edisi 39, Juni 2007.
Tuturan format komik tentang Sejarah Nusantara nyatanya dapat tersebar dalam beberapa judul komik panjang maupun pendek. Kreatornya pun ada beberapa komikus. Tentang Sejarah Nusantara Kuna yang meliputi 15 abad pertama dari Tarikh Masehi, saya menemukan kurun sepanjang itu terangkum kisahnya oleh 13 judul komik karya 4 komikus.
Berikut ulasan singkatnya.
1 & 2: Kartun Riwayat Peradaban II dan Kartun Riwayat Peradaban III
Dua judul komik ini adalah dua jilid dari pentalogi komik sejarah dunia karya maestro komik nonfiksi asal Amerika Serikat, Larry Gonnick: Kartun Riwayat Peradaban. Dalam judul asli bahasa Inggrisnya, titelnya adalah The Cartoon History of the Universe.
Kurator Pameran Museum Sonobudaya Yogyakarta, Ayu Dipta Kirana, menyebut seri Kartun Riwayat Peradaban-nya Gonick sebagai, “Punya mutu setara buku sejarah text-book.”
Tampilan visual komik ini sebagaimana terwakili oleh judulnya berupa kartun. Bukan sesuatu yang sangat mewah maupun memanjakan mata. Lebih mengingatkan kepada gaya kartun strip dan karikatur di koran-koran Amerika Serikat. Namun, soal akurasinya sebagai suatu bacaan bertema sejarah, komik ini sangat bisa diandalkan.
Gonick terang menunjukkan rujukan ilmiahnya, tercantum sebagai beberapa halaman paling belakang, bersama daftar nama dan indeks. Asyiknya, Gonick mampu menyelipkan penuturannya dengan beraneka jokes yang cerdas.
Berhubung komik-komik ini sebenarnya mengulas sejarah dunia secara keseluruhan, maka porsi bagian yang spesifik mengulas tentang Nusantara sejatinya sangat pendek. Kita hanya akan menemukan pembahasan tentang Indianisasi Nusantara sejak sekitar abad I Masehi hingga orang-orang di Jawa, Sumatera, Malaya, dan Kalimantan dapat memeluk Hindu-Buddha, juga lantas membangun candi-candi.
Di sini, Gonick memilih menggunakan mix antara teori ksatria dan teori brahmana sebagai pihak yang menjadi pengaruh budaya India di Nusantara.
Lalu, ada juga sedikit ulasan tentang Nusantara selama dikunjungi Ekspedisi Cheng Ho pada abad XV alias 1400-an. Namun, membaca sekuen-sekuen selebihnya dari dua komik ini, di luar sekuen yang spesifik ulas tentang Nusantara, sungguh tidak ada ruginya.
Kita akan mendapatkan pemahaman bahwa apa yang terjadi di Nusantara pada abad I-XV memiliki keterkaitan dengan rangkaian peristiwa di berbagai belahan dunia lainnya, khususnya India, China, dan Timur Tengah.
3: Borobudur: Pusaka Abadi nan Jaya
Komik karya Handoko Vijjananda terbit pada 2013. Dengan demikian, komik ini terhitung paling muda di dalam daftar 13 komik yang hendak kita ulas ini. Ilustrasinya bisa dibilang menampilkan pengaruh ala manga. Panel-panel tampil secara sepenuhnya berwarna.
Secara konten, komik ini dapat menjadi paket komplit pengantar pengetahuan tentang Candi Borobudur. Kita beroleh cerita ringkas pembangunan Candi Borobudur pada 750-825 Masehi. Tak ketinggalan juga beroleh cerita tentang serangkaian teori tentang alasan pemindahan sentrum kekuasaan Kemaharajaan Medang alias Mataram Kuna dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad X Masehi atau tahun 900-an.
Oh ya, komik ini sekaligus mengikhtisarkan kisah-kisah yang terpahatkan sebagai relief-relief Candi Borobudur. Mulai dari Mahakarmawibhangga yang terkubur di bagian kaki, 13 fragmen yang menjadi bagian rumpun cerita Jatakamala, 5 fragmen dari Awadana, juga dua lakon panjang lain yang bertitel Lalitawistara dan Gandawyuha.
4, 5, & 6: Kerajaan Sriwijaya, Airlangga, dan Raden Wijaya Lawan Kubilai Khan
Tiga komik ini sama-sama ringkas dalam jumlah panel maupun lembar halaman. Ketiganya tidak tampil dalam buku tersendiri. Masing-masing berihwal sebagai komik pendek yang tampil di Album Ganesha, yakni suatu terbitan berkala berupa album kompilasi komik-komik edukatif yang diterbitkan oleh majalah anak-anak, Bobo.
Tiga komik pendek ini sungguh menampilkan kisah sejarah yang digambarkannya dengan narasi yang merujuk kepada prasasti seperti Kedukan Bukit dan Pucangan, catatan kuno bangsa asing seperti dihasilkan Yi Cing/I-Tsing, juga kitab kuno seperti Arjunawiwaha dan Pararaton.
