Mereka yang Haramkan Tahlilan dan Shalawatan Mungkin Mengukur Diri Terlalu Tinggi

MOJOK.CO“Mungkin orang yang mengharamkan tahlilan dan shalawatan itu levelnya sudah sekelas para Sahabat, nggak perlu perantara. Kalau aku, ya jangan ketinggian aja ngukur diri sendiri,” kata Gus Mut.

Sudah beberapa hari Mas Is selalu datang salat jamaah di masjid. Hal semacam ini tentu jadi sebuah pemandangan yang menyegarkan bagi Gus Mut. Mas Is merupakan sedikit warga kampung yang sebelumnya sangat jarang salat di masjid. Jangankan salat di masjid, salat fardu lima waktu saja Mas Is dulu suka bolong-bolong.

Sampai suatu ketika Mas Is mendatangi kediaman Gus Mut untuk menanyakan beberapa hal. Tentu dengan modus ingin main catur biar nggak dikira mau macam-macam.

“Gus, saya mau tanya beneran ini,” tanya Mas Is sambil bermain catur di teras kediaman Gus Mut.

“Ya silakan,” kata Gus Mut sambil melukir raja dengan bentengnya.

“Kenapa sih kalau habis salat itu Gus Mut dan jamaah yang lain suka nyebut zikir keras-keras—bahkan kadang sampai geleng-geleng kepala segala?” tanya Mas Is.

“Lah memangnya kenapa, Is?” tanya Gus Mut.

“Ya setahu saya kan yang kayak begitu nggak pernah diajarkan para Nabi dan Sahabat. Zikir keras-keras sampai harus geleng-geleng kepala. Apa yang kayak begitu juga bisa masuk kategori mengada-adakan ibadah, Gus? Kan Nggak ada contoh langsungnya,” tanya Mas Is.

“Oh, soal itu,” kata Gus Mut sambil sedikit menjauh dari papan catur, “Ya kalau aku sih karena aku nggak bisa kayak para Sahabat saja untuk membangun kekhusyukan.”

“Maksudnya, Gus?” tanya Mas Is.

“Kalau aku ikutin cara para Sahabat yang zikir sambil berdiam diri, meringkuk fokus kayak begitu, ya takutku aku malah ketiduran, Is,” kata Gus Mut sambil terkekeh.

“Loh, masa sedang ingat Allah kok malah ketiduran, Gus? Kan nggak mungkin banget?” tanya Mas Is.

“Nah itu. Masalahnya aku ini nggak sekuat Sahabat atau Nabi. Yang dalam diam beliau-beliau itu bisa terus selalu ingat sama Allah. Lha wong Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah kena anak panah dan ketika dicabut dalam keadaan salat beliau bisa nggak kerasa sakitnya kok karena begitu khusyuknya. Sedangkan aku ini siapa? Cuma manusia biasa. Yang kalau sedang dapat rezeki kadang lupa sekelebat sama sosok Allah. Baru kalau kena musibah aja orang macam aku ini ingat Allah,” kata Gus Mut.

Mas Is diam sejenak. “Aku juga begitu sih, Gus. Nggak setiap saat selalu ingat sama Allah. Cuma kan aneh saja menurutku kalau kita melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada tuntunannya pada masa Nabi terus kita tambahi-tambahi pada zaman sekarang,” kata Mas Is.

“Jadi begini Is, kamu harus tahu dulu jauhnya perbedaan kita dengan para Sahabat,” kata Gus Mut

Mas Is menjalankan salah satu menterinya sambil mempersiapkan kupingnya untuk bersiap mendengarkan penjelasan Gus Mut.

“Sahabat itu kan saksi langsung ibadah-ibadah dalam agama Islam ini muncul, Is. Karena hidup bersama Rasulullah, hati mereka juga sudah terbuka secara langsung dengan Allah. Sedangkan kita yang jauh-jauh ini, baik dari masa, daerah, bahasa, maupun kebudayaannya butuh jembatan-jembatan agar bisa nyambung,” jelas Gus Mut sambil menjalankan benteng.

“Jembatan? Jembatan dalam bentuk apa ini maksudnya?” tanya Mas Is.

“Sekarang aku tanya, zaman Sahabat itu, apakah mereka butuh hadis?” tanya Gus Mut.

Mas Is berpikir sejenak.

“Ya jelas nggak butuh lah, Gus,” jawab Mas Is.

“Kenapa?” tanya Gus Mut.

“Ya karena hidup berbarengan sama sumber hadis. Kan tinggal tanya ke Rasulullah,” kata Mas Is.

“Tepat,” jawab Gus Mut cepat.

