Tujuh Perilaku Buruk untuk Bertahan Hidup

Baca cerita sebelumnya di sini.

Perilaku buruk nomor satu adalah menendang kucing dengan kaki kanan, meskipun menendang dengan kaki kiri juga sebetulnya termasuk perilaku buruk. Apa pun alasannya, menendang kucing, baik dengan kaki kanan ataupun kaki kiri, adalah tindakan tercela yang dilarang oleh si kepala plontos.

“Sudah berapa lama menderita polip? Kau pasti benci banget dengan kucing, ya? Padahal Charlie Parker ini kucing paling bersih se-kelurahan,” katanya. Kami baru selesai menonton film yang bosannya minta ampun. Kurasa, selama film itu diputar, aku telah menguap empat ratus kali. Tapi kalian tahu, aku baru bisa berbaring tiga puluh menit kemudian karena menunggu si kucing gembrot turun dari atas kasur. Itu pun masih dengan tambahan bersin-bersin selama satu abad.

“Charlie memang suka caper kalau ada orang baru,” imbuhnya. Mungkin dia sadar dengan kelakuan kucingnya yang hobi keluar masuk kamar. “Eh, ngomong-ngomong sudah ingat namaku belum?”

Perilaku buruk nomor dua tentu saja adalah mengingat nama orang dengan buruk. Untuk yang satu ini, hukuman bagi orang yang bersangkutan adalah tidak ada hukuman. Lagi pula, buat apa menghukum diri sendiri? Toh, bagi sebagian orang, nama bahkan tak ada artinya. Seperti yang baru saja ia katakan:

“Aku hanya bercanda. Apalah arti sebuah nama.”

Di masa depan, nama memang tidak begitu penting. Joko Subianto; Susilo Bowo Yudhoyono; Sandiaga Amin; semua nama itu kelak akan sirna, diganti dengan nomor urut. Namaku mungkin bakal jadi 6677-CR-001.

Seharian ini aku menghabiskan waktu dengan makan mi ayam, menonton film, memutar piringan hitam sebanyak lima puluh kali, bernapas, melihat Charlie Parker makan ayam goreng, melihat Charlie Parker menggaruk pantatnya, hingga menggunjing rumah tangga Nana Mirdad. Kurasa, sebagai orang yang baru saja ditinggalkan, ini mungkin fase pertama yang disebut-sebut harus segera dilewati. Kalau berhasil, aku akan masuk fase kedua dengan tingkat kesulitan lebih tinggi 30% dari sebelumnya. Total, ada empat fase dalam satu siklus.

Semua informasi ini aku dapatkan dari sebuah artikel yang muncul di Vice Indonesia. Kuberitahu, reporter Vice menyebut fase pertama ini sebagai ilusi kebahagiaan. “Pada fase pertama, orang-orang yang baru saja ditinggalkan justru bakal merasa sangat bahagia. Ini sangat lumrah terjadi pada pasangan yang terjebak dalam toxic relationship. Perasaan terbebaskan akan meluap-luap, sebelum akhirnya berganti dengan perasaan hampa luar biasa.”

Aku membaca artikel itu dari komputer jinjing milik si plontos sesaat setelah aku sadar bahwa telepon genggamku hilang. Sejujurnya, ini perilaku buruk nomor tiga: mudah menyerah. Aku memang tergelak mendapati telepon genggamku tak ada di mana-mana, tetapi kalau mengingat nama si kepala plontos saja aku tak mampu, bagaimana bisa aku tahu di mana telepon genggamku? Ini lebih mustahil dari kemungkinan Prabowo membagi-bagikan tanah seluas 340.000.000 hektar.

Kalau boleh jujur, aku memang merasa agak bahagia jika dibandingkan dengan hari kemarin. Tetapi, kalau sangat bahagia? Kurasa reporter Vice melebih-lebihkan. Sebaiknya, dia tahu kalau perilaku buruk nomor empat adalah bersikap berlebihan. David Chapman sudah memberi contoh kalau sikap berlebihan bisa menghilangkan nyawa seseorang: John Lennon akhirnya mati. Meskipun kalau dia masih hidup, aku percaya pria itu bisa seribu kali lipat lebih menyebalkan dari Ahmad Dhani.

