Palu, Sigi, dan Donggala Bangkit Bersama Canda Tawa

MOJOK.COPeristiwa gempa di Palu, Sigi, dan Donggala bikin warga berduka dan menderita. Namun, kebangkitan itu nyata terjadi. Dan, canda tawa selalu mengiringi.

Kisah ini saya himpun dari beberapa orang warga Dusun Karawana, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Lebih tiga pekan saya tinggal bersama mereka, belajar banyak hal dari warga yang perlahan bangkit tinggalkan duka dan sedih, bangkit kembali agar bisa hidup sebagaimana biasa sebelum gempa yang diikuti Tsunami dan likuifaksi mengacak-acak kehidupan di Palu dan sekitarnya, termasuk Desa Karawana.

Salah satu pelajaran berharga dari gempa di Palu, Sigi, dan Donggala yang saya dapat, banyak warga Desa Karawana menjadikan adegan-adegan yang terjadi ketika gempa besar mengguncang pada Maghrib, 28 September 2018, sebagai lelucon, bahan tertawaan.

Mulanya mereka mengkonstruksi adegan yang mereka alami saat gempa Palu begitu serius. Mereka menceritakan semua itu masih dengan rasa takut sembari terus memuji Asma Allah. Lambat laun, ketika pikiran semakin tenang, konstruksi adegan hadirkan kisah-kisah kocak terselip di dalamnya.

“Awalnya tentu kami semua ketakutan. Mengingat hari itu, rasa takut dan sedih datang lagi. Kalau sekarang, sudah bisa tertawa kami. Memang banyak juga kejadian lucu saat gempa besar terjadi. Daripada kami terus-terusan sedih dan berduka, baik kami terus coba bangkit agar hidup kembali normal. Kejadian-kejadian ketika gempa, ya sudah, biar sudah. Jangan dilupakan dan tidak mungkin kami lupakan. Jadi, baik kami tertawakan saja.” Ujar Pak Umar yang diamini banyak warga lainnya.

Pak Umar sedang bersiap pulang ke rumah dari sawah garapannya ketika gempa besar mengguncang. Tanah bergerak, bergeser horizontal, dan berguncang vertikal. Beberapa bagian tanah di sawah miliknya retak. Rekahan tanah yang terbuka menganga mencapai lebih dua meter dengan kedalaman bervariasi antara satu hingga tiga meter.

Sesaat sebelum gempa terjadi, salah seorang rekannya membayar uang pupuk kepadanya sebesar Rp4 juta. Uang berada dalam saku celana ketika ia terjatuh ke dalam tanah yang terbuka menganga.

Ketika akhirnya berhasil menyelamatkan diri keluar dari lubang besar menganga, ia sadar uang dan rokoknya tertinggal, terjatuh.

“Uang memang itu, bikin hilang konsentrasi. Awalnya saya hanya ingat Allah. Hanya Allah saja. Begitu sadar uang empat juta jatuh., Allah hampir saya lupakan.” Ujar Pak Umar diikuti gelak tawa kami yang mendengar kisahnya.

Kemudian Ia menambahkan, “Kapan hari kalau itu sawah sudah bisa saya garap lagi, saya khawatir padi yang saya tanam malah tumbuh bulir-bulir uang.” Uang Pak Umar memang tidak ditemukan, di tanah tempat uang Pak Umar jatuh, retakan tanah kembali menutup. Unik.

Pak Arnis sedang mandi ketika guncangan gempa 7,4 SR yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala menggoyang dinding-dinding kamar mandi dan merobohkan beberapa bagian dinding rumahnya. Ia bergegas menyelamatkan diri keluar kamar mandi dan keluar rumah.

Pak Arnis mendapat gelar orang paling subur di Desa Karawana kini. Anaknya berjumlah 12 orang, dua orang meninggal dunia, sepuluh masih hidup dan tinggal di Desa Karawana. Ketika guncangan reda dan Pak Arnis sudah berada di tempat aman. Ia lekas mengabsen satu per satu anaknya. Ia baru sadar bahwa Ia telanjang bulat ketika keliling mencari anaknya.

