Setelah dokter jaga di IGD memeriksa, menjelang tengah malam saya segera dikirim ke kamar perawatan di lantai empat, kamar 407, untuk menunggu keputusan dokter selanjutnya. Itu sebuah kamar yang bagus, kelihatannya baru selesai direnovasi. Sebuah kamar kelas 1 untuk dua pasien yang luas, dilengkapi wastafel di kamar, dua sofa, televisi, jam dinding, serta kamar mandi yang kerannya mengalirkan air dingin dan panas. Maka, sejak malam itu saya tidur di kamar perawatan rumah sakit besar itu sebagai pasien BPJS. Tapi, semudah itukah pasien BPJS mendapat kamar perawatan dan penyakitnya mendapat perhatian dokter?
Saya tak punya jawaban karena pasien BPJS punya pengalaman masing-masing dan setiap rumah sakit punya kebijakannya sendiri. Cerita pengalaman ini sebagian dikisahkan pasien dan keluarga mereka saat mereka dirawat sekamar dengan saya di bangsal kelas 2 kamar perawatan pascaoperasi, yang memuat empat pasien. Ada yang masuk karena harus segera dioperasi, ada yang masuk karena rujukan dari rumah sakit provinsi di Sumatra yang tidak punya punya fasilitas bedah, ada yang masuk karena langsung ke IGD (bukan lewat klinik) dan menjelaskan kegawatan penyakit pasien (konon cara ini yang kemudian banyak digunakan pasien).
Seorang pasien dari Jambi bercerita, di sana, sebuah rumah sakit hanya mau merawat pasien BPJS paling lama empat hari. Sembuh tidak sembuh harus pulang.
Yang bisa saya jelaskan, saya dirawat dan dioperasi di rumah sakit itu selama hampir tiga bulan karena kebaikan banyak orang. Ini klise, tapi seperti itulah faktanya.
Suatu hari seorang sahabat menelepon seorang dokter kenalannya, M. Dia dokter sekaligus aktivis kemanusiaan yang sering dan banyak membantu korban-korban kekerasan yang mendapat perawatan di rumah sakit. Kepada Dokter M sahabat saya menceritakan penyakit dan keadaan yang saya hadapi sembari meminta tolong agar saya bisa dirawat di rumah sakit. Dokter M setuju membantu dan malam itu membawa saya ke rumah sakit, meskipun proses lumrahnya tidak segampang itu.
Sebelum membawa saya ke rumah sakit, konon M sudah mendapat rekomendasi dari Dokter K, mantan direktur rumah sakit yang saya tuju. Sebagai tentara berpangkat mayor jenderal, dia pensiun setahun sebelum saya dirawat, tapi sebagai dokter dia tetap mendapat ruang di rumah sakit itu karena dia salah satu spesialis urologi terbaik.
Dokter K setuju. Dia lantas menghubungi sejawatnya, Dokter R, salah seorang spesialis ortopedi terbaik yang masih berdinas untuk “mengurus” saya. Mereka sepakat. Saya mendapat perawatan dan perhatian. Kongkalikong? Mungkin saja, tapi saya tak peduli. Saya hanya fokus pada penyakit saya karena ingin sembuh, ingin kembali sehat.
Pengalaman saya sebelumnya menggunakan BPJS di rumah sakit besar tingkat provinsi milik pemerintah DKI Jakarta membuktikan, kami pasien BPJS (yang sebagian besar hanya bisa berobat ke rumah sakit milik pemerintah) diperlakukan seperti pasien kelas kere yang hanya diperiksa atau ditangani oleh dokter-dokter praktik yang, celakanya, juga tak bisa mengambil keputusan apa-apa karena tak punya otoritas. Sampai-sampai ada yang mengeluh, jangan-jangan pasien BPJS hanya dijadikan “kelinci percobaan” para mahasiswa dokter spesialis.
Saya pernah menanyakan hal itu pada dokter spesialis yang memeriksa saya di rumah sakit swasta besar. Dia PNS, seorang dokter negara yang mendapat gaji dari pemerintah. Tapi, jam praktiknya di berbagai rumah sakit swasta jauh lebih banyak ketimbang praktiknya di rumah sakit pemerintah. Dia membantah soal pasien BPJS yang seolah jadi “kelinci percobaan” mahasiswa dokter spesialis. Katanya, para mahasiswa memang harus mendapat kesempatan menangani pasien, tetapi mereka juga “tidak dibiarkan” karena harus membuat laporan rutin dan ada evaluasi.
Saya setuju dengan pendapatnya. Problemnya, kenapa mahasiswa dokter spesialis itu yang selalu dijumpai di rumah sakit? Mengapa mereka tidak didampingi? Sebanyak apa jumlah mereka dan seefektif apa mereka membantu dokter spesialis yang sebenarnya?
Saya tak mau berdebat. Saya hanya tahu, memang tak mudah bagi pasien BPJS mendapat perawatan dan perhatian. Di tulisan sebelumnya saya sudah menceritakan, untuk biopsi saja saya harus mengajukan surat permohonan kepada direktur rumah sakit untuk pembelian jarum suntik seharga 2,5 juta. Saya sudah mengajukan dan entah kapan sang direktur akan membaca surat saya. Untuk bertemu (konsultasi pertama) dengan dokter onkologi (ahli kanker), saya diminta menunggu tiga bulan. Di rumah sakit pemerintah terbesar yang menjadi rujukan dari seluruh pelosok negeri, antrean pasien bisa mencapai tiga ribuan. Bayangkan nasib pasien yang penyakitnya sudah parah.
Saya pernah menyaksikan seorang pasien yang tidak kebagian kursi di ruang tunggu dan tak mendapat kursi roda seperti saya. Dia hanya berdiri menunggu giliran dipanggil untuk kontrol karena beberapa hari sebelumnya selesai dioperasi. Sejam dua jam, tidak ada yang terjadi. Tapi menjelang siang kakinya penuh darah. Dia mengalami pendarahan dari bekas operasinya. Barulah pada saat itu dokter meminta perawat membawanya ke IGD.
Tapi, pihak rumah sakit dan dokter juga tak bisa begitu saja disalahkan. Keterbatasan jumlah dokter dan perawat, ruang perawatan dan tindakan, obat yang terbatas, akan membuat keputusan sulit diambil, selain soal birokrasi dan, konon, sulitnya menagih uang jaminan ke BPJS. Perilaku pasien kadang juga berlebihan. Mereka tak mengerti prioritas karena hanya influenza pun mereka minta dirawat.
Maka, saya tak peduli disebut menggunakan privilege saat masuk dan dirawat di rumah sakit itu. Saya pemegang kartu BPJS pribadi yang setiap bulan membayar iuran dan dijamin oleh negara untuk mendapat perawatan. Dan di rumah sakit itu saya mendapatkannya.