Seharian ini aku belum mandi, gosok gigi saja tidak. Seseorang mungkin sudah memberiku dua buah koin lima ratusan kalau sekarang aku duduk-duduk di emperan pasar. Untungnya aku cukup tahu diri; ketiak tidak pernah kuangkat setiap kali si plontos duduk di sampingku. Aku juga sudah berkumur dengan Listerine yang kutemukan di kamar mandi bawah. Sejauh ini, tak ada tanda-tanda dia merasa terganggu atau apa. Entahlah.

“Apa rencanamu sekarang?”

Rencanaku sekarang adalah bersiap-siap memasuki fase kedua. Tetapi kurasa dia tak perlu tahu. Kuberitahu kalian, perilaku buruk nomor lima adalah bersikap terbuka kepada orang asing. Bahkan kalau kau sudah mengenal seseorang dengan baik sekalipun, bersikap terbuka sama sekali tidak dianjurkan karena akibatnya bisa buruk. Seseorang yang tahu banyak tentang dirimu akan lebih mudah membuatmu terluka.

“Belum tahu. Tapi aku sudah mulai bosan. Jam berapa bar buka?”

“Jam delapan malam. Kau mau ke sana lagi?”

“Entahlah. Bagaimana dengan motorku yang diparkir di depan bar? Aman?”

“Sudah pasti aman. Tenang saja. Apa kau mau pulang?”

Kurasa memang sudah waktunya untuk pulang. Tetapi itu berarti langkah menuju fase kedua akan semakin dekat dan aku belum siap. Aku perlu melakukan sesuatu agar setidaknya aku bisa menikmati fase pertama dengan lebih baik.

“Mungkin kau ada rencana?” tanyaku. Si kepala plontos terlihat berpikir sejenak. Dia mengusap-usap kepala plontosnya tiga kali sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke bukit binatang. Tunggu, bukit binatang?

“Bukit binatang katamu?”

“Bukit bintang. Bagaimana?”

“Oh. Hehehe. Bagaimana gimana?”

“Kau ikut atau tidak? Orang-orang bakal mengira aku sedang depresi kalau tahu aku pergi ke bukit bintang sendirian. Sorry, bukan maksudku menyindir, tapi, yah, kau tahu maksudku, kan?” katanya sambil mengusap-usap kembali kepalanya.

“Aku belum pernah ke bukit bintang.”

“Di sana kau bisa melihat bintang dengan lebih dekat.”

“Benarkah? Aku tidak tahu ada tempat seperti itu.”

“Tidak banyak yang tahu memang.”

“Haruskah aku mandi lebih dulu?”

Dia lantas terkekeh. “Baguslah kalau kau sadar,” katanya.

“Aku tak menyangka kalau harus menghabiskan waktu seharian di dalam loteng kios sepatu. Jadi, jangan salahkan aku kalau tak bawa peralatan mandi dan sebagainya.”

Pria itu terkekeh lagi. “Tunggu sebentar.”

Perilaku buruk nomor enam adalah bersikap impulsif, seperti yang baru saja aku lakukan. Menerima ajakan pergi ke bukit bintang? Yang benar saja? Sepanjang hidupku tinggal di kota ini, baru sekarang aku mendengar tempat semacam itu ada di kota yang tinggal menunggu kehancuran ini.

Melihat bintang dengan lebih dekat? Setahuku bintang yang paling dekat dengan bumi adalah matahari dan jarak dari matahari ke bumi adalah 149.698.000 kilometer. Jadi? Mungkin dia cuma membual? Atau jangan-jangan dia berniat buruk?

“Nah. Hanya ini yang bisa kutemukan.” Pria itu kembali dengan membawa piyama berwarna biru gelap dengan corak bintang-bintang. “Ini milik mantan istriku, asal kau tahu saja. Kurasa ukurannya tidak jauh berbeda denganmu. Oh ya, ini sikat gigi baru.” Ia mengeluarkan sikat gigi Formula berwarna merah muda dari dalam kantung plastik.

Kalian tahu, perilaku buruk nomor tujuh adalah mencurigai orang seperti pria kepala pelontos ini. Kurasa aku hanya perlu lebih rileks. Segala sesuatunya akan berjalan dengan semestinya. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk melewati fase pertama dengan lebih baik.

Agaknya, tak ada salahnya menghabiskan satu malam lagi dengannya. Merasakan kebahagiaan yang meluap-luap sebelum bersiap menyambut kehampaan luar biasa, seperti yang ditulis reporter Vice. Kurasa itu mungkin bukan ide yang buruk.

Baca cerita berikutnya di sini.

Exit mobile version