Ilustrasinya pun sedap dipandang serta tampak sangat realis karen tampil full color. Detail busana dan bangunan pun sangat diperhatikan akurasinya oleh sang komikus.
Kerajaan Sriwijaya yang merangkumkan sejarah Pesisir Timur Sumatera, Selat Malaka, dan Jawa Bagian Barat pada abad VII – XIV Masehi dimuat dalam Album Ganesha edisi Desember 1996.
Airlangga yang berkisah tentang Jawa Timur abad XI Masehi, juga Raden Lawan Kubilai Khan yang berkisah tentang Jawa Timur akhir abad XIII Masehi, sama-sama dimuat dalam Album Ganesha Edisi Khusus Sejarah yang terbit Januari 1996. Tiga komik pendek ini juga pernah diterbitkan pihak Bobo dalam suatu komik format lebar bertitel Seri Sejarah Nasional: Penegak Dinasti.
Komikus kreator Kerajaan Sriwijaya, Airlangga, dan Raden Wijaya Lawan Kubilai Khan adalah Wid NS, salah satu legenda dunia komik Indonesia. Ia adalah pula kreator tokoh jagoan super Godam yang menjadi bagian Jagat Sinema Bumilangit bersama para adiwira asli Indonesia lain seperti Gundala dan Sri Asih.
7 & 8: Ken Arok 1 dan Ken Arok 2
Komik tentang tokoh pendiri Wangsa Rajasa ini lagi-lagi ini merupakan karya Wid NS sang kreator Godam. Tampilan visual komik full color dan lebih rinci serta filmish jika dibandingkan Kerajaan Sriwijaya, Airlangga, dan Raden Wijaya Lawan Kubilai Khan.
Secara segmen usia pembaca, dibandingkan tiga komik pendek yang berasal dari Album Ganesha tadi, maka Ken Arok 1 dan Ken Arok 2 agaknya juga menarget usia lebih di atasnya, yakni hingga remaja. Busana, bangunan, dan pengadegan terbilang ditampilkan detail. Penceritaan isi komik terutama merujuk isi kitab Pararaton.
Dua jilid komik ini diterbitkan oleh Penerbit Misurind. Penerbit ini pada sekitar 1980-an tercatat banyak juga menerbitkan komik-komik superhero maupun antihero asal Barat, mulai dari Batman, Spiderman, hingga Punisher.
9, 10, 11, 12, & 13: 5 Jilid Seri Imperium Majapahit
Komik Pentalogi ini diterbitkan oleh Elex dengan format besaran komik ala manga. Ilustrasinya hitam putih seperti umumnya manga yang beredar di pasaran Indonesia pada 1990-an.
Sebagaimana bisa terbaca dari titel serinya, maka komik ini berkisah tentang Kemaharajaan Majapahit dari awal berdiri hingga keruntuhannya. Malah jilid 1 sebenarnya banyak memiliki porsi cerita tentang runtuhnya Singasari karena pemberontakan Jayakatwang.
Pembagian masing-masing jilid terbitan dari Imperium Majapahit tepatnya terdiri dari Imperium Majapahit 1: Runtuhnya Singhasari; Imperium Majapahit 2: Berdirinya Majapahit; Imperium Majapahit 3: Pemberontakan Dharma Putra; Imperium Majapahit 4: Sumpah Palapa; lalu terakhir adalah Imperium Majapahit 5: Runtuhnya Majapahit.
Komikus kreator pentalogi Imperium Majapahit adalah Jan Mintaraga. Sebagaimana Wid NS, Jan pun adalah termasuk jajaran komikus legendaris Indonesia.
Jan, sang komikus kelahiran Wates, dalam pengamatan saya menggarap Imperium Majapahit dengan kedisiplinan perujukan sumber sejarah yang sangat baik. Dalam lembar demi lembar Imperium Majapahit, ada aroma kuat isi Pararaton, Nagarakretagama, Kidung Harsawijaya, dan prasasasti-prasasti pihak Majapahit.
Jan mampu pula menggambarkan tokoh-tokoh dalam Imperium Majapahit dalam balutan busana yang sangat bisa dipercaya sebagai busana era Jawa Kuna.
Namun, narasi cerita Imperium Majapahit sama sekali tidak kaku. Dalam beberapa sekuen, Jan memanjakan pembacanya dengan penggambaran adegan laga yang dahsyat.
Putri Jan Mintaraga, Lorraine Riva, yang kini bermukim di Belanda, berkenan berbagi sedikit cerita kepada saya via Twitter tentang proses kreatif ayahnya dalam mencipta komik.
“Bapak saya gambar perempuan dalam seri komik sejarah Majapahitnya pakai kemben untuk perempuan biasa dan dodotan untuk perempuan bangsawan. Papa referensinya banyak baca memang. Ada Nagarakretagama dan Babad Tanah Jawi di rumah waktu itu. Kemudian, dia sering riset baca naskah di Arsip Nasional, sejauh ini bisa. Waktu itu kan belum ada internet.”
BACA JUGA Selain Ken Arok, Milenial Emang ‘Doyan’ Kena Tipu Penguasa dan esai-esai Yosef Kelik lainnya.