Tak Ada Kejutan

Baca cerita sebelumnya di sini.

Tak ada kejutan buat Dea Anugrah.

Ada empat ekor anjing: Risdizul, Risdido, Risdilun, dan Risdini. Risdizul dan Risdildo mengelilingi Risdilun seperti bangkai satelit, atau mayat astronot, yang terus mengorbit sekalipun sudah kedaluwarsa. Sementara Risdini, yang sepertinya tidak tahu di mana garis edarnya, menyelinap di antara mereka. “Dan kalau bukan nasib baik yang mampu menyelamatkan anjing prengus itu dari tubrukan dua anjing lain, aku tak tahu lagi apa namanya.”

Risdi selalu mengulang cerita itu tiap kali ia sedang mendengarkan Don’t Think Twice It’s Alright-nya Dylan sementara aku manggut-manggut tanpa pernah ingin tahu apa yang hendak ia sampaikan di balik kisah empat anjing tadi. Serupa ketololan lain di dunia ini, ia mudah menular.

Dua malam lalu aku duduk di bawah pohon rambutan, melakukan rangkaian aktivitas yang biasa kulakukan untuk menambah tingkat kepercayaan diri: menggelar papir di atas paha, mengambil sejumput tembakau favoritku, dan melintingnya. Kalau hasil lintingan terbakar dengan baik hanya dalam sekali bakar, artinya aku tidak sedang gugup dan segalanya akan berjalan lancar, tetapi kalau yang terjadi sebaliknya, aku akan pulang dan mencoba pada malam lain. Malam itu, lintinganku bekerja dengan baik, ia terbakar sempurna. Kuisap dalam-dalam asap tembakau, merasakan semacam arus ketenangan tak terhingga merayap dari pembuluh hidung ke atas kepala, membuat otakku agak seperti kesemutan, lalu kuembuskan perlahan melalui hidung dan mulut. Paru-paruku terbuka dan oksigen yang kuhirup setelahnya tak pernah terasa semurni itu. Aku siap.

Kunaiki pohon rambutan dan duduk di dahan yang telah kupilih beberapa minggu lalu. Bukan dahan kesukaannku, sebenarnya, diameternya tidak terlalu besar dan terlalu banyak ranting kecil yang menghalangi akses turun. Meski begitu, dahan itu cukup terhalang dan pula ini November, beberapa pohon rambutan sedang berbuah, termasuk rambutan Binjai ini. Akses camilan seolah tak terbatas dan nyemil sembari mengisap kretek bukanlah ide yang buruk. Aku sudah menyiapkan plastik kresek untuk menyimpan limbahnya.

Tidak akan ada nyamuk malam itu, aku sudah memperhitungkan dengan cermat. Namun, bukan berarti tanpa masalah. Lampu kamar atas masih menyala. Lampu itu harusnya mati satu jam yang lalu. Penghuni kamarnya seorang kakek usia 87 tahun atau lebih. Ia memiliki kebiasaan menonton sinetron hingga pukul sembilan malam, setelah itu ia akan menutup tirai dan mematikan lampu. Saat ini sudah jam sepuluh lewat. Karena bosan, aku mengeluarkan ponsel, memasang earphone, dan memilih lagu Dylan. Aku menganggap Donovan lebih layak didengar ketimbang Dylan, tetapi aku punya tiga nomor kesukaan dan Don’t Think Twice It’s Alright tidak masuk hitungan. Aku tak rela membuang sekian menit untuk mendengarkan curahan hati Dylan. Aku sendiri lupa kapan aku memasukkan nomor itu ke dalam ponsel, tetapi ia ada di sana, terhimpit di antara lagu-lagu yang masuk kategori ‘Tak Bernama’ yaitu lagu-lagu yang secara asal kuunduh tanpa mengubah informasi lagu. Tak ada salahnya kudengar, mungkin bisa cocok dengan rambutan dan kretek. Jadi kuputar lagu itu dan bayangan empat ekor anjing muncul di dalam pikiranku.

Empat ekor anjing. Dua di antara mereka melompat-lompat mengitari satu anjing, yang mungkin memiliki daya tarik tertentu, sementara yang seekor mendekam di kolong Starlet tua, sesekali ia menghampiri tiga anjing itu, merusak beberapa hal, lalu pergi lagi. Minder, barangkali, atau merasa segalanya sudah berjalan dengan baik tanpa kehadirannya, atau alasan-alasan lain yang biasa dilontarkan pecundang. Sekali dengar, aku sudah tahu ini soal cinta dan hal-hal remeh yang mengitarinya, lagi-lagi bukan favoritku. Meski begitu, kukira kisah cinta, semurahan apapun, bahkan mampu membuat manusia setengah genderuwo duduk, diam, dan menyimak, serta ‘merasa terhubung’ dengan cerita, sebagai bonus. Aku menekan kata ‘merasa terhubung’ sebab kukira begitulah cara hal-hal murahan bekerja.

