Lupa Tak Pakai Cawat, Kemaluan Terlihat Mengilat

MOJOK.CODaeng Patiro lupa tak pakai cawat. Dari jauh, kemaluannya nampak mengilat. Salah sangka, Daeng Patiro bangga sekali dipuji “mengilat”.

Selama ini sa bercerita hanya mengandalkan ingatan sewaktu sa SD. Memang di masa-masa SD lah, sa bersama kawan-kawan di kampung gemar bertukar cerita lucu. Pada waktu itu, berkumpul dan bercerita melewati malam di bangku gerbang kampung adalah pilihan satu-satunya.

Seperti sa ungkapkan di MOP pertama, kala itu tivi-tivi masih satu dua biji. Mau pergi nonton pun susah. Sebab terkadang kami yang waktu itu masih kanak-kanak, tidak dibukakan pintu sama pemilik rumah yang bertivi. Jadi hiburan kami satu-satunya kala malam tiba, terpaksa, memilih bertukar cerita lucu.

Mari kita mulai saja.

Bukan becak, Kemaluan Daeng Patiro yang mengilat

Sa ingat betul cerita sa punya kawan, La Sukro nama samarannya. Jadi ceritanya begini. Ada orang Muna, agar lebih gampang, sebut saja namanya La Ege (mudah-mudahan La Ege da tida akan protes, namanya terus disebut) bertetangga dengan seorang tukang becak berdarah Bugis. Yang akrab disapa Daeng Patiro.

Dari teras rumahnya, La Ege da amati Daeng Patiro seharian sibuk mengecat becaknya. Keesokan harinya, La Ege dia da datangi Daeng Patiro yang tengah duduk santai dengan kedua kaki terbuka di atas becaknya.

“Mengilat Daeng!” Sapa La Ege.

Betapa bangganya Daeng Patiro mendengar sapaan bernada pujian dari La Ege itu. Dia merasa tidak sia-sia lelah selama da cat becaknya. Melengkapi kebanggaanya, Daeng Patiro membalas sapaan La Ege.

“Baru dicat ini Ege. Bagus toh?” Balas Daeng Patiro. Daeng pikir La Ege da nilai cat becaknya yang baru, ternyata bukan.

“Bukan becaknya kune Daeng. Tapi itu.” Sahut La Ege sembari menunjuk selangkangan Daeng Patiro.

Daeng Patiro duduk santai di atas becak hanya mengenakan sarung. Dan dia tidak sadar anunya kelihatan karena tidak mengenakan sempak atau dalaman. Jadi yang da maksud mengilat La Ege itu sebenarnya isi sarung burung Daeng Patiro.

Pak Imam khilaf karna onde-onde

Tak habis cerita, La Sukro melanjutkan ceritanya. Ada seorang imam desa yang orang Muna biasa sebut Modhi. Imam desa ini memiliki kelainan, da candu sekali makan onde-onde. Onde-onde di Muna meskipun tetap bulat bentuknya, tapi bahannya berbeda dengan onde-onde pada umumnya karena terbuat dari singkong parut yang isinya gula merah dan diproses lewat penggorengan. Singkatnya, onde-ondenya Muna kalo disantap isi gula merahnya mencair dalam mulut.

Suatu malam, Pak Imam memimpin doa syukuran di rumah La Ege. La Ege sekeluarga duduk bersila melingkar dengan hikmat mendengar lantunan doa yang dibaca Pak Imam. Biasanya, acara baca syukuran di Muna, di tengah lingkaran orang-orang, disuguhkan aneka jenis makanan tradisional termasuk onde-onde untuk disantap selepas acara doa.

Sebelum doa usai, tiba-tiba listrik padam sesaat. Lantunan doa Pak Imam selesai di tengah kegelapan ruang keluarga rumah La Ege. Masih dalam suasana gelap, Pak Imam berulah. Takut dapat sedikit onde-onde, jadi pas listrik mati, da masukan beberapa biji onde-onde dalam songko atau kopia. Tak lama kemudian, listrik menyala kembali. Seketika La Ege sekeluarga kaget melihat cairan merah gelap menyusur jatuh di dahi pak Imam.

“Pak Imam, da kenapa itu dahi?” Tanya La Ege.

Mendengar pertanyaan itu spontan pak Imam menyeka wajahnya pake tangan kosong. Cairan yang menyusur tadi menempel di jari tangan Pak Imam.

“Wado, bisanya ini onde-onde da pecah.” Gumam Pak Imam dalam hati, setelah da tahu onde-onde di dalam songkonya ada yang pecah. Lalu da menjawab tanya La Ege.

“Aulahu (OMG) sa punya bisul di kepala da pecah e.” Jawab pak Imam.

Dokter Binatang

Kali ini sa akan menulis cerita sa punya kawan dari Papua yang kebetulan satu kampus dengan saya. Ciko namanya. La Ciko da bercerita suatu kisah dari Papua.

Di salah satu kampung di Papua, hidup tete (kakek) dan nene (nenek). Suatu waktu, nene tiba-tiba jatuh sakit parah. Tete pun akhirnya panik dan pusing mo bawa nene ke rumah sakit tapi rumah sakit itu sangat jauh dari kampung. Dan di kampung itu hanya terdapat seorang dokter hewan. Tete akhirnya mau-tidak mau ambil keputusan bawa nene ke dokter hewan yang ada di kampungnya.

“Dokter Binatang!!! Dokter Binatang!!! Dokter Binatang!!!” Teriak tete sambil mengetok pintu rumah Bapak Dokter hewan.

“Ada apa tete?” Tanya Bapak Dokter.

“Bapak Dokter, tolong obat dulu nene ada sakit ini.” Pinta tete ke Bapak Dokter.

“Tete, ko gila, kah? Sa ini dokter hewan.” Ucap Bapak Dokter.

“Tida apa Bapak Dokter, nene juga pandai merawat ternak. Sudah kenal betul sama hewan-hewan. Obati sudah.” Tete terus yakinkan Bapak Dokter.

Exit mobile version