Mengajukan Permohonan Beasiswa dengan Nota Pembelian Minyak Tanah

MOP-Nota-Minyak-Tanah-MOJOK

MOJOK.CO – “Bidadari surga untuk Pole yang cuma punya rekening lampu minyak.”

Kiat Rajin ke Masjid

Hari itu, Padali dan Pole hendak ke masjid. Sebagai muslim taat, mereka berdua seringkali berangkat bersama untuk salat Magrib di masjid besar sambil berjalan kaki.

“Pole, ngana tau, keutamaan salat Magrib itu sangat tinggi, loh,” ucap Padali membuka percakapan.

“Asal ngana tau, orang yang salat Magrib itu langkah kakinya akan terdengar di surga. Setiap langkahnya merupakan doa dan bidadari surga akan berebutan menyambut kita di pintu surga nanti.”

Mendengar kata ‘bidadari’, Pole yang sedari dulu masih berstatus jomblo ini merasa tertarik dengan obrolan temannya.

“Eh tunggu dulu. Yang tadi ngana bilang itu termasuk hadis?” tanya Pole dengan wajah penasaran.

“Oh nyanda. Itu cuman hoaks membangun, biar ngana makin rajin salat.”

 

Lupa Bacaan

Di lain waktu, Padali diserahi tugas mengimami salat di musala asrama. Sebagai orang yang pernah menghafal surah Al-Baqarah, Padali memilih melantunkan penggalan surah tersebut seusai membaca Al-Fatihah.

Tetapi kali ini, Padali lupa sambungan ayat yang hendak ia rapalkan. Sialnya, makmum juga tak tahu menahu dengan sambungan ayat tersebut.

Berkali-kali Padali mengulangi awalan ayat, berkali-kali pula ia lupa. Makmum hanya memilih diam tanpa membantu sedikitpun sambungan ayat yang mesti ia baca.

Karena sudah mentok, Pole yang jadi makmum langsung menyahut dari belakang.

“Pre memory…”

 

Minuman Eropa

Berhubung Padali baru dapat honor dari Mojok, dia mau berbagi rejekinya dengan Pole dan mentraktir makan di restoran Eropa. Selepas kuliah, mereka melipir ke daerah Gejayan untuk makan siang.

“Pokoknya ngana pesan jo. Kita yang bayar.”

Pole tersenyum mendengar tawaran temannya.

Selepas makan, Pole meminta rokok ke Padali sambil menghabiskan jus buah yang sudah dipesan.

“Bagaimana, enak toh depe makanan? (Enak kan makanannya?)”

“Iyo. Mar kita rasa ini restoran banyak ba tipu.”

“Loh, memangnya kenapa?”

“Coba ngana rasa dulu kita punya jus. Tadi kita pesan nangka Belanda, eh ternyata cuman sirsak. Kalo cuman ini buah, hampir  tiap hari kita makan di kampung.”

“Sssttt… jangan keras-keras. Ngana ba diam saja,” sergah Padali.

“Sedangkan kita ada pesan watermelon, ternyata yang muncul semangka. Kita kira leh watermelon ini air melon (air jeruk). Jadi torang dua sama-sama dapa tipu sudah.”

 

Liburan Dulu

Libur semester tiba. Padali yang hobi mendaki, berniat mengajak Pole untuk ikut pendakian ke Merbabu. Semuanya sudah direncanakan dan disiapkan Padali, mulai dari peralatan hiking, logistik, dan kendaraan bermotor.

Pukul 4 sore, Padali menjemput Pole di kosan yang terletak di daerah Gowok.

“Eh, ngana ini serius mo pigi (pergi) mendaki atau tidak?” Padali keheranan melihat penampilan Pole tanpa pakaian pendakian.

“Eh serius ini. Justru saya yang mau bertanya sama ngana, ngana ini mau pigi naik gunung atau ke pesta?”

“Loh, maksudnya apa, Pole?”

“Ini ngana so deng gaya (Ini kamu sok banyak gaya).”

“Oh, ini bukan gaya-gayaan, Pole, tapi standar pendakian. Biar safety,” Padali berusaha menjelaskan ke Pole perihal pakaian yang ia kenakan.

“Bukan main ngana. Biasa di kampung pete (petik) cingkeh di gunung cuman modal sarung, sekarang ngana so pakai jaket.

“Ini lagi. Bawa tas besar (maksudnya carrier), padahal di kampung biasa pikul cingkeh pakai karung.

“Itu lagi sepatu so sama deng tentara (sepatu sudah mirip punyanya tentara). Padahal biasa naik gunung cuman pakai sandal swallow.”

Padali cuman memaki-maki dalam hati mendengar perkataan temannya.

 

Gantian Dulu, Sob

Padali masih menyimpan dendam lantaran tadi habis dikatain banyak gaya oleh Pole. Dia mulai cari cara untuk melampiaskan kekesalan hatinya.

Di perempatan Monjali, Padali mulai membuka obrolan.

“Eh, baku ganti dulu bawa motor.”

“Nanti saja. Saya nda punya SIM ini. Pas masuk kampung saja.”

Padali  menurut saja. Pikirnya, selepas daerah Muntilan, dia akan gantian mengemudikan motor.

Memasuki daerah Ketep Pas, Padali menepi dan langsung menawari kemudi ke Pole.

“Sekarang sudah masuk kampung ini. Nda ada Polisi. Gantian dulu.”

“Eh, ngana Padali pe bodok he..”

“Eh kenapa lagi ini bilang bodok sama kita?” Padali mulai emosi.

“Ini motor nda ada sema-sema, tako kita mo tabale (Ini motor gak ada katir–penyeimbang perahu yang terbuat dari bambu—saya takut terbalik).”

“Sialan. Kita so lupa kalo ngana cuman tau bawa perahu, bukan bawa motor.” Padali tepuk jidat.

 

Urus Beasiswa

Karena Pole termasuk mahasiswa yang berasal dari daerah terpencil, pihak kampus berinisiatif memberikan beasiswa full study kepada Pole. Selain mensyaratkan berkas perkuliahan semisal KHS, Pole juga diwajibkan melampirkan rekening listrik sebagai acuan ekonomi keluarganya.

Selang seminggu, ia dipanggil oleh pihak kampus ke ruangan Dekan Fakultas.

“Mas Pole, maaf, saya ini hanya mau menanyakan, kenapa berkasmu kok belum lengkap?”

“Ah, saya sudah kasih lengkap itu, Pak. Mungkin tercecer di tata usaha.”

“Oh, bukan itu maksud saya, Mas. Ini loh, kenapa kok malah melampirkan nota pembelian minyak tanah, bukannya rekening listrik?” Pak Dekan menyerahkan nota yang dimaksud.

“Oh, saya punya mama bilang, tolong sampaikan ke Pak Dekan, di sini lampu pake minyak, bukan listrik. Jadi cuman ini torang punya bukti rekening lampu.”

Pak Dekan terdiam. Miris sekaligus tersenyum simpul…

Exit mobile version