Risdi sudah hidup terlalu lama, wajar bila ia merasa terhubung dengan banyak hal. Ia menonton film yang dibintangi Rano Karno, Rendra Karno, Ratno Timur, Rudy Salam, Rahmat Kartolo, Remy Sylado, Ray Sahetapi, Rhoma Irama, atau aktor berawalan R lain dan merasa nasib mereka di film-film itu sama dengan nasibnya. Ia membaca biografi atau autobiografi orang lain dan merasa jalan hidupnya diwakili tokoh-tokoh itu. Ia menonton sinetron yang pemeran utamanya seorang laki-laki papa yang berjuang setengah mati mendapat cinta perempuan kaya raya dan ia merasa menjadi lelaki termiskin di dunia, padahal sebaliknya.

Risdi sudah melewati batas usia rata-rata manusia Indonesia. Artinya, peluang ia hidup lima atau enam bahkan sepuluh tahun lagi semakin terbuka dan semua kenangan baik yang terjadi padanya maupun yang terjadi pada orang lain yang diceritakan kepadanya dan menjadi kenangan miliknya melebur hingga ia punya banyak sekali cerita tentang dirinya, tentang kegemerlapan masa muda, dan mengapa ia sering terlihat bingung dan murung tak lain karena ia hanya merasa pernah melalui semua peristiwa itu, semua perasaan itu, namun ia mungkin menyadari bahwa tak semua peristiwa benar-benar ia alami.

Aku bertemu Risdi saat baru merintis karier, sepuluh atau sebelas tahun lalu. Hari itu aku merasa seolah bisa membekukan apapun yang kusentuh dan udara tak ubahnya genangan lumpur. Benda-benda logam di saku jaket terdengar lebih bergemerincing ketimbang biasanya serta aroma bunga kenanga mengikuti ke mana pun aku berjalan, bahkan terus berseliweran ketika aku memutuskan untuk rehat di kursi dekat danau buatan sampai-sampai aku harus mengacak-acak semak di tepi danau itu sekadar memastikan tak ada bunga kenanga di sana.

Ada sebuah balai kambang di tengah danau. Kecuali genting coklat yang sudah lumutan, seluruh bangunan balai terbuat dari bambu. Ia terapung di atas tong-tong plastik biru. Untuk sampai ke sana,disediakan jembatan apung sepanjang delapan hingga sepuluh meter. Dari tempatku berjongkok aku bisa melihat celana abu-abu tua dan sepasang kaki bersandal kulit bergerak naik turun, diselipi tawa terkekeh dan sesuatu berderit dan aroma tahi kucing yang kuduga terinjak beberapa menit sebelumnya. Kubuka sepatu, mencium satu per satu solnya sambil mendekati tepi danau. Kucelupkan sol sepatu kanan dan kuusap-usap di rumput. Sepasang kaki di balai kambang berhenti bergoyang. Ia mengeluarkan kepalanya, melihatku. Seorang kakek. Ia memperlihatkan botol bening lalu melakukan gerakkan mengundangku sambil tersenyum. Aku kenal botol itu. Kujamin tak satu malaikat pun mampu menolak isinya, apalagi setan dan pengikutnya.

Risdi. Aku tak tahu lengkapnya: Risdi Rustaman, Risdi Abdillah, Risdi Rasta, atau apalah. Ia sedang memegang komik Paman Gober dan sebotol cairan bening, yang kemudian aku tahu cairan itu bernama Cap Tikus. Telinganya disumbat earphone, yang ia lepas saat aku tiba. “Hidup terlalu lama bikin kau kesemutan tiap lima menit,” katanya, meluruskan kaki. Ia mencopot jack earphone dari ponsel sehingga lagu yang ia dengarkan mampir pula ke telingaku. Dari suaranya kita tahu siapa yang bernyanyi. “Pernah dengar cerita empat anjing?”

Sudah pukul empat pagi, lampu kamar orang tua itu belum mati juga. Keparat memang. Aku turun dari pohon dan pulang. Masih ada hari esok.

Setelah bercerita mengenai empat ekor anjing itu, Risdi mengeluarkan sebungkus tembakau dan papir dari sakunya.

“Kau sama sekali tidak terlihat seperti tipe orang yang super-repot,” sindirku, mengeluarkan sebatang rokok, membakarnya, dan sedikit mengembuskan asap ke arah Risdi yang tengah meletakkan tembakau di tengah papir.

“Melinting kretek adalah pekerjaan paling santai sedunia,” katanya, “Apanya yang repot? Kau cuma perlu melintingnya.”

“Aku tak punya kesabaran untuk itu.”

“Apa itu kesabaran? Tidak ada yang punya kesabaran di dunia ini. Semua, kan, hanya soal menahan laju waktu.”

“Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan, tetapi begini ya,” aku melompat, berdiri, lalu memasang kuda-kuda. “Aku sedang menahan kentut. Lebih nyata, dan kau langsung paham apa yang kumaksud. Kentut lebih nyata ketimbang waktu dan tolong jangan bahas lebih jauh mengenai hal ini kecuali kau ingin aku berak di celana.”

Risdi tertawa. “Kau bekerja?”

Aku mengangguk. Ia menanyakan secara spesifik profesiku. “Pekerjaan di antara pekerjaan,” jawabku. Dan ia bilang ia tidak mengerti apa yang kukatakan, “Nah, perasaan tidak mengerti itulah yang kurasakan saat kau berkata ‘menahan laju waktu’ dan sebagainya. Kau tahu, temanku, seorang penyair, lagak bicaranya sepertimu. Suatu hari ia berusaha menerjemahkan gerak asap di mulut knalpot metromini, ia mendatangi tiap metromini yang sedang menunggu penumpang. Nasibnya sudah ditentukan sejak minggu pertama ia melakukan hal itu.”

“Apapun pekerjaanmu, kukira, kau butuh ketenangan. Melinting tembakau bisa menjadi indikator ketenangan seseorang, kau tahu?” Ia menjilat lintingannya dan membakarnya. “Jangan pernah melakukan sesuatu yang berisiko jika hasil bakaranmu kacau, itu pertanda jelas kau sedang gugup.”

Menjelang pukul enam, sebelum tidur, aku lewat pohon rambutan itu lagi. Kamar di atas masih menyala. Aku memesan bubur ayam tanpa kacang goreng. Duduk di kursi plastik, sarapan, sambil memandangi rumah di hadapanku. Tak ada satu pun orang yang mau kenal dengan orang tua penghuni kamar itu. Beberapa orang pernah berusaha menyapanya, tetapi ia tampaknya tidak berbakat dalam urusan sapa-menyapa. Kontribusinya terhadap masyarakat sekitar hanya iuran sampah dan RT dan ronda dan sumbangan 17-an setiap tahun, selain itu tak ada lagi. Siapapun enggan menyapa orang macam itu, apalagi menawarkan bantuan. Ia menunjukkan kesan bahwa ia tak butuh bantuan siapa-siapa, bahkan di depanku ia berlagak sok jago dengan mengutip perkataan orang-orang bijak dan segala macam. Kukatakan kepadanya bahwa ada seorang raja paling bijak, suatu hari dia kehabisan stok kalimat bijak dan berkata, “Keparat. Kalian tahu tahi keledai? Kalian semua seperti itu.” Ia cuma ketawa.

Pekerjaan utamanya hanya mengunjungi danau, membawa komik-komik bocah, membaca di balai kambang, lalu pulang lagi sebelum matahari benar-benar lingsir. Setelah sarapan aku kembali ke rumah dan mengasah kemampuanku. Meski orang tua itu terlalu banyak petuah dan kadang menyebalkan, aku kepengin prosesnya cepat, karena begitulah permintaannya.

Aku kembali lagi ke pohon rambutan Binjai di malam berikutnya dan berikutnya. Melinting dengan cara yang sama dan duduk di dahan yang sama dengan lagu yang sama pula. Pemuja kebebasan itu, tahi kucinglah, mempromosikan kebebasan bak potongan seledri di bubur ayam. Apa yang mereka bilang, ‘lakukan yang kau suka,’ ‘jadilah diri sendiri,’ dan omong kosong semacam itulah.

Risdi pernah menuturkan kisah yang mirip film La Dolce Vita, tetapi ia menceritakannya dengan sudut pandang orang pertama dan aku tidak keberatan mendengarkan. Risdi pernah mendeskripsikan seorang perempuan, aku tak ingat ia pernah menuturkan perempuan lain sedetail itu, dan gambarannya mirip Lydia Kandaou dan aku menikmatinya. Aku bahkan menertawakan pengalaman lucu yang pernah menimpanya yang juga pernah menimpa Donal di salah satu komik yang kupinjam darinya, dan aku tetap ketawa sampai rasanya tak ada otot yang tak menegang. Risdi tak menceritakan dirinya sebagai dirinya sebagaimana aku tak pernah menceritakan aku sebagai diriku, tetapi ia terlalu cerdik untuk ukuran orang berusia delapan dasawarsa lebih sedikit dan aku tentu saja mengasah kemampuanku setiap waktu.

Itulah mengapa aku masih duduk di dahan itu, menunggu ia bermimpi, memimpikan empat ekor anjing. Aku selalu berpikir tentu akan lebih menarik kalau di dalam mimpinya anjing keempat berkata kepada dua anjing sialan yang terlalu lama berputar-putar: “Waktu kalian sudah habis, Pecundang. Pergi sana.” Saat itu aku akan masuk dan memberinya kejutan kecil tanpa mengejutkannya dari tidur. Tetapi lampu kamarnya tak kunjung padam.

Exit mobile version