“Maksudnya, Gus?” tanya Mas Is.

“Ya tepat. Bahkan tidak cuma hadis, Is. Al-Quran dalam bentuk mushaf tertulis saja tidak ada karena memang tidak dibutuhkan. Lha wong para sahabat hapal semuanya kok. Apa isinya, bagaimana cara bacanya, bahkan sampai apa maksud ayat tersebut. Mereka nggak perlu ilmu tafsir, nggak perlu ilmu tajwid, bahkan nggak perlu bisa baca karena udah hapal,” kata Gus Mut.

Mas Is masih menyimak. Gus Mut lalu melanjutkan.

“Nah, ketika Rasulullah wafat, Islam perlu disebarkan. Padahal nggak semua orang di Mekah itu hapal Al-Quran, akhirnya dibukukan biar orang yang nggak hapal bisa baca, bisa belajar. Islam lalu mau disebarkan di luar Mekah, masalahnya yang bisa baca tulisan Arab bukan cuma orang Arab. Akhirnya oleh Abul Aswad Ad Dua’li diberi titik-titik sebagai harakat, lalu oleh Al Khail bin Ahmad Al Farahidi dikasih tanda tasydid, hamzah, tanda sukun, lalu oleh Al Hajaj bin Yusuf dikasih tanda titik untuk membedakan ba’ dengan ya’, ta’ dengan tsa’ dan sebagainya,” kata Gus Mut.

“Wah sampai sejauh itu ya perbedaan pada zaman Sahabat dengan di zaman kita,” komentar Mas Is.

“Itu belum selesai, Is. Karena setelah itu masih ada Abu Ubay Al Qosim sebagai bapaknya ilmu tajwid. Tata cara membaca Al-Quran. Biar ketika dibaca nggak salah arti dan maknanya untuk orang-orang yang bahasa ibunya bukan Bahasa Arab,” terang Gus Mut.

Mas Is cuma manggut-manggut.

“Sekarang aku tanya, apa yang kayak begitu, mereka juga mengada-adakan ibadah?” tanya Gus Mut.

“Ya nggak sih, Gus, kalau mereka. Kan mereka cuma bikin sesuatu agar bisa dipahami orang secara luas. Ini tentu beda dengan zikir yang keras-keras, tahlilan, bahkan sampai shalawatan segala. Lagian ini sama sekali nggak ada sangkut pautnya sama Al-Quran tho, Gus?” tanya Mas Is.

Gus Mut tersenyum mendengarnya.

“Soalnya aku ini dulu pernah diajari oleh guru ngajiku agar jangan terlalu tinggi mengukur diri sendiri, Is,” jawab Gus Mut.

“Maksudnya, Gus?”

“Ya karena Sahabat itu tidak perlu tahlilan, shalawatan, atau zikir keras-keras karena hati mereka sudah nyambung langsung dengan Allah dan Rasulullah. Maqom mereka memang sudah sangat tinggi. Sedangkan aku ini perlu perantara. Berupa shalawatan untuk selalu ingat dengan Rasulullah, perlu tahlilan supaya ingat selalu bahwa aku ini juga bakal mati dan menghadap Allah, sampai perlu zikir keras-keras biar hati ini bisa khusyuk. Tanpa itu semua aku ini kesulitan, Is. Aku itu nggak mau jadi hamba yang kemaki,” kata Gus Mut.

“Berarti orang-orang yang mengharamkan tahlilan, shalawatan, sampai zikir keras-keras itu sebenarnya dasar pemikirannya benar juga ya Gus?” tanya Mas Is.

“Iya, mereka juga benar. Tahlilan sampai shalawatan itu memang nggak ada di zaman Nabi dan para Sahabat. Mungkin orang-orang yang mengharamkan itu memang maqomnya sudah setinggi Sahabat dan para tabi’it tabi’in, sehingga tidak perlu perantara tahlilan atau shalawatan, kayak aku ini. Kalau aku sih ya itu tadi; jangan ketinggian saja mengukur diri sendiri,” kata Gus Mut.

Mas Is merenung mendengar penjelasan Gus Mut.

Sampai tiba-tiba Gus Mut menjalankan menterinya.

“Skak mat, Is,” kata Gus Mut tiba-tiba.

Mas Is terkejut, dipikirnya Gus Mut lengah sehingga tidak memerhatikan langkahnya bermain catur. “Wah, Gus Mut curang, aku lagi nggak fokus,” kata Mas Is.

“Nah, makanya kalau nggak bisa langsung fokus, cari perantara, Is,” kata Gus Mut kali ini tertawa dengan sangat keras.

Exit mobile version