“Ah cuek saja sudah. Saya harus memastikan seluruh anak saya selamat dulu. Pakaian nanti-nanti saja sudah. Yang penting nyawa kami selamat. Jadi saya keliling itu sembari tutup saya punya burung pakai tangan kiri.” Terang Pak Arnis. Lagi-lagi kami tertawa.

Seorang anak, kita sebut saja namanya Mamat, bukan nama asli, usianya delapan tahun. Ia bercerita kepada saya. Ketika gempa, ia sedang berada di masjid, ikut salat Maghrib berjamaah. Gempa terjadi saat salat memasuki rakaat kedua, persis setelah imam selesai membaca al fatekah, eh al fatihah maksud saya, Pak Jokowi.

“Jadi Kakak, begitu imam selesai baca “waladdhoolin”, seluruh jamaah itu bukan lagi bilang “amin”, tapi kami semua teriak, “gempaaaaaaa!” Lalu lari keluar masjid.” Ujar Mamat. Kami tertawa cekikikan.

Ia kemudian menambahkan, “Semua orang rebutan paling cepat keluar masjid. Saya jatuh, bangun, jatuh lagi, bangun lagi, lalu cepat lari. Saya lihat Pak Ustaz terjatuh, ini kesempatan, saya injak saja badannya. Baru bantu dia berdiri dan kami sama-sama keluar masjid.”

“Kenapa kamu injak badan ustaz?” Tanya saya.

“Malam sebelumnya saya kena marah karena tidak hapal doa. Kena hantam juga saya. Ya saya balas sudah.” Jawab Mamat, kali ini kami tertawa terbahak. Betul-betul terbahak-bahak.

Selanjutnya, setiap kali selesai ikut salat berjamaah di masjid, saya akan lekas mencari Mamat, kemudian berujar, “Mat, tadi selesai al fatihah kamu bilangnya “amin” atau “gempa”?”

Tamam, juga bukan nama asli, anak seusia Mamat. Ia sedang berak ketika gempa mengguncang. “Karena kerasnya hempa, itu tai saya yang sudah jatuh ke tempatnya, terhambur keluar ke lantai kamar mandi, Kakak.” Wah ini, pasti kocak ini, “Terus gimana itu kelanjutannya, Mam?” Tanya saya.

“Saya mau lari malah jatuh kena tai. Mau menyelamatkan diri keluar malu karena badan kena tai. Ya sudah saya diam saja di kamar mandi.” Terang Tamam.

Yang menarik, empat sisi dinding kamar mandi tempat Tamam berak tidak roboh. Sementara bagian lain rumah tempat Ia dan keluarga tinggal, ambruk. Jika Tamam ketika itu memaksa keluar, kemungkinan besar Ia akan tertimpa rumahnya yang ambruk.

“Jadi kakak, saya ini sebenarnya diselamatkan oleh tai. Tai, kakak. Sekali lagi, tai.” Ujar Tamam disambut gelak tawa semua dari kami yang mendengar kisahnya di posko yang sedang ramai.

“Pada mulanya, kejadian-kejadian itu, membikin kami takut, sedih, kecewa, dan macam-macam perasaan tidak enak lain. Itu membikin kami terpukul. Kami tidak mau terus begitu. Kami harus bangkit. Hidup sebagaimana biasa lagi. Dan, menjadikan kejadian-kejadian yang kami alami itu sebagai bahan tertawaan kini. Itu cukup membantu kami bangkit dari sedih dan duka.” Ujar Mama Din kepada saya sekali waktu.

Palu, Sigi, Donggala dan daerah sekitar berduka dan menderita. Namun, kebangkitan warga setelah peristiwa itu sangat terasa. Dan, canda tawa, tawa lepas bahagia selalu mengiringi kebangkitan itu.

Exit mobile version